Judul: Agama Itu Bukan Candu:
Tesis-tesis Feuerbach, Marx dan
Tan Malaka
Penulis : Eko P. Darmawan Penerbit : Resist Book, Yogyakarta Cetakan : Pertama, Oktober 2005 Tebal : x + 211 Halaman |
Aforisme Marx yang cukup terkenal prihal agama ialah "agama
adalah candu dari masyarakat" (It [Religion] is the opium of the people).
Sebenarnya, Marx tidak banyak menulis tentang agama sebagai ideologi, melainkan
ia melihat dari perspektif sosio historiografis masyarakat yang menjadikan agama
sebagai praktik pembenaran sepihak tanpa implementasi lebih lanjut dalam
praktik kehidupan. Kumpulan tulisan Marx dalam buku Marx Tentang Agama (Teraju,
2003) menjelaskan hal demikian itu. Dan aforisme diatas tak lain adalah
penggalan kalimat dari sekian kalimat yang membahas hakekat manusia ditengah
kapitalisme kehidupan, dimana peran agama selalu menjadi pertanyaan.
Dikarenakan aforime Marx merupakan satu kalimat yang tidak berdiri
sendiri, maka tak jarang bila kemudian terjadi interpretasi yang berbeda-beda.
Marx bukanlah satu-satunya orang yang diangap anti agama dan anti tuhan
(ateis), masih bayak pemikir lain, terutama yang beraliran materialisme,
mendapat perlakuan sama. Misalnya Ludwig Feuerbach dan Tan Malaka. Ketiga tokoh
inilah yang menjadi kajian dalam buku ini.
Eko P. Damawan mempunyai perspektif lain dari kebanyakan orang
dalam memahami pemikiran tiga tokoh ini. Baginya, Kritik sekaligus pemahaman
tiga tokoh tersebut terhadap agama adalah upaya membangun spritualitas
keagamaan manusia yang terjewantahkan dalam laku kehidupan konkrit. Agama
diturunkan agar manusia tumbuh dan berkembang menjadi Manusia-manusia Besar,
bukan menjadi manusia-manisia kecil yanghanya puas dengan
kesuksesan-kesuksesannya sendiri. Menjadi Manusia Besar artinya menjadi manusia
yang bejiwa, dan berpikiran dan berperasaan semesta.(hlm.23)
Relevansi kritik tersebut, seperti yang digambar Darmawan, dapat
dilihat dari cara keberangamaan saat ini yang lebih dekat dengan modus yang
bereksistensi borjuis–kapitalistik ketimbang dengan modus yang bereksistensi
religius secara sosio-hostoris. Ketika kesuksesan dunia dan akhirat diartikan
sebagai kesuksesan ekonomis dan sosial di dunia dan kesuksesan mendapatkan
surga di akhirat, maka agama tak ubahnya seperti jual beli dalam merebutkan
kavling surga. Lantas hubungan antara Tuhan dengan orang beragama tak ubahnya
hubungan pedangan dan calon konsumen. Surga kemudian digambarkan secara pasif;
sebagai tempat bersenang-senang, tempat dimana segala keinginan manusia
dipuaskan.
Ironisnya lagi bila para pembasar atau elit agama, yang kebanyakan
sukses secara ekonomi dan sosial, bersikap pasif terhadap kezalamin yang sering
tampak dengan pernyataan, misalnya, bahwa Tuhan Maha Adil, Tuhan Maha Tahu, dan
Tuhan Maha Bijaksana, dan sebagainya. Kemudian setelah itu membiarkan saja,
tanpa upaya realistis. Jika demikian agama hanya menjadi milik kaum elit, dan
agama tidak memihak kaum proletar.
Pemahaman teosentrisme seperti diatas, menurut Darmawan jelas
menunjukkan wajah egosentrisme agama. Agama hanya diartikan sebagai urusan
spiritual ukhrawiah, dan urusan duniawi tidak mempunyai sangkut paut dengan
agama. Yang demikian inilah yang menjadi kritik pedas, terutama oleh tiga tokoh
yang dijadikan kajian dalam buku ini.
Kritik paling pedas yang dilontarkan Feuerbach tentang agama dari
hasil penelusuran Darmawan dari buku The Essence of Christianity-nya adalah
ajaran teosentrisme agama. Baginya, Agama bukanlah tentang Tuhan yang
sewenang-wenang menyuruh manusia untuk patuh pada-Nya, namun tentang pulihnya
kesadaran dalam diri manusia tentang perjalanan hidupnya, dari mahluk yang
terperangkap dari batas-batas ruang dan waktu menjadi mahluk yang mensemesta.
Maka Feuerbach memaknai agama sebagai ajaran antroposentrisme. Jadi, misi agama
adalah tentang bagaimana manusia turut mengisi atau membentuk eksistensinya
secara konkrit di alam raya ini.
Realitas material yang ada dihadapan manusia bukanlah sesuatu yang
harus dikontraskan dengan Tuhan. Kebenaran manusia bukanlah kebenaran yang
bersifat abstrak, namun adalah kebenaran yang bersifat material, kebenaran yang
bisa dirasakan secara bersama oleh sesama manusia. Secara tak langsung
Feuerbach mengatakan bahwa untuk membumikan agama manusia harus menunjukkan
dengan prilaku konkrit.
Senada dengan itu, kritikan Marx, menurut Darmawan adalah kritik
terhadap cara-cara empiris manusia menjalankan keberagamaannya. makna
"candu" yang dimaksud Marx bukanlah sebagai surga bayangan, surga
yang tidak riil, surga tidak konkrit melainkan sebagai gambaran hakikat
mengenai apakah agama itu. Agama adalah impian dan harapan akan kehidupan
surgawi, namun kehidupan surgawi itu bukanlah surgawi didunia ini melainkan di
sana. Akan tetapi, bila hidup terus-menerus mencandu, maka secara tak langsung
telah melupakan dunia sekitar, dunia dalam bermasyarakat.
Marx mengajak manusia untuk mentransformasikan agama menjadi apa
yang biasa disebut religiusitas. Agama butuh otoritas eksternal, sementara
religiusitas menggali kearifan dalam diri sendiri. Agama membayangkan alam dan
kebahagian surgawi di sana, sementara religiusitas membangun alam dan
kebahagian surgawi di sini, di dunia konkrit ini.(hlm.182) Apalagi bila agama
hanya diidentikkan dengan keghaiban.
Tan Malaka—dengan Madilog-nya—adalah salah seorang yang mengkritik
logika mistik. Ia, seperti yang disimpulkan darmawan, berpendapat bahwa inti
ajaran agama bukanlah pada kegaiban, yakni pengharapan surga dan neraka.
Seharusnya dengan berkembangangnya kemampuan akal budi manusia, beragama tidak
lagi didasarkan pada–kenikmatan–surga dan–kesengsaraan–neraka. Kata Tan Malaka;
"Jadi teranglah sudah, bahwa lemah tegunya iman itu tiadalah semata-mata
bergantung pada ketakutan dan pengharapan sesudah kiamat. Jangan dilupakan,
bahwa perkara vital yang menentukan lemah teguhnya iman adalah masyarakat kita
sendiri".
Seperti halnya Marx, menurut penulis, Tan Malaka juga mengkritik
penjungkirbalikan agama. Yakni, ajaran keghaiban yang pada awalnya sebagai
iming-iming agar manusia mengikuti ajaran Nabi, namun sekarang diletakkan
sebagai yang utama, yang inti. Kritisime demikian inilah yang seringkali
berakhir dengan pengecapan sebagai anti agama, kafir, murtad dan ateis (anti
Tuhan).
Menariknya buku ini adalah penyertaan data (referensi) yang
dilakukan penulisnya. Hal ini menunjukkan keseriusan kajian yang dilakukan. Misalnya
sistematisasi prihal keberagamaan menurut pandangan umum dan menurut Marx dan
Feuerbach. Pertama, mengenai orientasi dan tujuan. Dalam pandangan umum,
keberagamaan bertujuan mendapatkan surga dan berlimpahan rizki dari Tuhan,
sedang dalam Marx dan Feuerbach bertujuan mengembangkan esensi manusia (akal,
budi, kemauan, dan perasaan) sehingga mensemesta dalam kebersamaan.
Kedua, mengenai aktivitas utama. Menurut pandangan umum aktivitas
utama beragama adalah ibadah, sedangkan menurut Marx dan Feuerbach adalah
bekerja sama membangun dunia yang lebih mulia. Dan ketiga, mengenai produk
masyarakat yang diciptakan. Menurut pandangan umum ialah masyarakat secara
pribadi taat beribadah, namun secara sosio-historis sibuk dengan cita-cita dan
gaya hidup yang pasif dan konsumtif mereka (masyarkat borjuis), sedangkan
menurut Marx dan Feuerbach ialah masyarakat yang terdiri manusia-manusia besar
yang kemauan, pikiran, dan perasaannya berkembang mensemesta, merasa satu
dengan semesta.[*]
*) Abd. Rahman Mawazi, Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, alumnus PP. Badridduja Kraksaan-Probolinggo
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar