Judul
Buku: China; Economic, Political and Social Issues
Editor: J. M. Phillips dan L. J. Moore Penerbit: Nova Science Publishers, New York Cetakan: Pertama, 2009 Tebal: xii+321 Halaman
Peresensi:
Choirul Mahfud
|
Belum lama ini,
Tiongkok sukses merayakan ulang tahun ke-60 kemerdekaannya. Tahun lalu negeri
itu juga menjadi tuan rumah Olimpiade yang luar biasa megahnya. Kesuksesan dan
kemegahan kedua perayaan penting tersebut menyita perhatian dunia. Tak sedikit
yang memprediksi masa depan negeri berpenduduk satu miliar itu akan menjadi
salah satu kekuatan global.
Chairman/CEO Jawa
Pos Group Dahlan Iskan mencatat, dinamika ekonomi-politik Tiongkok berkembang
cepat sejak awal berdirinya pada 1949. Kini, situasi investasi dan keamanan
dalam negeri terus membaik. Dalam dua dekade terakhir, kondisi ekonominya
sangat berbeda dengan Tiongkok yang dikenal pada era 60-an atau 70-an.
Berawal dari
revolusi kebudayaan, reformasi ekonomi, dan era keterbukaaan terhadap dunia
luar pada 1978, Tiongkok di bawah kepemimpinan Deng-Xiaoping dan dilanjutkan
Jiang Zemin hingga era Hu Jintao saat ini, kekuatannya terus diperhitungkan dan
bisa ”mengancam” dominasi Amerika di masa mendatang.
Saat ini kekuatan
ekonomi Tiongkok berpengaruh signifikan pada konstelasi politik global. Kaplinsky
(2006) menilai, Tiongkok bukan sekadar emerging economies, melainkan Asian
drivers of global change. Dalam waktu kurang dari satu dasawarsa Tiongkok telah
berubah dari pemain ekonomi pinggiran menjadi pemain utama pasar global.
Ekspornya ke AS pada kurun 1985-2004 melejit dari ”nol” menjadi sekitar 15
persen dan kini terus meningkat.
Hingga hari ini
Tiongkok menjadi salah satu negara donor terbesar untuk kawasan Asia Tenggara,
sekaligus partisipasinya dalam penanganan bencana alam, gempa bumi, dan tsunami
di kawasan ini, termasuk Indonesia. Yang terbaru adalah bantuannya yang besar
dalam penyelesaian pembangunan megaproyek Jembatan Suramadu (Surabaya-Madura).
Bila dicermati,
kemajuan Tiongkok tidaklah dimulai dari nol, tapi bertahap. Pada 2005, Pusat Penelitian
Modernisasi Tiongkok menerbitkan peta jalan modernisasi Tiongkok untuk abad
ke-21. Isinya: pada 2025 produk domestik bruto (GDP) Tiongkok menyamai Jepang.
Lalu pada 2050, Tiongkok harus menjadi negara maju di dunia. Atas dasar peta
jalan itu, Tiongkok terus bergerak menuju masyarakat yang lebih baik dan
sejahtera.
Sejak ribuan tahun
sebelum Masehi, Tiongkok memang sudah membangun banyak sistem kehidupan manusia
dan melahirkan prinsip-prinsip pemikiran ketimuran yang tetap lestari sampai
saat ini. Tiongkok juga memiliki mekanisme hubungan antarnegara yang cukup
baik. Kekaisaran Tiongkok bahkan sempat menjalin hubungan diplomasi,
perdagangan, dan kenegaraan dengan berbagai kawasan di dunia, termasuk
Indonesia.
Kehadiran Laksamana
Cheng Hoo di Indonesia adalah salah satu bukti nyata. Sejarah juga mencatat,
lebih dari 5.000 tahun Tiongkok mengukuhkan diri sebagai salah satu bangsa yang
beradab. Penemuan teknik pertanian, huruf hanzi (kanji), pembuatan kompas,
mesiu, dan alat-alat percetakan, juga dilakukan penduduk Tiongkok.
Pada 1949-1978
Tiongkok melakukan pembangunan fisik dan nonfisik yang mengagumkan. Di
antaranya pembangunan kualitas pendidikan. Wajib belajar diterapkan sejak
1950-an. Maka, tingkat buta huruf di Tiongkok pada masa Mao Zedong sangat
rendah dan terus menyusut.
Gayung bersambut,
perhatian akan kualitas pendidikan dan teknologi tersebut juga dilanjutkan Deng
Xiaoping. Dia menyatakan, ”Bila Tiongkok ingin memodernisasi pertanian,
industri, dan pertahanan, yang harus dimodernisasi lebih dulu adalah sains dan
teknologi, serta menjadikannya kekuatan produktif.”
Tak salah bila
dikatakan, kunci kesuksesan dan kemajuan Tiongkok bermula dari pendidikan dan
teknologi. Nah, soal kekurangan sumber daya alam, Tiongkok bisa menutupinya
dengan mengimpor dari negara lain.
Meski begitu,
reformasi dan modernisasi Tiongkok bukan pula tanpa hambatan. Dalam
kenyataannya, Tiongkok juga memiliki masalah internal-eksternal atau
lokal-internasional yang cukup pelik.
Sebagaimana
diungkap Phillips dan Moore, editor buku China; Economic, Political and Social
Issue, Tiongkok juga menghadapi banyak masalah sosial, ekonomi, dan politik,
baik di tingkat lokal maupun internasional (hlm 239-271).
Di tingkat lokal,
misalnya, baru-baru ini berita kasus Tibet dan konflik rasial di Xinjiang
santer terdengar. Yakni, konflik rasial antara etnis Uighur yang mayoritas
muslim namun menjadi minoritas di Xinjiang, dan etnis Han yang menjadi etnis
mayoritas di Provinsi Xinjiang (daerah otonomi).
Konflik ini bukan
kali pertama. Pada Agustus tahun lalu, Xinjiang juga bergejolak. Namun, konflik
yang terjadi terakhir lebih besar dan memakan banyak korban meninggal dan
ribuan orang ditahan karena diduga ikut dalam aksi rusuh itu.
Kebencian antara
ras Uighur yang minoritas dan Han yang mayoritas juga punya sejarah tersendiri.
Kebencian itu pernah memuncak dengan keinginan Uighur memisahkan diri. Namun,
hal itu bisa diatasi oleh Mao Zedong pada 1949. Meski begitu, akar kebencian
kedua suku itu tetap abadi hingga kini.
Pasang surut dan
ketegangan internasional juga pernah terjadi. Antara lain hubungan
Tiongkok-Asia Tenggara, khususnya dengan Indonesia. Pada 1960, hubungan
Indonesia dan Tiongkok sempat terganggu akibat campur tangan pihak asing.
Dampak konflik itu cukup terasa. Terutama bagi warga Tionghoa di Indonesia.
Namun, adanya
tekanan dari dalam dan dunia luar, membuat Tiongkok terus berbenah diri. Dengan
demikian, nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan, dan perdamaian
lebih dapat dihormati dan ditegakkan.[*]
*) Choirul Mahfud, dosen
dan peneliti LPPM UM Surabaya
Sumber:
Jawa
Pos, 13 Desember 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar