Judul
Buku: Mengislamkan Kursi dan Meja;
Dialektika Ulama dan
Kekuasaan
Penulis: Muhammad Amin MS Penerbit: Pustaka Pelajar (Yogyakarta) - YLKPN (Pekanbaru) Cetakan: Pertama, Januari 2009 Tebal: 182 halaman Peresensi: Supriyadi*) |
Ulama
dalam perpolitikan di Indonesia bukanlah hal yang asing. Semenjak dahulu, peran
ulama dalam mendirikan bangsa Indonesia ini memang perlu diakui. Tidaklah
mengherankan jika ulama terlibat dengan urusan politik, atau bahkan ulama itu
sendiri yang dengan sengaja terjun sendiri ke panggung politik sebagai tokoh
utama partai politik. Sementara itu, sosok ulama adalah sosok yang dikenal
dengan pemandu umat (Islam) karena kepandaiannya dalam hal keilmuan Islam.
Ulama adalah pemimpin umat Islam, pewaris Nabi dalam menegakkan dan menjalankan
perintah Tuhan.
Muhammad
Amin MS dalam bukunya ”Mengislamkan Kursi dan Meja, Dialektika Ulama dan
Kekuasaan” menguraikan dengan paparan yang nyata tentang perpolitikan di
Indonesia yang sering kali melibatkan atau menggunakan peran ulama. Bahkan
ulama itu sendirilah yang bermain politik dan menjadi tokoh utama dalam suatu
partai politik. Kursi diartikan sebagai singgasana yang mana hal tersebut dalam
dunia politik disebut dengan kekuasaan. Sementara meja mempunyai arti papan sebagai
tempat berkas-berkas birokrasi yang mana menjadi urusan kenegaraan. Jika kursi
dan meja tersebut dijadikan dalam satu istilah, kursi dan meja berarti
kekuasaan dalam birokrasi politik. Sementara keikutsertaan ulama yang menjadi
judul tersebut karena memang ulama mempunyai pengaruh dan daya gertak besar
dalam hal tersebut.
Bukanlah
hal asing jika ulama yang pada dasarnya telah memiliki umat (santri) yang
banyak, mampu memberikan pengaruh kepada mereka sebagai umat karena kharismanya
yang dianggap umatnya tinggi, terutama umat yang fanatik terhadap ulama
tersebut. Selain itu, ulama adalah sosok yang terpandang di mata masyarakat,
kharismanya melebihi lurah, camat, ataupun bupati sekalipun. Karena, tidak
sedikti para calon lurah, camat, bupati, atau kepala desa sering melakukan
sowan politik kepada para ulama dengan dalih meminta restu.
Ulama
sebagai politikus sekarang ini menjadi hal yang biasa karena pada dasarnya,
pendiri bangsa Indonesia pun banyak tokoh yang bergelar ulama sehingga perannya
di dunia politik menjadi kewajaran belaka. Yang menjadi keresahan adalah bahwa
ulama yang lalai akan statusnya sebagai ulama. Ulama yang seharusnya mempunyai
karakter agamis, malah melupakan nilai-nilai moralitas keagamaan. Yang lebih
parah lagi, menjual dalil-dalil kitab suci dengan harga yang murah hanya demi
kepentingan partai politiknya. Padahal, dalil-dalil tersebut merupakan
sakralitas dalam ajaran agama, bukan sesuatu yang bersifat profan. Dengan
demikian, luntur pula sakralitas teks-teks keagamaan sehingga menjadi
profanitas murahan.
Kehadiran
sosok ulama hendaknya menjadi teladan bagi elit politik yang lain, juga kepada
umat manusia di Indonesia khususnya. Ulama adalah sosok yang dikenal ‘alim
(berlimu) dan mempunyai moralitas yang baik. Dengan kehadiran ulama seharusnya
bisa mewarnai politik kekuasaan menjadi harmonis, bukan malah menambah kontras
permusuhan antargolongan atau antarpartai. Hal ini yang seharusnya diperhatikan
oleh ulama.
Sebenarnya
yang dititikberatkan adalah peranan ulama dalam melakukan aktualisasinya di
hadapan semua umatnya. Jika seorang ulama itu ikut andil dalam dunia politik,
maka tidak lain adalah untuk menjadi figur dan teladan yang baik, entah itu
bagi tokoh politikus yang lain atau masyarakat yang memandangnya. Namun jika
ulama tersebut tidak mau berkecimpung dalam dunia politik, maka sewajarnya
menjadi ulama yang sebenarnya. Artinya, ulama yang memang benar-benar mengasuh
dan menuntun umat agar mendapat siraman rohani dalam menjalani kehidupan
bersosial vertikal dan horizontal.
Belakangan
ini, banyak ulama yang tidak mau terjun dalam politik. Namun anehnya, perilaku
yang ditunjukkan kepada umatnya adalah sikap yang mengarah kepada politik.
Misal, ketika persaingan menjadi kepada daerah, bupati, calon legislatif, atau
yang lainnya, ulama yang seharusnya menjadi panutan malah memberi dukungan
kepada salah seorang calon. Tentu saja hal ini merupakan permainan politik atau
malah sekedar mencari popularitas belaka. Sungguh hal ini jauh dari moralitas
dan etika keagamaan. Namun memang sering terjadi, para calon itu melakukan
sowan politik kepada ulama dengan harapan ulama tersebut mampu menggerakkan
umatnya. Dengan demikian, umat dari ulama tersebut condong dan mengarah kepada
calon yang sowan ke ulama tersebut karena pengaruhnya.
Dengan
demikian, citra ulama tidak sedemikian relevan dengan gelar yang disandangnya.
Secara bahasa, ulama adalah bentuk jamak dari ‘alim yang berarti orang yang
berilmu (dalam bahasa Arab). Maksudnya, orang yang berilmu dan mumpuni dalam
khazanah kelimuan Islam. Namun ternyata, interpretasi tentang ulama kini
berkembang lebih luas seiring banyaknya fenomena yang terjadi. Arti ulama bukan
hanya sekedar orang-orang yang berilmu pada bidang keagamaan saja, namun juga
berilmu pada bidang politik.
Dengan
membaca buku ini, para pembaca diajak untuk meneropong pada kenyataan ulama
yang ternyata mempunyai pengaruh besar dalam bidang politik. Pengaruhnya pun
disandingkan dengan agama sehingga seringkali berdalil dengan argumentasi kitab
suci. Padahal, kitab suci adalah sesuatu yang sakral. Sebenarnya, bukanlah hal
yang tidak wajar jika ulama terjun ke dalam perpolitikan. Akan tetapi, menjadi
hal yang tidak wajar jika ulama membawa nama agama demi kepentingan politiknya.
Yang diharapkan dari keterlibatan ulama dalam urusan politik adalah islamisasi
politik, bukan politisasi islam. Maksudnya, merubah cara kerja politik kotor
menjadi cara kerja politik yang islami.[*]
*)
Penulis adalah staf Pembimbing dan santri senior di Pondok Pesantren Krapyak,
Yasalma, Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar