Judul:
Ziarah Wali; Wisata Spiritual Sepanjang Masa
Penulis:
Ruslan dan Arifin Suryo Nugroho
Penerbit:
Pustaka Timur, Yogyakarta
Cetakan
I: September 2007
Tebal:
138 halaman
Peresensi:
Lukman Santoso Az*)
|
Membludaknya jumlah
peziarah ke makam wali dari tahun ke tahun, terutama ketika hari-hari tertentu,
merupakan fenomena kehidupan yang unik sekaligus menarik untuk dicermati. Di
tengah gempita dan glamournya modernitas, tradisi ‘wisata spiritual’ ini seakan
menjadi seremonial tersendiri yang masih menjadi ritual yang sakral dan suci
dalam perjalanan keberagamaan umat.
Kondisi ini seakan
membenarkan apa yang dikatakan Claude Guillot dan Henri Chambert-Loir (2007),
bahwa makam wali adalah tempat pengungkapan perasaan religius yang bebas serta
juga tempat memelihara ritus-ritus kuno. Jika amal sembahyang di masjid
mencerminkan kesatuan dan keseragaman dunia Islam, maka amal ziarah ke makam
wali mencerminkan keanekaragaman budaya yang tercakup dalam dunia Islam.
Di Indonesia,
tradisi ini masih sangat dipertahankan, terutama di Jawa, bahkan kegiatan ini
menjadi agenda tersendiri dalam memenuhi kegiatan keagamaan. Munculnya motif
diluar tujuan utama ziarah, terlebih ketika sudah diiringi dengan
praktik-praktik yang meniru tradisi pra-Islam, sehingga tak pelak timbul suatu
pandangan syirik dalam fenomena ziarah ini. Terkadang antara syirik dan bukan
dalam praktik ziarah sangatlah sulit dibedakan, karena hal ini berlangsung
sebagai bentuk kesalehan umat. Maka yang menjadi pertanyaan kemudian adalah,
sebenarnya apa yang menjadi latar belakang masyarakat bersikap demikian dan
mengapa tradisi ini bisa bertahan sampai saat ini? Maka, dalam konteks inilah
buku ini hadir.
Buku yang ditulis
Ruslan dan Arifin Suryo Nugroho ini berupaya memotret secara komprehensif ihwal
fenomena dan tradisi ziarah ke makam wali; yakni seputar unsur-unsur mistik
dibalik pensakralan wali, keistimewaan yang dimiliki wali, serta makna ziarah
wali dalam konteks pewarisan sejarah. Secara lebih rigid, makam wali yang
menjadi fokus pembahasan buku ini adalah para wali yang berperan menyebarkan
Islam di Nusantara, yakni wali sanga (wali sembilan).
Selain itu, buku
ini juga berupaya mengungkap bagaimana fenomena tradisi ziarah wali senantiasa
merepresentasikan sintesa agama dan konteks kulturnya dalam panorama beragam,
yang sekaligus bermuara menjadi sesuatu yang global dan universal, yakni
pemaknaan orang suci (wali) dan jejak biografinya yang menjadi tempat suci.
Terlepas dari
berbagai pro-kontra tradisi ziarah ke makam wali ini, diakui atau tidak,
menurut penulis hal ini telah membawa ingatan pada segenap hubungan antara
orang suci dan tempat suci dalam pemaknaan waktu dan ruangnya. Tak ada satu pun
tempat suci yang dikultuskan dalam tradisi ritus agama-agama besar yang tidak
berhubungan dengan peristiwa bersejarah dalam hidup orang-orang suci, sebut
saja nabi dan rasul.
Karena itu, hampir
disemua negeri Islam terdapat tempat-tempat keramat yang umumnya berupa
makam-makam wali. Ini merupakan suatu kewajaran mengingat semasa hidupnya para
wali merupakan orang-orang yang berperan dan berpengaruh dalam masyarakat,
sehingga ziarah ke makamnya merupakan wujud bakti kepada para wali tersebut.
Apabila kita
menelusuri "konsep kewalian" dan hubungannya dengan praktek ziarah,
maka salah satu asumsi utama yang mendasari seluruh proses aktivitas ziarah ke
makam para wali adalah berangkat dari sebuah pemahaman teologis tentang sosok
wali. Pemahaman teologis ini berangkat dari kelompok keagamaan tertentu pada
Islam, tarekat atau sufisme menempati posisi ini. Seperti diutarakan Muhammad
Mahmud Abdul Alim (2003), bahwa kewalian adalah inti dari ajaran tasawuf.
Menurut pemaparan
penulis dalam buku ini, ada tiga hal yang menonjol pada diri wali, yakni
karamah, barakah, dan syafa’at. Ketiga hal itu melekat dan menjadikan sosok
wali sebagai tokoh keramat, baik ketika masih hidup maupun setelah meninggal,
sehingga untuk mencari tiga hal itulah makamnya menjadi pusat ziarah.
Disamping tiga hal
dominan pada diri wali tersebut, menurut penulis, juga terdapat tiga komponen penting
yang disakralkan dan dipercaya membawa berkah. Komponen ini berbeda dengan yang
lainya, karena ia memiliki aura yang berbeda pula. Ketiga komponen itu, adalah
masjid sumur dan makam. Ramainya aktifitas peziarah di ketiga tempat ini
kemudian menjadi medan budaya (cultural
sphere). Pensakralan terhadap ketiga tempat ini, bagi sebagian
masyarakat dipandang sebagai bentuk personifikasi atas penyebaran dan
pelembagaan Islam yang dilakukan oleh para wali.
Hal ini seperti
kita ketahui dalam realitas sejarah, bahwa semasa hidupnya wali juga berperan
sebagai tokoh politik lokal, pemberian gelar daerah merupakan salah satu
jawabannya. Sebagai "pejabat" lokal ini, para wali berusaha sekuat
mungkin berdakwah dengan berbagai cara. Salah satunya adalah dengan mendirikan
masjid sebagai pusat gerakan dakwah. Sebagai pelengkapnya juga dibuat
sumur-sumur sebagai tempat mensucikan diri dan setelah wali itu meninggal,
mereka kemudian dimakamkan disekitar wilayah sakral tersebut.
Sebagai orang yang
diangggap keramat, maka semua benda dan tempat peninggalannya pun dipandang
keramat, sehingga ketiga tempat tersebut membentuk trilogi untuk memperoleh
berkah dari para wali tersebut. Dan dalam pelaksanaan ziarah, ketiga tempat ini
sudah barang tentu menjadi paket utama kunjungan peziarah.
Akhirnya, sampai
pada kesimpulan penting, bahwa adanya makam wali dengan para peziarah yang dari
waktu ke waktu terus bertambah adalah pertemuan yang kerap menakjubkan tentang
bagaimana tradisi dan identitas itu dimaknai. Tentu saja hal ini tanpa kemudian
mengabaikan fenomena berikutnya, yakni ketika para peziarah hanya datang
membawa kepentingan-kepentingan yang serba-pragmatis.
Maka, dengan nuansa
kajian lokal yang mencangkup keseluruhan makam-makam wali utama (Wali Songo)
yang representatif. Buku setebal 138 halaman ini penting kiranya untuk dikaji.
Suguhan informasi dalam buku ini sangat menarik dan berguna, baik bagi kaum
intelektual, peneliti, sejarawan, antropolog, maupun pelaku ziarah itu sendiri.
Disamping suguhan foto-foto sentral disekitar ritus ziarah yang juga menambah
lengkap dan akuratnya data dalam buku ini. [*]
*) Lukman Santoso
Az,
pecinta buku dan pemerhati Keagamaan pada Center for Studies of Religion and
State [CSRS] Yogyakarta.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar