Judul
buku: Army of Roses, Kisah Nyata
Para Perempuan Palestina Pelaku
Bom Syahid
Penulis:
Barbara Victor
Penerjemah:
Anna Farida
Penerbit:
Mizan, Bandung, September 2005
Tebal: xlii + 404 halaman
|
Tak ada yang bisa disuguhkan perang selain malapetaka. Nalar sehat
siapa pun tentu akan mengiyakan konstatasi ini.
Horor kematian yang setiap saat siap menjemput, ancaman raibnya
masa depan anak-anak, malnutrisi dan serangan wabah penyakit, juga trauma
pascaperang, adalah beberapa impak paling gamblang akibat gelegak perang yang
disulut manusia.
Tapi anehnya kecamuk api peperangan masih saja menyala di sebagian
pojok belahan dunia yang kian renta ini. Sengketa perbatasan wilayah negara
atau perselisihan ideologi, misalnya, hingga kini acap jadi picu pelatuk yang
menggerakkan naluri purba umat manusia untuk saling mengenyahkan satu sama
lain. Kemajuan peradaban yang dicapai tangan dingin umat manusia dalam
kenyataanya bukan kian memudahkan manusia untuk menyalakan api perdamain dan
persaudaran abadi antarsesama seperti diharapkan; tapi sebaliknya malah lebih
sering meredupkan dan bahkan mematikannya hingga jalan bagi terwujudnya harapan
mulia itupun mampat dan tersumbat rapat.
***
Begitu banyak karya yang menguntai rumbai kisah kengerian yang dilahirkan
peperangan tersebut dan darinya kita pun sesungguhnya bisa menambang kearifan
untuk tak merayakannya lagi. Dan buku Army of Roses karya Barbara Victor ini
merupakan salah satu karya yang merekam secara apik gejolak bara api permusuhan
antara Palestina dan Israel yang seolah tanpa ujung itu.
Dalam buku yang didukung riset selama hampir satu tahun ini, kita
disuguhi kisah-kisah getir para ibu yang tiba-tiba dengan dada sesak harus
melepas suami, anak-anak, atau sanak saudara tercintanya ditawan tentara Israel
untuk kemudian raib entah di mana. Tak ketinggalan paparan cukup detail ihwal
alotnya tarik-tolak diplomasi antarelite kedua negara itu dalam mewujudkan
perdamaian.
Tapi, selain jalinan narasi apik ihwal sisi-sisi paling muram buah
peperangan yang juga telah banyak didedah media massa itu, apa yang paling
menarik dari buku karya jurnalis untuk CBS Television dan US News and Worlds
Report ini adalah tilikan cermatnya yang lebih terfokus pada babak baru
perjuangan rakyat Palestina dengan keterlibatan kaum perempuan dalam upaya
kemerdekaan negerinya. Apalagi, keterlibatan kaum perempuan itu, ironisnya,
ditempuh tidak dalam “cara konvensional”; tetapi dengan jalan menjemput ajal
secara sukarela dalam aksi bom bunuh diri yang biasanya secara salah kaprah
digeneralisasi media massa Barat sebagai aksi terorisme.
Tak hanya mendedahkan jalan syahid yang ditempuh empat perempuan
Palestina (Wafa Idris, Darine Abu Aisya, Ayat al-Arkhas, dan Andalib Sulaeman
Takatka), Barbara Victor pun begitu jauh masuk ke dalam jejaring akar-akar
teologis-ideologis dan konteks sosial-politik-ekonomi masyarakat Palestina yang
“menggoda” mereka yang dijuluki Arafat sebagai “Lasykar Mawar” itu untuk
memungut kematian sebagai puncak kemuliaan hidup. Menelisik sisi-sisi yang tak
tersingkap selama ini mengapa kaum perempuan Palestina di sepanjang Jalur Gaza
dan Tepi Barat akhirnya “mulai memendekkan rok, memakai celana panjang, dan
menanggalkan kerudung mereka”. Juga mendedah secara rinci bagaimana mereka
berhenti pada sebuah keyakinan bahwa pilihan paling mulia yang bisa ditempuh
untuk kehidupan yang tengah dilakoninya adalah dengan jalan mengakhirinya.
Tak diabaikannya sisi tersebut bagaimanapun sangat penting. Sebab,
pilihan kaum perempuan Palestina untuk menjadi martir atas nama agama dan
negara dengan “meledakkan diri”, menurut Barbara Victor, sesungguhnya bukan tak
didesak kekuatan-kekuatan di luar kendali kesadaran autentik kaum perempuan
itu. Malah tak jarang, preferensi tersebut merupakan bukti telanjang suksesnya
eksploitasi atas perempuan dengan berbalutkan kultur dan pemahaman agama yang
patriarkis dalam masyarakat Palestina.
Apa yang diteriakkan penyokong Hamas dan Jihad Islam
pasca-Intifadah pertama yang semula secara terang-terangan menista keterlibatan
perempuan dalam aksi-aksi demonstrasi sebagai langkah tak patut, juga fatwa
para ulama yang memosisikan peran ideal perempuan melulu di ranah
domesik---karena menurut mereka “peran utama perempuan adalah melahirkan sedini
mungkin dan sesering mungkin”---adalah dua contoh dari sebukit contoh lain yang
dipungut Barbara Victor untuk menyokong paparannya. Padahal saat memasuki
Intifadah babak kedua, bom bunuh diri diserukan sebagai kebajikan spiritual
yang akan berbuahkan gemerlap surga. Di nuktah inilah buku dengan kualitas terjemahan
cukup mengalir ini menyuguhkan sesuatu yang “berbeda” sekaligus tak mustahil
dituding “kontroversial” oleh sebagian pembaca Muslim.
Cerita perih yang dipikul Wafa Idris---sekaligus jadi alasan utama
bagi pilihannya menjadi pionir pelaku kamikaze di Palestina---yang merasa
tersingkir dan tak bermakna di mata keluarga serta menghadapi kebuntuan untuk
tak lagi jadi benalu keluarga, adalah contoh yang ditampilkan paling awal dalam
buku ini. Tak berhenti di situ, bias patriarki pun kembali mengemuka saat
tunjangan yang diterima keluarga Wafa hanya setengahnya dari jumlah tunjangan
yang biasa diberikan kepada pelaku bom bunuh diri laki-laki.
Apa yang melatarbelakangi Darine Abu Aisya untuk “meledakkan diri”
justru lebih ganjil lagi: ia melakukannya sebagai wujud pemberontakan atas
kawin paksa yang dikehendaki orang tuanya dengan konsekuensi harus berhenti
kuliah. Padahal menjadi akademisi adalah cita-cita yang terus menghuni relung
kalbunya.
Tak begitu jauh berbeda dalam substansi, perkara nama baik keluarga
merupakan pemicu mendasar bagi Ayat al-Arkhas untuk menjadi perempuan penjemput
ajal yang ketiga. Bagi Ayat, rasa malu dan terhina yang tak tertanggungkan
akibat keterlibatan ayahnya dalam perusahan jasa konstruksi milik Israel hanya
bisa impas jika “ditebusnya” dengan menjadi syahidah.
Namun, sangat berbeda dari alasan ketiga perempuan di atas, motif
pribadi yang melatarbelakangi Andalib Sulaeman Takatka dalam aksi kamikaze
tampaknya paling ganjil: untuk menggapai ketenaran. Sebab, sebagai seorang gadis
yang hidup bak generasi MTV---seperti tampak dalam kegemarannya mengoleksi
majalah dan poster para selebritis serta VCD/DVD terbaru---pilihannya itu
merupakan titik balik yang bahkan tak dipahami ibunya. Bagi sang ibu,
pilihannya itu tak lain akibat sebuah hasutan. Andalib, dalam kalimatnya
Barbara Victor, adalah gadis muda yang amat gampang terbujuk dalam fantasi diri
sendiri tentang popularitas.
***
Alhasil, seperti sekilas telah diungkap di muka, paparan rinci
yang tak jarang terkesan “sinis” sepanjang buku ini boleh jadi tak begitu
“mengenakkan” mereka yang menilai aksi bom bunuh diri sebagai jalan mulia yang
direstui ajaran agama. Tapi, ketelatenan Barbara Victor dalam mengungkai
moralitas ganda yang mengidap para pembesar Palestina dan kaum agamawan
konservatif dalam memosisikan status perempuan bagaimanapun sangat berharga
untuk disambut apresiasi.
Sebab, dengan menyimak lembar demi lembar buku ini, lagi-lagi kita
akan melihat bahwa dengan berlindung di balik jubah tradisi lapuk dan pemahaman
harafiah serta distortif atas agama; kaum perempuan dieksploitasi, dikucilkan,
dan akhirnya disepak ke bagian buritan paling belakang dalam perhelatan sejarah
Palestina yang memang masih merayakan “masyarakat laki-laki” (al-mujtama’
al-abawy). [*]
*) Damanhuri, mahasiswa S-2 ICAS-Paramadina, Jakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar