Judul:
Bukti-Bukti Gus Dur itu Wali: 99 Kesaksian Tak
Terbantahkan dari Sahabat,
Orang Dekat,
Kolega dan Keluarga
Penulis: Achmad Mukafi Niam dan Syaifullah Amin Penerbit: Renebook, 2014 Halaman: xxviii + 224 Peresensi: Rijal Mumazziq Z, |
Sebagai
sebuah teks, Gus Dur telah selesai ditulis bersama takdirnya, tapi ia belum
selesai dibaca. Ia adalah korpus terbuka yang bisa ditafsirkan dengan beragam
sudut pandang. Pula, ia dicela dan semakin dicinta dengan banyak cara.
Demikianlah, Gus Dur selalu membuat pelbagai kemungkinan untuk “di” karena
sejak sosok ini hidup ia adalah subyek sekaligus obyek.
Dari
sini, bisa dipahami bahwa Gus Dur merupakan unfinished text yang belum tamat, dan
belum rampung untuk dimaknai. Sebagai unfinished text, Gus Dur akan selalu
menjadi “obyek” yang pernak-perniknya (pribadi dan gagasannya) selalu
dielaborasi, dikritisi, dan direkonstruksi oleh para penulis yang bertindak
sebagai “subyek”.
Sebagai
sebuah teks. Gus Dur memang terbuka untuk ditafsirkan. Meminjam teori
independensi teks-nya Karl Popper, setiap pengetahuan yang sudah diumumkan
dengan sendirinya terlepas dari monopoli pengarang dan penggagasnya, lalu masuk
ke dalam pengetahuan obyektif. Dalam hal ini, seorang penafsir (interpreter)
memiliki kebebasan dan otonomi penuh dalam menafsirkan sebuah teks. Namun, yang
menjadi masalah bukanlah benar tidaknya tafsiran yang diberikan, tetapi
argumentasi yang dijadikan landasan dalam memberikan penafsiran serta
kedekatannnya dengan fenomena yang terjadi dan berkaitan dengan teks
tersebut.
Achmad
Mukafi Niam dan Syaifullah Amin, misalnya, melakukan penafsiran atas perilaku
Gus Dur, mengumpulkan kesaksian-kesaksian unik dari para sahabat dan keluarga
Gus Dur, serta dari ragam fenomena yang mengiringi sosok ini, baik saat hidup
maupun setelah berpulang. “Bukti-Bukti Gus Dur itu Wali: 99 Kesaksian Tak
Terbantahkan dari Sahabat, Orang Dekat, Kolega dan Keluarga” merupakan upaya
merekonstruksi apa yang telah dipahami oleh kedua penulis ini mengenai apa yang
disebut oleh kedua penulis ini sebagai “kewalian Gus Dur”.
Dalam
kaidah jurnalistik, penulisan buku ini bisa dipertanggungjawabkan secara
ilmiah. Mengenai kisah-kisah yang menjadi bukti kualitas pribadi Gus Dur dan
keistimewaan-keistimewaan sosok ini, kedua penulis memungutnya dari beragam
narasumber yang memang dekat dengan Gus Dur (keluarga, sahabat, pengamat,
pengamal tasawuf, dan para ulama yang kredibel), sekaligus memverifikasi kisah
yang disampaikan, disertai dengan pembacaan kritis. Untuk itulah, kedua penulis
buku ini, dalam “Pengantar Penulis”, memberikan rambu bahwa keduanya menyeleksi
kisah-kisah yang diterima.
KH
Said Aqil Siroj, misalnya, memberikan kesaksian mengenai ‘terbongkarnya’
jatidiri seorang wali mastur (yang sengaja menyembunyikan
identitas kewaliannya) oleh Gus Dur; kesaksian dr Umar Wahid bersama pilot
pesawat kepresidenan dalam situasi genting di mana awan gelap yang hampir
menjadi badai tiba-tiba membelah dan seolah mempersilahkan pesawat mendarat
dengan aman (hlm. 58); hingga ritus ziarah ke makam para Wali dan dipercaya
berdialog dengannya (Bagian II: Komunikasi dengan Para Wali); serta berbagai
karamah-karamah yang dimiliki oleh Gus Dur.
Demikianlah,
tradisi dan kepercayaan mengenai keramat para waliyullah sangat mengakar di
kalangan masyarakat Muslim tradisionalis. Meskipun ada ungkapan la
ya’riful waliy illal waliy (hanya wali yang mengetahui wali), namun
masyarakat juga memiliki kecenderungan untuk membedakan manakan perilaku yang
termasuk bagian dari karamah, dan manakah yang merupakan istidraj;
serta manakah karamah yang merupakan anugerah Allah, dengan bagian dari ilmu
hikmah—yang bisa dipelajari.
Dalam
kategori derajat kewalian, terdapat dua aspek penting: waliyullah dan wali huquqillah.
Waliyullah adalah derajat wali yang pencapaian kewaliannya tidak melalui
prosedur normatif lewat cara riyadlah atau tirakatan
dengan mengasah kemampuan ruhaniah batiniah dengan meningkatkan kualitas ibadah
dan keimanan. Derajat ini didapat secara langsung dari Allah, tanpa usaha atau kasbul
ibadah, namun ada kejadian istimewa sebelum seseorang menjadi
waliyullah. Sedangkan Wali Huquqillah merupakan derajat kewalian
yang dicapai dengan cara normatif atau berproses melalui jalur sufistik. Secara
teoritis seserang harus melalui tahapan-tahapan berat sebelum akhirnya menjadi
seorang waliyullah. Pertama, taubat, kemudian wara’, zuhud,
sabar, tawakkal, lalu ridho syukur tahalli, tajalli, hingga
pada puncaknya mencapai ma’rifat.
Sedangkan
Gus Dur, dari sisi pengalaman, telah menjalani berbagai corak kehidupan yang memungkinkannya
menempa diri dalam derajat kesufian tertentu. Sebagaimana penuturan KH. Said
Aqil Siroj, Gus Dur setiap hari secara istiqamah membaca Surat al-Fatihah
ribuan kali (hlm. xxii). Pula, berbagai kesaksian orang terdekat Gus Dur bahwa
dalam berbagai kesempatan Gus Dur banyak bertemu dengan tamu misterius yang
memiliki derajat istimewa.
Dari
berbagai bab buku ini, selain menyuguhkan berbagai sisi yang (bagi sebagian
orang) irasional, ada banyak kisah yang sesungguhnya rasional, logis, dan
manusiawi. Sepak terjang Gus Dur dalam memperjuangkan aspek esoterisme Islam
sehingga banyak disalahpahami, proses membumikan Islam Rahmatan lil Alamin, keteguhannya
membela pihak yang tertindas, serta kehidupannya yang asketis, yang juga
dikisahkan dalam buku ini.
Terlepas
dari kebenaran hakiki apakah Gus Dur itu wali atau bukan, hanya Allah yang
Mahatahu. Berbagai kisah yang dimuat dalam buku ini bisa dijadikan salah satu
standar penilaian kualitas pribadi Gus Dur dan segala pernak-pernik
kehidupannya. Juga, kisah-kisah manusiawi yang juga banyak dimuat dalam buku
ini seolah menjadi penawar sinisme pihak-pihak yang anti-Gus Dur untuk melihat
lebih jernih dan komprehensif mengenai sosok ini. Waliyullah atau bukan, itu
hak prerogratif Allah dalam menentukannya. Yang pasti, Gus Dur adalah sosok
istimewa yang pernah dilahirkan di bumi Indonesia.[*]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar