Judul: Cerita-cerita dari Negeri Asap
Penulis: Radhar Panca Dahana
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun 2005, cetakan I
Tebal xviii + 180 hal
|
Bagi Radhar, tanah airnya adalah sebuah Negeri Asap : asap rokok,
asap knalpot, asap pabrik, asap dari hutan-hutan yang dibakar. Di balik
selubung asap itu, hidup jutaan rakyatnya yang mayoritas berada di bibir jurang
kemiskinan : petani penggarap, buruh pabrik, pegawai negeri rendahan, tukang
becak, pedagang kaki lima,TKI, pengangguran...Negeri Asap yang dipimpin oleh
para koruptor, penipu, penjilat, maling, rampok. Para pejabat (dan mantan
pejabat) di negeri ini tak sungkan-sungkan melakukan apa saja demi kekayaan,
kekuasaan, keselamatan dirinya Rakyat dibohongi melalui slogan dan pidato
berisi janji-janji hampa. Tak ada tempat bagi si jujur yang tak pernah mujur.
Rakyat di negeri itu sangat percaya pada segala jenis takhayul dan
klenik. Profesi dukun, paranormal, juru ramal, orang pinter, laku keras,
terutama menjelang saat-saat penting dan genting, misalnya : ujian sekolah,
pemilu, panen, berdagang hingga urusan penyakit menular dan perjodohan. Bahkan
kisah-kisah dari "dunia lain" itu, laris manis sebagai komoditi di
televisi.
Mereka juga suka sekali pada kekerasan, baik sebagai pelaku
ataupun sekedar menjadi penonton. Setiap hari peristiwa kekerasan dapat mereka
saksikan di mana saja. Di televisi, koran, majalah maupun dalam kehidupan real.
Orang di sana bisa saling menghunus parang hanya karena sebatang singkong saja
atau demi alasan yang lebih besar lagi : SARA. Peristiwa-peristiwa yang dulu
hanya ada dalam fiksi, kini hadir nyata di kehidupan sehari-hari. Imajinasi
kita jadi terasa begitu miskin dibanding kenyataan di sekitar kita. Khayal
memang tak terduga, tapi kenyataan kian tak dinyana. Pengarang pasti keok dan
terseok fantasinya, tunduk malu pada kreativitas dunia keseharian (Senja Buram,
Daging di Mulutnya hal 43)
Kira-kira itulah yang berhasil saya tangkap dari cerpen-cerpen
Radhar di buku ini selain juga soal cinta. Cinta romantis yang perlahan-lahan
berubah getir setelah perkawinan (Sepi pun Menari di Tepi Hari dan Benarkah
Duri Bisa Melukai?). Tema-tema sosial mendominasi keseluruhan - empat belas -
cerpen yang ada. Sebagian ia tulis semasa tinggal di Prancis. Cerpen-cerpen ini
pernah dimuat di berbagai koran (Kompas, Media Indonesia, Republika, Suara
Pembaruan, dan Jawa Pos). Cerpen Sepi pun Menari di Tepi Hari mendapat
penghargaan sebagai cerpen terbaik Kompas 2003 (saya suka ending cerpen ini :
dramatis!)
Dari keempatbelas cerpennya, saya paling suka Senja Buram, Daging
di Mulutnya. Membacanya, saya merasakan sensasi terteror oleh horor yang
dihadirkannya. Radhar mengritik tayangan kekerasan di televisi yang meracuni
pemirsa, terutama kanak-kanak. Betapa kini kita tak lagi berjarak dengan
kekerasan itu. Kekerasan bagai menu sehari-hari di meja makan kita. Kita tak
lagi terkejut mendengar berita seorang ayah membunuh anak kandungnya, misalnya.
Atau anak yang memerkosa ibu tirinya. Kita sudah imun, mati rasa.
Oiya, ada satu cerpennya - Rambut Bung Tan - yang membuat saya
bertanya-tanya, siapakah gerangan Bung Tan yang dimaksudkan Radhar pada cerpen
tersebut? Apakah ia Tan Malaka yang kontroversial itu? Yang posisinya dalam
sejarah bangsa ini berada di antara "pahlawan" dan
"pengkhianat"? Bung Tan yang gemar membaca Socrate's Apology itu
apakah sama dengan Tan ( Malaka) yang juga mencintai buku-buku? Saya masih
penasaran.
Cerpennya kebanyakan adalah cerpen realis yang kental dengan
persoalan manusia sehari-hari, sehingga terasa dekat dan tak asing dengan yang
pernah saya lihat atau alami sendiri. Apakah ini, seperti yang dikatakannya,
karena ia menulis dengan jujur? Sebab, manusia atau karya yang tidak jujur
bukan hanya kesulitan diterima oleh publik, tetapi juga merendahkan martabat
manusia yang dibelanya, ujarnya.
Lelaki kelahiran 28 Maret 1965 ini masih aktif menulis hingga
kini, meski harus menjalani cuci darah dua kali seminggu akibat gagal ginjal
yang dideritanya. [*]
*) Endah Sulwesi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar