Judul
Buku: Cermin Bening dari Pesantren
Penulis: Rizal Mumazziq Z. Penerbit: Khalista, Surabaya Cetakan: I, 2009 Peresensi: A. Khoirul Anam*) |
Sosok
kiai kerapkali diasosiasikan dengan tokoh konservatif dan jumud. Ini adalah
interpretasi yang sangat apriori. Gambaran demikian sebenarnya sangat kasuistik
dan bersifat per-sonal karena sosok kiai (sebagai bagian dari kelompok sosial
seperti manusia lainnya) memiliki sifat, pola pikir, dan karakter yang
berbeda-beda.
Sungguhpun
demikian, pandangan-pandangan sumir terhadap kiai—biasanya dilakukan oleh para
modernis dan puritan—tetap tak mampu menggeser pengaruh kiai di masyarakat.
Keberadaan pesantren yang manunggal dengan lingkungan sekitarnya, memang unik.
Ia seperti berada di wilayah periferi kekuasaan negara, sekaligus hadir di
jantung masyarakat. Dan, sebagai figur sentral pesantren dan masyarakat, kiai
dituntut bersikap kontekstual, fleksibel dan elastis menyikapi dinamika sosial,
sekaligus menjaga agar jatidiri dan sistem nilai pesantren tak luntur. Dalam
strategi sosial kebudayaan, kepercayaan diri self confidence yang berkelindan
dengan sikap pertahanan diri (self defensive) seperti ini, akan
memberikan landasan kuat bagi transformasi sosial.
Strategi
di atas, memungkinkan pesantren untuk melihat persoalan kemasyarakatan dengan
prinsip dan nilai-nilai Islam. Dalam pandangan KH. Abdurrahman Wahid, lembaga
yang dilahirkan dari strategi ini tidak akan menjadi institusi yang eksklusif,
melainkan berupa institusi umum yang diterima oleh seluruh masyarakat.
Lebih
dari itu, dalam berbagai pengamatan para ”orientalis pesantren”
(Hirokoshi, Feillard, Jones, Bruinessen, hingga Geertz dll) ada dwifungsi
vital pesantren sebagai centre of excellence yang menjadi kawah candradimuka
pemikir agama (religious intellectual) sekaligus fungsi sebagai agent of
development yang menangani pembinaan pemimpin masyarakat (community leader).
Apabila fungsi pertama memaksa pesantren untuk berkembang menjadi pusat studi
keagamaan dan kemasyarakatan, maka fungsi terakhir menuntut pesantren menjadi
pionir dalam program-program pengembangan masyarakat itu sendiri. Pada titik
ini, pesantren telah menahbiskan diri sebagai institusi pendidikan, dakwah
sekaligus lembaga sosial.
Keberadaan
kiai dan pesantrennya di wilayah rural memungkinkannya untuk selalu mera-sakan
denyut nadi masyarakat marginal. Secara sosial-ekonomi-politik-budaya,
masyarakat seperti ini jelas tak punya daya tawar pada negara yang hegemonik.
Di sinilah, barangkali, posisi strategis pesantren dalam memberikan kontribusi besar
pada social engineering dan transformasi sosial.
Sebagai
pewaris kejayaan keilmuan Islam masa klasik, pemahaman masyarakat bersarung
terhadap khazanah keilmuan klasik secara komprehensif justru menghasilkan
kemampuan khas untuk menyelesaikan persoalan rumit dengan bahasa yang
sederhana. Pergulatan kiai, sebagai pemukanya, dengan khazanah kitab kuning
(yang sering dituduh out of date) ternyata menghasilkan sebuah
fleksibilitas dan efektifitas pengambilan hukum aktual-kontekstual yang
dikalkulasikan atas pertimbangan hukum yang bermuara pada aspek mashlahah dan
mafsadah.
Sebab,
berbeda dengan golongan (firqah) keagamaan yang lain, pandangan dunia
pesantren (dan NU) menggabungkan tiga perspektif, yaitu dimensi teologis atau
spiritual, dimensi akhlak atau tasawuf, dan dimensi hukum atau fiqh. Semuanya
diposisikan saling menunjang dan melengkapi, bukan terpisah atau saling
berhadapan.
Dimensi
teologis berfungsi mengukuhkah ketauhidan serta membawa kesadaran akan fungsi
manusia sebagai khalifatullah. Dimensi akhlak atau tasawuf dikembangkan untuk
mem-bangun suatu kultur yang berbasis pada nilai-nilai kesantunan,
kebijaksanaan, dan kedeka-tan dengan Sang Pencipta. Terakhir, dimensi hukum
atau fiqh dikembangkan untuk meno-pang proses bagaimana hukum diterapkan. Ketiga
dimensi di atas merupakan satu kesatuan, tidak bisa dikedepankan salah satu
aspeknya saja. Beberapa hal di atas itulah yang menye-babkan akademisi Barat
termehek-mehek jatuh hati pada dunia pesantren.
Ketiganya
juga bisa dipakai sebagai acuan memahami kompleksitas pesantren. Ketiganya
berfungsi sebagai “teropong” yang digunakan untuk menilai dan mempertimbangkan
aspek masfsadah dan mashlahah segala sesuatu. Untuk itulah, pesantren hingga
saat ini tidak gampang terjebak sikap tatharruf dan taasshub. Sebab pesantren
memiliki tata nilai tersen-diri yang terangkum dalam formula tasamuh
(toleran), tawassuth (sikap tengah) tawazun (seimbang), i’tidal
(tegak lurus) dan amar ma’ruf nahi munkar. Inilah yang saya kira
men-jadi kunci untuk mengkampanyekan “Islam ramah” yang menjadi “rahmah” bagi
seluruh alam. Mustahil kiranya mewujudkan Islam yang menjadi rahmat bagi
semesta alam tanpa melibatkan unsur pesantren. Ia adalah pewaris kegemilangan
Islam di masa klasik. Kaum bersarung inilah yang, dalam pandangan Sidney Jones,
menjadi akar tunjang agar moderatisme Islam tak ambruk.
Akhirnya,
hanya sejarah-lah yang akan menjadi hakim penentu (only history will be able to
judge) atas upaya masyarakat pesantren dalam membangun tatanan sosial untuk
kemaslahatan bersama.
Melalui
buku Cermin Bening dari Pesantren, para pembaca diajak mencecap muara
ilmu yang tak pernah kering bernama KH. M. Hasyim Asyari; belajar kesabaran dan
kerendahatian dari KH. Hamid Pasuruan, sang sufi besar abad XX; memungut
serpihan keteladanan dari “kitab akhlak” berjalan bernama Ajengan Ilyas
Rukhiyat; berguru kearifan dari pende-kar fiqh bernama KH. A. Wahab Hasbullah
dan KH. Bisri Syansuri; menapaktilasi jejak gemilang guru politik bernama KH.
A. Wahid Hasyim dan KH. Idham Chalid.
Lalu
menyelami samudera tasawwuf bersama KH. Hamim Djazuli, KH. Adlan Aly, KH. Romly
Tamim, KH. Shohibul Wafa Tajul Arifin; menjejak kezuhudan KH. Saifuddin Zuhri,
KHR. As’ad Syamsul Arifin, dan KH. Ma’shum Ahmad Lasem; menilik kontribusi
pemberdayaan umat yang KH. Baqir Adelan, dan sang maestro Fiqh Sosial, KH. MA.
Sahal Mahfudh; serta menjejak keteladanan yang dipraktikkan lusinan kiai
lainnnya. Beliau-beliaulah yang rela menuntun dan mendampingi umat di tengah
gulita, dan mendonasikan hidupnya demi Islam. [*]
*) Santri Pesantren Ciganjur
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar