Judul:
Dari Neomodernisme ke Islam Liberal;
Jejak Fazlur Rahman dalam Wacana
Islam di Indonesia
Penulis: Dr. Abd. A’la Pengantar: Prof. Dr. Azyumardi Azra Penerbit: Paramadina Jakarta, 2003
Tebal
: xvi + 249 halaman (termasuk indeks)
|
Gugusan
pemikiran yang berpayung modernisme dan liberalisme kemudian bukan semata
konsumsi dan “monopoli” kalangan Islam perkotaan. Para akademisi, mahasiswa dan
aktivis kajian di berbagai tempat, mulai menjadikan wacana ini sebagai
paradigma baru pemikiran Islam. Azyumardi Azra, dalam pengantar buku ini
menjelaskan bahwa satu hal yang cukup menguntungkan bagi gerakan Islam liberal
(di) Indonesia, adalah kian dianutnya paradigma ini oleh segmen anak muda.
Era
1970-an, diyakini banyak kalangan sebagai gerbang baru dalam kancah pemikiran
Islam di Indonesia. Pada masa itulah corak pemikiran keislaman mulai dijangkiti
gejala baru (baca: pembaruan) yang disebut “neo-modernisme”. Sosok Nurcholish
Madjid (Cak Nur) kemudian dinobatkan sebagai lokomotif pembuka bagi tergelarnya
wacana neo-modernisme Islam Indonesia di kemudian hari.
Hari
ini, kurang lebih 30 tahun setelahnya, gerakan pemikiran model ini kian
berkibar dan mendapat tempat dalam konstalasi keilmuan Islam di tanah air.
Hanya saja, seiring arus waktu, ia telah mengalami metamorfosa yang begitu rupa
dan berganti nama dengan “Islam liberal”. Ciri khas yang dapat ditangkap dari
aliran model ini adalah kuatnya upaya guna menampakkan nuansa keagamaan (Islam)
dalam bentuknya yang substansial. Pemahaman yang diusungnya adalah paradigma
holistik yang otentik dengan tetap berpijak pada akar tradisi. Ia tidak
mengutamakan bentuk, melainkan lebih pada nilai guna sosial yang
ditimbulkannya. Istilah “Islam liberal” sendiri muncul pertama kali di saat
Indonesianis Greg Barton menyebutnya dalam buku karangannya, Gagasan Islam
Liberal di Indonesia (Paramadina: 1999). Semenjak saat itu, istilah tersebut
mulai akrab di telinga khalayak Indonesia. Apalagi, ketika Charles Kurzman
meluncurkan karya Wacana Islam Liberal (Paramadina: 2001) dan digayung-sambuti
dengan pendirian Jaringan Islam Liberal (JIL) oleh Ulil Abshar-Abdalla dan
kawan-kawan, wacana liberalisme Islam menjadi kian marak dan melahirkan
kontroversi berkepanjangan. Dari waktu ke waktu, wacana ini bergulir dan
membiak ke berbagai arah.
Gugusan
pemikiran yang berpayung modernisme dan liberalisme kemudian bukan semata
konsumsi dan “monopoli” kalangan Islam perkotaan. Para akademisi, mahasiswa dan
aktivis kajian di berbagai tempat, mulai menjadikan wacana ini sebagai paradigma
baru pemikiran Islam. Azyumardi Azra, dalam pengantar buku ini menjelaskan
bahwa satu hal yang cukup menguntungkan bagi gerakan Islam liberal (di)
Indonesia, adalah kian dianutnya paradigma ini oleh segmen anak muda. Menurut
Azra, dalam perkembangannya, neo-modernisme Islam telah menjelma menjadi wacana
yang tidak terbatas pada kelompok yang dulu dianggap sebagai perintis
pembaruan, seperti Muhammadiyah saja. Tapi juga telah menyebar ke dalam
kaukus-kaukus muda yang berasal dari pesantren dan pedesaan. Salah satu
contohnya adalah Abd. A’la, penulis buku ini. Secara praktis, paham Islam
liberal sama sekali tidak menginginkan adanya segala bentuk formalisasi serta
radikalisasi sikap keagamaan.
Sebaliknya,
ia cenderung menempatkan Islam sebagai sebuah sistem dan tatanan nilai yang
harus dibumikan selaras dengan tafsir serta tuntutan zaman yang kian dinamis.
Watak pemikirannya yang inklusif, moderat, dan plural menggiringnya untuk
membentuk sikap keagamaan yang menghargai timbulnya perbedaan. Tentu saja dengan
tetap menggunakan bingkai pemikiran keislaman yang viable, murni
(genuine) dan tetap berpijak kukuh pada tradisi.
Berlatar
panorama di atas, orang kemudian mulai menghubungkan wacana semacam ini dengan
paradigma pemikiran yang diusung oleh intelektual muslim terkemuka, Fazlur
Rahman. Tokoh reformis asal Pakistan ini, dinilai memiliki andil besar dan
pengaruh yang sangat kuat bagi berseminya wacana Islam liberal di Indonesia.
Hal ini – antara lain – dapat dirujuk dari kedekatan Fazlur dengan Cak Nur, pelopor
dari gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Kebetulan, Cak Nur beserta beberapa
tokoh dari Indonesia (antara lain Syafi’i Ma’arif) sempat berhubungan dan
berguru langsung dengan Fazlur Rahman. Cukup wajar jika pada akhirnya peran
Fazlur Rahman disebut-sebut sebagai “ikon” yang melekat dalam aliran pemikiran
Islam modern di negeri ini. Pada konteks itulah, buku ini hendak melacak sejauh
mana pengaruh Fazlur Rahman terhadap pemahaman keislaman di Indonesia.
Penyingkapan
akan hal tersebut, menurut A’la, terasa penting disebabkan perlunya korelasi
yang jelas antara konstruksi pemikiran yang dibentuk (liberalisme) dengan
landasan ideal yang menjadi pilar penyangganya. Dalam pandangan A’la, terdapat
-- setidaknya -- dua signifikansi yang bisa dipungut dari pengetahuan kita akan
hal tersebut. Pertama, secara teoretis keilmuan, warisan pemikiran yang digagas
Fazlur, kelak berhasil menjadi arus utama (mainstream) bagi gerakan pembaruan
Islam berikut pembiakannya di Indonesia. Pada titik inilah, gagasan ideal Fazlur
sepenuhnya tak dapat dipisahkan dengan wacana keagamaan yang hegemonik di
nusantara. Betapa kita lihat, pelbagai gagasannya (antara lain yang sangat
menonjol adalah ide penafsiran al-Qur’an dan Hadits secara rekonstruktif dan
“hidup”) telah menjadi topik penting dari beragam diskusi yang marak digelar di
berbagai tempat. Kedua, pemikiran Fazlur pada akhirnya menawarkan alternatif
baru serta perspektif lain bagi kesadaran teologi (sebagian) umat Islam di
Indonesia. Konsep pendekatan holistik (yang dikenal dengan “teologi Qur’ani”)
yang disodorkannya, serta-merta telah membuka cakrawala pandang baru yang lebih
fungsional, liberal, dan applicable dalam merespon problema sosial
kemanusiaan mutakhir. Penelusuran Abd. A’la dalam buku ini akhirnya bermuara
pada sebuah kesimpulan bahwa cita pembaruan yang ditularkan Fazlur Rahman bagi
paradigma keislaman di Indonesia telah menampakkan hasil yang gemilang. Bukan
saja dari tawaran pembaruan yang diretasnya, namun lebih dari itu, ia
menyisakan sejumlah “organisme” pemikiran yang sangat berharga dan sarat dengan
nilai-nilai liberal yang kontekstual, transformatif, dan juga otentik.
Oleh
karenanya, ke depan, diskursus Islam liberal di Indonesia tetap layak untuk
digulirkan dan dikaji secara lebih menarik. Di tengah kondisi kehidupan manusia
dalam global village ini, Islam liberal bisa hadir sebagai “mazhab”
perekat solidaritas sosial yang senantiasa mengupayakan keadilan beragama serta
keberagamaan yang adil. Pada titik inilah, karya Abd. A’la ini berperan sebagai
wahana kreasi ulang (re-creation) bagi kiprah dan perjalanan pembaruan Islam di
tanah air. Kini dan di masa mendatang, ia diharapkan akan menjadi cermin
cemerlang bagi lahirnya iklim keberagamaan yang damai dan lapang. [*]
*) M. Ali Hisyam, editor buku, mahasiswa hubungan antaragama pascasarjana IAIN Yogyakarta.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar