Judul: Setelah Revolusi Tak Ada Lagi
Penulis: Goenawan Mohamad Pengantar: Hamid Basyaib Penerbit Pustaka Alvabet Edisi Revisi, September 2005 Tebal: xxxii + 481 halaman |
Ketika revolusi tak ada lagi, maka yang ada hanya keadaan yang tak
semuanya sama. Menerima revolusi sama saja menerima perubahan yang menyeluruh
yang menyentak. Tak semuanya sama sebagaimana revolusi itu sendiri yang
berbeda-beda di tiap tempat di tiap waktu. Tak ada narasi besar yang
meng-umum-kan segala keadaan di segala tempat.
Kurun waktu 33 tahun, adalah waktu yang panjang bagi Goenawan
Mohamad (GM) untuk menulis dan menceritakan ketiadasamaan antar keadaan di tiap
tempat yang berbeda. Kesamaan mungkin sudah dulu, dulu sekali, ketika tekad dan
praktek mesti sesuai dengan narasi besar yang meng-umum-kan.
Tapi 33 tahun amat panjang bagi seorang GM untuk tetap—tetap
menulis, sekalipun ada alasan untuk itu. Terbit dalam rangka 60 tahun dirinya,
SETELAH REVOLUSI TAK ADA LAGI* adalah cerita PER SE tentang GM yang mulai
menunjukkan kecenderungan untuk tak meng-umum-kan jawaban atas pelbagai keadaan
sejak tahun 1960-an sampai 2000-an. Jadi bukan sekedar kumpulan tulisannya
(dengan tema tertentu) selama kurun waktu itu.
Hamid Basyaib yang mengatapengantari, sebenarnya cukup untuk
melukiskan apa yang terjadi pada GM selama kurun waktu itu. GM adalah orang
barat yang lahir di Batang, katanya. Ia, GM maksudnya, melihat segala hal bukan
untuk menyimpulkan. Karena menyimpulkan, sering hanya melahirkan kekecewaan. Ia
memakai tokoh untuk melihat. Ia tak menjawab dalam tulisan-tulisannya. Ia
justru bertanya.
Baiknya, tinggalkan saja dulu apa yang dikatapengantari itu. Mari
adakan pertemuan dengan GM.
Ketika revolusi tak ada lagi, hidup manusia tetap berubah.
Kecenderungan-untuk-tetap hilang. Yang ada hanya kenangan bahwa dulu pernah ada
orang-orang “kepala besar” yang mau mengubah dunia menyeluruh, meng-umum.
Kebanyakan mereka gagal untuk tak mengatakan semua. Dan tentu: mereka adalah
anak-anak yang ditelan oleh perubahan itu sendiri.
Apa yang mereka umumkan sebagai kenyataan sekarang telah
terjungkal, nyaris semua. Termasuk modernitas (“Heteropia Untuk Mister Rigen”,
“Mangan Ora Mangan Kumpul”). Dunia modern adalah serba terjungkal, serba
terbalik, tapi malah bercampur-akrab dengan dunia tradisional. Belum tentu Karl
Marx dapat menjelaskannya.
Tapi yang tak patut dilupakan, modernitas itu sendiri justru
sebuah rekayasa. Modernitas adalah sesuatu yang didefinisikan. Akibatnya lawan
dari modernitas, adalah sesuatu yang direkayasa, didefinisikan juga. Tak jelas
hingga sekarang mana yang lebih sahih mana yang lebih salah. Celakanya, sering
karena tak jelas itu, selera yang dominan menjadi anggapan yang menentukan.
Kembali lagi karenanya: ada yang diakui ada yang dibuang, ada yang diangkat ada
yang dipinggir.
Kesadaran inilah membuat HOAKIAU DI INDONESIA Pramoedya Ananta
Toer (“Sebuah Catatan Lain”) tampak sebagai buah kezaliman dari anggapan yang
menyeluruh, yang meng-umum, juga yang dominan kala itu. Anggapan itu kuat,
besar, dan tentu saja makan korban. Sebaliknya dari anggapan kuat itu,
orang-orang Cina dan atau keturunannya di Indonesia—sebagai contoh—adalah kita
sendiri. Kita sendiri sebagai orang-orang Indonesia.
Memang, terkadang anggapan yang telah kuat, mendarah-daging,
mengundang banyak orang untuk memilih sesuatu yang tak dianggap, sesuatu yang
seksi. Dan inilah pula yang tampak ketika sesuatu yang kuat tersebut mengancam.
Ada yang heboh.
Kehebohan yang terjadi sebenarnya pula adalah kelainan yang sering
muncul setelah lama tak dipikirkan. Dan itu mewarnai segala, termasuk puisi.
Mengambil contoh dalam “Saini dan Puisi Platonis," Saini KM malah tampak
bagai seorang platonis dengan puisi-puisi yang ketinggalan zaman untuk tahun
1968. Sehingga, puisi-puisinya adalah sebuah kehebohan di tengah puisi-puisi
perlawanan, puisi-puisi “yang bukan apa-apa”, puisi-puisi eksperimen yang bakal
muncul tak lama setelah itu.
Itu pula yang terjadi pada puisi-puisi Sapardi Joko Damono
(“Nyanyi Sunyi Kedua: SAJAK-SAJAK SAPARDI JOKO DAMONO 1967—1968”) dan
puisi-puisi Trisno Sumardjo (“Trisno Sumardjo: Puisi Modern dan Horatio”).
Keduanya adalah semacam dua kehebohan meski jelas berbeda. Apa yang dipuisikan
Sapardi Joko Damono adalah kehebohan baru di tengah puisi-puisi perlawanan,
sedang apa yang dipuisikan Trisno Sumardjo adalah kehebohan baru di tengah
eksperimentasi puisi-puisi modern di Indonesia kala itu.
Dengan cara pandang itu pula, kearifan adalah sebuah hasil yang
menggembirakan darinya. Ambil saja contoh Gus Dur (“Surat Terbuka untuk
Pramoedya Ananta Toer”). Apa yang dimulai dalam pemerintahannya yang ‘seumur
jagung” itu adalah rekonsiliasi. Kepada korban pembantaian tahun 1965—1966, ia
meminta maaf. Kepada Israel, ia membuka hubungan. Sebab, toh, yang terjadi
adalah dulu yang tak patut dibawa sekarang. Gus Dur bikin heboh.
Yang patut diingat, sebenarnya, bagaimana agar tak terjadi lagi
keadaan yang seperti itu. Bukan melupakan, karena melupakan berarti menolak
kebenaran. Dengan mengingat, ketegasan akan adanya salah itu ada dan keadaan
bahwa manusia itu bukan apa-apa itu nyata. Dari sanalah, hidup dimulai lagi
dengan harapan. Begitulah yang terkesan.
Keengganan untuk menyamakan ada, dan agaknya bertahan dalam waktu
yang panjang. Dalam “DARI SUNYI KE BUNYI: Sebuah Pengantar”, seperti menegaskan
kesan itu. Seolah bercerita tentang dirinya, GM melihat Hartojo Andangdjaja
seseorang yang menghargai sesuatu yang bukan apa-apa di mata umum. Di tengah
hidup yang dipenuhi dan diributi dengan persoalan yang “riil”, seseorang yang
menekuni sesuatu yang bukan apa-apa seperti itu adalah seseorang yang juga
patut dihargai.
Ketika revolusi tak ada lagi, adakan saja pertemuan dengan GM.
Maka, inilah yang akan didapatkan: semua berbeda, tak ada yang sama, tapi
hargai semua. Kira-kira begitu.
Mereka yang melulu meng-umum-kan segala hal dengan narasi-narasi
besar, lebih baik tak usah baca buku ini. Sebab GM jelas-jelas orang yang
memilih untuk melihat segala hal bukan dengan cara seperti itu. Ia bukan orang
eksklusif yang seringkali teriak, “Bakar! Bakar rumah ini. Kita gemparkan negeri
ini bahwa kami kalian kini pisah sudah.” Ia cuma pencerita tentang revolusi
yang sekarang tak ada lagi.[*]
--Ning Elia, penyair, tinggal di Bandung
Catatan:
Semua yang dicetak dengan huruf besar dimaksudkan cetak miring.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar