Judul
Buku: Sepakbola Tanpa Batas
Penulis: Anung Handoko Penerbit: Kanisius, Yogyakarta Cetakan: I, 2008 Tebal: 160 halaman |
Tim
nasional sepak bola Indonesia memiliki kebanggaan tersendiri, menjadi tim Asia
pertama yang berpartisipasi di Piala Dunia FIFA pada tahun 1938. Saat itu
mereka masih membawa nama Hindia Belanda dan kalah 6-0 dari Hungaria, yang
hingga kini menjadi satu-satunya pertandingan mereka di turnamen final Piala
Dunia. Indonesia, meski merupakan negara besar dengan jumlah penduduk yang juga
sangat besar, tidak termasuk jajaran tim-tim terkuat di AFC.
Di
kancah Asia Tenggara sekalipun, timnas belum pernah berhasil menjadi kampiun
Piala AFF (dulu disebut Piala Tiger). Prestasi tertinggi timnas 'hanya'-lah
tempat kedua di tahun 2000, 2002, dan 2005. Di ajang SEA Games pun kita jarang
meraih medali emas, yang terakhir diraih tahun 1991.
Di
kancah Piala Asia, timnas meraih kemenangan pertama pada tahun 2004 di China
setelah menaklukkan Qatar 2-1. Yang kedua diraih ketika mengalahkan Bahrain dengan
skor yang sama tahun 2007, saat menjadi tuan rumah turnamen bersama Malaysia,
Thailand, dan Vietnam.
Raihan
3 angka dari jumlah pertandingan yang sama (2-1 melawan Bahrain, 1-2 Arab
Saudi, dan 0-1 Korea Selatan), terbukti tidak cukup untuk mengantar tim asuhan
Ivan Kolev ini ke babak perempat final. Namun, perjuangan luar biasa anak-anak
Tim Merah Putih dalam semua pertandingan patut diajungi jempol. Terutama saat
melawan Arab Saudi (yang pada akhirnya meraih tempat kedua setelah Irak) dan
Korea Selatan, dua tim langganan Piala Dunia yang notabene kekuatannya jauh di
atas timnas.
Namun,
sayangnya timnas tidak mampu lolos ke fase ketiga kualifikasi Piala Dunia 2010
setelah takluk secara mengecewakan di tangan Suriah dengan agregat 1-11. Timnas
U-23 pun juga mengalami kegagalan di SEA Games ke-24 di Thailand; setelah
takluk dari Thailand di pertandingan babak penyisihan grup yang terakhir.
Koreksi
Semangat
nasionalisme terhadap suatu negara dan sepakbola acap kali berjalan
berdampingan. Coba lihat saja, tatkala kesebelasan Inggris bertemu kesebelasan
Argentina pada kejuaraan sepabola dunia misalnya, bisa dipastikan aroma
nasionalisme menyeruak di sana. Duel musuh bebuyutan itu jelas akan
mengingatkan kenangan dasyatnya perang Falkland ataupun Perang Malvinas (Bahasa
Spanyol: Guerra de las Malvinas) di tahun 1982.
Jika
Argentina berhasil menekuk kesebelasan Inggris misalnya, maka bisa dipastikan
jutaan rakyat Argentina akan memadati jalan-jalan di Buenos Aires untuk
merayakan kemenangan itu. Mereka akan menggibarkan bendera biru-putih dan
menyanyikan lagu kebangsaan negeri Tanggo, seakan mereka merayakan kemenangan
pasukan perang negaranya.
Tidak
masuk akal memang, tapi itulah realitas yang terjadi, sepakbola kadang mampu
menjadi sihir yang mampu membakar api semangat nasionalisme dalam jiwa manusia.
Bahkan di Jerman, sepakbola mampu membangkitkan kembali semangat patriotisme
dan nasionalisme banyak rakyat Jerman yang selama ini merasa inferior dengan
ke-Jermanan-nya. Mereka malu dan super minder dengan sejarah kelam Nazi
pimpinan Adolf Hitler yang demikian rasis itu. Tapi kini, setelah Jerman cukup
perkasa di ajang sepakbola sejagat itu, mulai merambat rasa percaya diri rakyat
Jerman.
Jutaan
rakyat Indonesia lainnya, sangat merindukan suasana seperti yang dirasakan
jutaan rakyat Jerman itu. Saya merindukan timnas sepakbola Indonesia mampu
menggetarkan jiwa nasionalisme dan patriotisme 210 juta rakyat dari Sabang
sampai Merauke ini, seperti yang dirasakan jutaan rakyat Jerman ketika melihat
timnas sepakbolanya bertanding atas nama negara.
Mungkin
saja kerinduan itu, juga menjadi kerinduan rakyat Indonesia lainnya. Namun jika
melihat kenyataan mutu timnas sepakbola kita saat ini yang belum layak untuk
dibanggakan. Jangankan untuk bersaing di ajang piala dunia, bersaing di tingkat
Asean saja belum tentu berjaya timnas Indonesia.
Kualitas
timnas memang tidak bisa mutu pemain-pemain yang ada di klub-klub sepakbola
saat ini. Siapa pun sudah tahu hampir semua klub di Indonesia selalu
mengandalkan APBD untuk kelangsungan hidupnya mengikuti kompetisi, sehingga
untuk dijadikan sebagai klub sepakbola yang dikelola secara profesional masih
sangat sulit. [*]
*) Miftahul Jannah el-Ma'un, Peresensi adalah pemain sepakbola di kampung, penggila Futsal, aktivis K.H. Ahmad Dahlan Community for Peace and Tolerance (ADCPT), Jakarta.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar