Judul Buku: Dari Pesantren untuk
Umat,
Reinventing Eksistensi Pesantren di Era
Globalisasi
Penulis: Prof Dr H Babun Suharto SE MM Penerbit: Imtiyaz, Surabaya Cetakan: I, Januari 2011 Tebal: xviii + 161 halaman Peresensi: M Husnaini |
Dunia pesantren begitu menarik untuk diteliti. Sudah banyak pemikir, dari dalam maupun luar negeri, yang memusatkan kajian mereka pada lembaga pendidikan indegenous Indonesia ini. Sekadar menyebut beberapa di antara mereka adalah Martin Van Bruinessen (Kitab Kuning: Pesantren dan Tarekat); Karel A Steenbrink (Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam dan Kurun Modern); Manfred Ziemek (Pesantren dalam Perubahan Sosial); Zamakhsyari Dhofier (Tradisi Pesantren); Nurcholish Madjid (Bilik-bilik Pesantren, Sebuah Potret Perjalanan); Mastuhu (Dinamika dan Sistem Pendidikan Pesantren); dan lainnya. Dan, satu tarikan nafas dengan itu, buku Prof Dr H Babun Suharto SE MM ini mencoba untuk mengeksplorasi dinamika masyarakat global dengan berbagai tantangan nyata yang sedang dan akan dihadapi oleh dunia pesantren.
Tidak
disangkal, dunia sekarang ini—meminjam istilah Alvin Toffler—memasuki apa yang
disebut sebagai era informatika. Era ini dilambangkan oleh silikon dan
microchip sebagai komponen teknologi kecerdasan buatan (artificial
intelligence), seperti komputer, internet, kamera, ponsel, dan lainnya.
Dengan demikian, power paling canggih sekarang ini bukan lagi yang
ditopang oleh kekuatan fisik atau mesin, melainkan ilmu pengetahuan dan sistem
(M Husnaini: 2010).
Fakta
inilah yang harus dijawab dengan segera dan cerdas oleh dunia pendidikan di
Indonesia, terutama pesantren. Sebagai satu-satunya lembaga pendidikan tertua
di bumi nusantara, pesantren harus mampu menangkap dan memaknai pesan ini
secara tepat dan bijak. Jika tidak, pelan-pelan masyarakat akan mengucap good
bye pada pesantren, karena sistem pendidikannya dianggap tidak mampu
melahirkan sumber daya umat (SDU) yang senafas dengan tuntutan zaman. SDU yang
dimaksud oleh penulis buku ini adalah segenap energi, potensi, bakat,
kemampuan, dan keterampilan umat Muslim yang dapat digunakan untuk
tujuan-tujuan dirinya dan kepentingan bangsa, negara, dan agama dalam bingkai
tanggungjawab sebagai hamba dan khalifah Allah (hal 60).
Memang,
akibat pengaruh globalisasi, tugas yang dipikul pesantren tidak lagi ringan.
Pesantren kini tidak boleh hanya sekadar menelorkan santri-santri yang mampu
menggali khazanah keislaman dari literatur-literatur yang berbahasa Arab (Kitab
Kuning), tetapi juga harus sanggup menggali aneka ilmu pengetahuan dari
literatur-literatur yang berbahasa Inggris (Kitab Putih). Ini penting
dilakukan, agar kelak lahir generasi bangsa yang unggul di bidang agama dan
master di bidang sain dan teknologi. Dan, pesantren tidak mengalami—seperti
kata Abd Rachman Assegaf—intellectual deadlock (kebuntuan intelektual).
Dalam
rangka ini, penulis lalu mengusulkan sebuah konsep yang sangat kontekstual:
agar pesantren menerapkan link and match dalam kurikulumnya. Artinya,
harus terdapat kesesuaian antara pendidikan pesantren dan kebutuhan dunia
kerja. Tegasnya, antara fiqh-based education dan scientific-based
education harus terjalin secara seimbang. Inilah, kata penulis, perwujudan
dari kredo yang sangat bagus itu, al-muhafadlatu ala al-qadim al-shalih wa
al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah (mempertahankan tradisi lama yang baik dan
mengambil tradisi baru yang lebih baik).
Meski
sangat bersemangat dengan gagasan link and match, penulis mengakui bahwa
link and match adalah sebuah istilah yang bukan berasal dari dirinya,
tetapi Prof Wardiman Djojonegoro (Mendikbud 1993-1998). Seperti umumnya konsep
hasil “ijtihad” manusia, penulis tidak lupa menyertakan beberapa kritik dari
banyak pemikir pendidikan. Oleh Darmaningtyas, dalam buku Pendidikan
Rusak-Rusakan, misalnya, dikatakan bahwa konsep link and match hanya
akan menjadikan lembaga pendidikan sebagai pasar atau swalayan. Ia hanya
dipakai sebagai instrumen penyuplai buruh dan kuli industri, bukan instrumen
untuk mencerdaskan dan mendewasakan anak bangsa (hal 113).
Dan,
sebagai jawaban atas kritik itu, penulis kemudian meluruskan bahwa dugaan link
and match akan menjadikan lembaga pendidikan hanya berorientasi untuk
memenuhi kebutuhan dunia industri adalah tidak tepat. Untuk itu, penulis
berargumen bahwa yang dimaksud kebutuhan pasar di sini adalah bagaimana agar
pendidikan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspeknya, seperti
pertanian, perikanan, perbankan, arsitektur, seni, dan lain seterusnya. Jadi,
bukan dalam bidang industri saja (hal 114).
Dari
sudut pandang Islam, gagasan yang diajukan penulis ini juga memperoleh
pembenaran. Dalam al-Quran, Allah sudah mewanti-wanti umat Muslim agar dapat
meraih kebahagiaan akhirat tanpa harus mengabaikan kenikmatan dunia (Lihat Qs
al-Qashash, 77). Juga, kita bisa simak pesan lain yang senada dengan itu dalam
ayat, “Wahai orang-orang beriman. Apabila telah diseru untuk melaksanakan
shalat pada hari Jumat, bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila
shalat telah dilaksanakan, menyebarlah kamu di bumi. Carilah karunia Allah dan
ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung (Qs al-Jumuah, 9-10).
Ayat-ayat ini jelas menyiratkan makna agar kita selalu menjaga keseimbangan,
dan ini juga dapat tarik ke dalam ranah pendidikan, terutama pesantren.
Kita
harus ingat ungkapan Anthony Giddens. Ia menyatakan bahwa dunia sekarang sedang
berlari kencang mengejar perubahan yang begitu cepat. Sebab itu, sebagai sebuah
solusi alternatif untuk meneguhkan eksistensi pesantren di tengah cepatnya
perubahan akibat arus globalisasi itu, kehadiran buku ini patut disambut secara
positif. Terlebih, buku ini ditulis oleh seorang yang tidak saja peduli, tetapi
juga pakar dan tahu secara persis lika-liku kehidupan kaum bersarung. Selamat
membaca! [*]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar