Judul Buku: Dinamika Politik Lokal Era
Otonomi Daerah
Penulis: Irtanto Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta Cetakan: Mei 2008 Tebal: 290 halaman |
Perkembangan
dan wacana tentang dunia perpolitik sampai kapanpun akan selalu menarik untuk
di kaji secara lebih lanjut. Sebab bagaimanapun juga dunia perpolitik merupakan
salah satu jalan yang paling efektif yang biasa digunakan oleh elit penguasa
untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan yang lebih tinggi tersebut.
Entah perpolitakan yang digunakan itu melalui politik yang kotor maupun politik
yang bersih. Namun yang jelas dunia perpolitikan selalu menjadi sorotan
seluruuh masyarakat dan dunia publik.
Apalagi
bila yang dikaji dan diperbincangkan terkait dengan berbagai dinamika dan
perkembangan politik yang terjadi di arus bawah (Politik lokal). Tentunya akan
mempunyai kesan tersendiri. Hal ini akan mempunyai daya tarik tersendiri dan
unik dibandingkan dengan membicarakan politik elit pemerintah pusat. Mengingat
politik yang terjadi di arus bawah sepanjang masa pemerintahan otoriter di
bawah rezim orde baru dan reformasi, pemilihan kepala daerah selalu saja
dikuasai dan di setting oleh sekelompok elit Jakarta maupun di daerah-daerah.
Sehingga para arus bawah tidak dapat mengetahui dan mengerti tantang bagaimana
proses dan seleksi yang dilakukan pemerintah pusat.
Memang
Sejak proses reformasi digulirkan delapan tahun terakhir ini, terjadi
pergeseran pendulum politik pasca Orde Baru yang merambah hingga ke ranah
politik lokal. Pasca masa Orde Baru, kondisi dan dinamika politik yang terjadi
di arus bawah, sangat tampak lebih sering sekali menggejolak dan selalu menjadi
sorotan dunia Publik. Keadaan semacam ini setidaknya dapat dijelaskan oleh tiga
faktor yang paling memumental.
Pertama,
konflik politik lokal berpeluang lebar muncul sebagai konflik terbuka, dan tak
bisa ditutup-tutupi lagi, misalnya oleh kekuatan politik tingkat pusat. Sebab
pada zaman Orde Baru, jangankan konflik politik, konflik sosial pun "tidak
sampai ke permukaan". Itu disebabkan kuatnya "negara" dalam
mengontrol segala hal (tetek bengek) urusan politik dari tingkat lokal hingga
nasional, dengan pola kebijakan yang amat sentralistik. Sehingga memunculkan
kebebasan yang belum pernah dialami.
Kedua,
akibat ledakan politik yang belum bisa lepas sepenuhnya dari fenomena eforia.
Hakikat berpolitik pun rata-rata belum bisa dipahami secara benar. Menjadi
politisi masih dianggap sama dengan profesi lain. Mochamad Basuki, misalnya,
bahkan terang-terangan mengatakan, kalau mau kaya jadilah politisi. Tentu saja
ungkapan ini agak aneh, mengingat profesi politisi, berbeda dibanding
pengusaha.
Dan
yang ketiga, bisa dijelaskan dengan teori "desentralisasi korupsi".
Meminjam sinyalemen Ketua Indonesian Corruption Watch (ICW) Teten Masduki,
pasca-Orde Baru, tak hanya struktur kebijakan sentralistik yang berubah,
seiring otonomi daerah (desentralisasi), tetapi juga pola korupsinya. Bila dulu
korupsi terpusat, itu bisa dipilah ke lingkup "istana" (Cendana),
kini polanya menyebar dan merata dari tingkat pusat dan daerah. Setidaknya
lebih ekspresif.
Dalam
perjalannya, pergulatan politik di arus bawah panca otomonomi memiliki banyak
persoalan yang cukup pelik. Hal ini disebabkan karena banyaknya elemen
masyarakat yang ingin menduduku roda kepemimpinan, meskipun dalam ranah arus
bawah. Sehingga banyak menibulkan konflik dan pertumpahan darah yang tak pernah
terselesaikan. Ironisnya, dalam keadaan semacam ini, maka kekuatan dan
kekayaanlah yang menentukan. Meskipun orangnya cerdas dan mempunyai jiwa
kepemimpinan serta komitmen yang tinggi, akan dengan mudahnya tersingkirkan
dalam pertarungan. Jika orang tersebut tidak mempunyai kekayaan untuk menyogok
dalam pemilihan tersebut. Dan hal semacam ini akan tetap saja terus terjadi
akibat dari kebebasan yang mereka miliki.
Buku
“Dinamika Politik Lokal Era Otonomi Daerah” ini akan menjelaskan dan membedah
segala persoalan yang terjadi dalam politik arus bawah yang terjadi diberbagai
wilayah-wilayah perkotaan kecil pasca dikumandang-kannya otonomi daerah.
Berbagai persoalan yang menggejala dan terjadi di berbagai wilayah akan
disajikan secara lebh komprehensif yang tak lain dan tak bukan karena dampak
dari otonomi daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah lewat instrumen politik UU
No. 32/2004 tentang pemerintahan daerah.
Selain
itu buku ini juga akan berupaya untuk mengeksplori lebih jauh lagi mengenai
berbagai faktor dominan yang sering menyebabkan konflik horizontal yang sering
terjadi dalam acara pemilihan kepala daerah serta mengenai berbagai dampak dan
implikasi utama elite lokal terhadap kinerja birokrasi pemerintah daerah dan
politik lokal. Sehingga dengan kehadiran ini, akan mengantisipasi berbagai
bentrokan dan pertarungan yang tidak sehat dalam politik dalam arus bawah.
Sebab didalamnya disajikan berbagai upaya untuk mengantisipasi segala kerusuhan
yang terjadi dalam pergulatan politik lokal.[*]
*) Sri Waheny, Peresensi adalah Pustakawan dan Pecinta Buku tinggal di Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar