Judul:
Dari Teologi Menuju Aksi; Membela yang Lemah,
Menggempur Kesenjangan
Penulis: Abad Barduzzaman Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta Cetakan: I (Pertama), April 2009 Tebal: 304 halaman Peresensi: Humaidiy AS *) |
Ketika
Islam pertama kali turun, perkembangan teknologi, ilmu pengetahuan, serta
budaya mayarakat sangat jauh berbeda dengan masa sekarang. Agar nilai-nilai
Islam tetap hidup dan bermakna untuk memayungi hidup manusia, upaya pemberian
jawaban terhadap persoalan kemanusiaan kontemporer mesti dilakukan.
Gagasan-gagasan keadilan sosial, HAM, demokrasi, gender, inklusivisme dan lain
sebagainya yang bisa menjawab persolalan itu, harus mendapatkan wadah dalam
tradisi Islam.
Oleh
karenanya, menempatkan agama dalam bentuknya yang kontekstual dalam dinamika
prubahan sosial adalah sesuatu yang harus dilakukan terus-menerus. Sebab, agama
pada dasarnya harus terus menemukan maknanya sepanjang zaman. Dan untuk
menemukan makna yang berguna bagi perubahan sosial itu, maka penafsiran ulang
dan penyegaran pemahaman keagamaan mutlak dilakukan. Pencarian makna baru dari
ajaran Islam, adalah sebuah konsekuensi dari perkembangan zaman dan ilmu
pengetahuan.
Abad
Badruzaman melalui buku berjudul “Dari Teologi Menuju Aksi; Membela yang
Lemah, Menggempur Kesenjangan” mencoba untuk mengajak pembaca
melakukan revitalisasai spirit ajaran Islam sebagai ‘mercusuar utama”
dalam pembelaan terhadap golongan lemah dan tertindasatau lebih dikenal
dengan kaum mustadha’afin. Menurut penulisnya, itulah sebabnya Musa, Isa dan
Muhammad, misalnya, dicap sebagai pemberontak oleh penguasa dimana mereka
hidup. Dari berbagai kisah tentang mereka kita dapat menyakiskan bagaimana Musa
menjadi tokoh antagonis bagi Fir’aun yang lalim, Isa menjadi oposan bagi
imprealis Byzantium dan Muhammad menjadi penghancur
sendi-sendikesewenang-wenangan bangsawan Quraisy Mekah.
Secara
umum, kisah kaum mustadhafin dalam Al-Qur’an menghadirkan tiga kutub: pertama,
kekuatan penindas (mustadh’ifin), kedua, kelompok yang tertindas dan
lemah (mustadh’afin), dan ketiga, kekuatan pembebas dan pembela kaum
penindas dalam membela kaum penindas. Yang terakhir adalah kekuatan yang
dipimpin dan dipelopori oleh para nabi dan utusan Tuhan. Ini menunjukkan, sejak
semula kehadirannya agama-agama besar dunia memang berwatakk subversif terhadap
kekuasan yang ada disekitarnya. Karena memang demikianlah cita agama
dirumuskan, mengubah tata nilai lama yang bobrok dan menindas dengan tata nilai
baru yang humanis dan memihak kaum lemah. Dalam al-Qur’an, istilah mustadh’afin
sendiri tidak hanya terbatas pada golongan orang yang tertindas dan lemah
secara ekonomi saja, tetapi juga sosial maupun politik (hal. 105).
Ajaran
Islam memang dekat dengan keberpihakan terhadap kaum lemah dan tertindas (mustadh’afin).
Bahkan banyak ayat-ayat yang berbicara tentang kaum mustadh’afin sekaligus
berbicara dengan ibadah mahdhah (ibadah vertikal) semisal sholat, zakat,
puasa, dan lain sebagainya. Ini menunjukkan betapa sama pentingnya
memperhatikan kaum lemah dan tertindas dengan kewajiban melaksanankan sholat,
puasa, haji dan sebagainya. Banyak nabi-nabi yang diutus pun berasal dari
kalangan rakyat jelata dan berkhotbah di kalangan rakyat jelata yang nota bene
adalah pengikut pertama para nabi. Pergulatan eksistensi manusia memang sangat
terkait dengan sesamanya.
Dalam
kontek Indonesia, implikasi dari makin buramnya perekonomian bangsa ini jelas
akan mempertajam kesenjangan sosial yang terjadi pada masyarakat kita. Orang
yang mempunyai status the have akan semakin congkak dengan masyarakat
yang statusnya the have not. Orang miskin akan semakin termarginalkan dalam
pergulatan dunia global sekarang ini. Dengan kekuatan kapitalistiknya, sosok the
have akan mengunci jalan-jalan pokok sistem perekonomian negeri ini.
Sementara
itu, sosok the have not hanya akan menjadi pekerja murahan yang gajinya
tidak dihargai secara layak atau bahkan mereka disia-siakan dan dijadikan objek
saja dalam mengeksploitasi negara. Dala konteks para elite bangsa, orang miskin
hanya dijadikan perbincangan dalam rapat-rapat yang diselenggarakan, baik
anggota eksekutif maupun legislatif. Proyek untuk meninggalkan desa tertinggal
dan mmberikan kredit buat rakyat miskin hanya akan habis di pertengahan jalan.
Rakyat miskin selamanya akan berada di bawah hegemoni kaum elite dengan watak
kapitalistik, materialistik dan hegemonistiknya.
Islam
datang untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu ketidakadilan.
Penyariatan zakat, anjuran infak dan sedekah misalnya, terbukti telah
menghancurkazn sistem kapitalistik-materialistik bangsa Arab ketika itu. Islam
tidaklah melarang orang menjadi kaya, karena kekayaan merupakan karunia Allah
(QS. 16: 71). Dengan kekayaan, seseorang mempunyai kesempatan yang lebih luas
untuk berbuat baik. Yang menjadi persoalan adalah, bagaimana antara yang the
have dan the have not saling menolong (ta’awun). Sebab, orang kaya tidak
akan mampu hidup tanpa adanya orang miskin. Maka hubungan keduanya adalah
simbiosis, take and give. Spirit silam dengan demikian membangun kembali
tatanan hubungan di antara keduanya agar terjadi keadilan.
Meskipun
kaya-raya adalah sunnatullah, Islam mengecam mereka yang selalu menumpuk
harta kekayaan, sedangkan disekelilingnya terhampar pemandangan orang miskin,
fakir dan anak yatim yang bergelimpangan. Surat al-Ma’un merupakan contoh
konkrit bahwa orang yang menolak ajaran keharusan menegakkan keadilan sosial
sebagai pendusta agama. Taruhan yang sangat berani, karena Islam langsung
menjustifikasi mereka sebagai seorang pendusta yang secara etika tidak lagi
dipandang sebagai orang yang baik.
Harus
diakui, tema-tema yang dibahas dalam buku ini sesungguhnya bukanlah tema yang
bernas dan samasekali baru. Tema-tema serupa dapat kita temui dalam karya
Asghar Ali Engineer yang lebih fenomenal dengan mengajukan pencerahan pemaknaan
teologi pembebasan dalam Islam and Liberation Theology dan The Qur’an Women
and Modern Sociaty. Hassan Hanafi dalam al-Yassar al-Islamy dan
ats-Tsawrah yang menyatakan bahwa semangat pembebasan yang didengungkannya
muncul karena modernisasi yang berjalan selama ini cenderung terkait dengan
kekuasaan yang mentransformasikan tak lebih sebatas ritus keagamaan yang
menekankan akhirat ataupun Farid Esack dalam al-Qur’an, Liberation abd
Pluralism.
Demikian
pula dapat kita temui dalam buah pemikiran pemikir-pemikir Indonesia semisal
Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholis Madjid (cak Nur), Jalaluddin Rahmad,
Amin Rais dalam berbagai konteks pembahasan. Namun, usaha penulis melalui buku
ini setidaknya berupaya menegaskan visi tradisi profetik nabi-nabi Ibrahimiyah,
yakni visi keberpihakan dan pembebasan mereka untuk kaum tertindas cukup
berhasil dan layak untuk diapresiasi oleh masyarakat pembaca dalam rangka
menumbuhkan kepedulian dan kesadaran kita atas nasib sesama.[*]
*) Staf Pendidik pada MTs. Ali Maksum Ponpes Krapyak dan Aktivis Lembaga Kajian Agama dan Swadaya Umat (LeKAS) Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar