Judul:
Debat Khilafiyah, dari Tawasul hingga Piagam Jakarta
Penulis: Mukhlas As-Syarkani Al-Falahi Penerbit: LTMI NU, Jakarta Cetakan: 1, Agustus 2008 Tebal: (VI + 211) halaman Peresensi: Mashudi Umar*) |
Dalam
perjalanan sejarahnya, NU selalu memberikan kontribusi yang besar kepada negara
dan agama. Tidak saja di medan perjuangan fisik dan politik NU berperan, namun
juga tidak kalah penting di medan tegaknya Islam rahmatan lil ’alamin,
yang menjadi isu penting pada International Conference of Islamic Scholars
(ICIS) ke-3 awal Agustus lalu, dengan cara melestarikan, mengembangkan dan
mengamalkan ajaran Ahlussunnah wal Jamaah sampai ke dunia internasional,
sehingga di bidang budaya dan amaliah pun NU tetap toleran.
Buku
Debat Khilafiyah, dari Tawasul hingga Piagam Jakarta, sangat
”menggelitik” warga NU. Mereka yang pada Orde Baru diserang, dipojokkan,
dipinggirkan, bahkan dalil-dalil amalannya yang merupakan aktivitas sehari-hari
selalu diperdebatkan. Bahkan, masjid-masjid yang dibangun dengan jerih payah
dan dana dari merogeh kocek kantung pribadi para warga nahdliyin pun direbut
beberapa oknum aliran-aliran baru “Islamisme”.
Tidak
tanggung-tanggung untuk meresahkan kaum muslimin, terutama warga NU, muncul
buku karya Mahrus Ali berjudul, Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat dan Dzikir
Syirik. Amalan warga nahdliyin dianggap perbuatan syirik, menyesatkan dan
kufur.
Semua
peristiwa itu direkam apik oleh penulis Mukhlas As-Syarkani Al-Falahi, penulis
buku keagamaan yang paling produktif di Malaysia. Dia juga lebih mendetil
mengulas bagaimana tata ibadah umat Islam di Indoensia. Dia bisa membandingkan
secara faktual. Isinya mengenai yang sedang hangat diperdebatkan di tingkat
masyarakat, baik kelas bawah, menengah, atas. Khususnya perdebatan
amalan-amalan yang dilakukan warga NU.
Perdebatan
furu’iyah yang terjadi pada warga NU menjadi menu utama dalam pembahasan
buku ini. Misal, soal amalan tawasul yang telah diamalkan sejak zaman
Nabi Muhammad, kemudian dilanjutkan para Sahabatnya, tabiin, para ulama mazhab
dan sampailah pada zaman sekarang ini, kini mulai dipersoalkan orang-orang yang
mengaku dirinya sebagai pemberantas TBC (takhayyul, bid’ah, churafat).
Belakangan,
gerakan yang menyebut dirinya pemberantas TBC itu juga diperkuat kelompok yang
menamakan gerakan Salafi. Gerakan Salafi dan gerakan anti-TBC ke mana-mana,
dalam berceramah, hanya khusus menghabisi amalan-amalan ibadah masyarakat
dengan tuduhan bid’ah, khurafat dan sesat.
Banyak
orang yang salah dalam menyikapi permasalahan berstatus ”khilafiyah”.
Banyak orang yang tatkala mengahadapi khilafiyah, memilih sikap tidak mau
mencari pendapat yang benar. Ia menetapkan keputusan untuk tidak mau
mempelajari yang sebenarnya. Sehingga bersikap acuh, kurang menghargai terhadap
pendapat orang lain.
Tidak
semua khilafiyah itu bisa diberikan toleransi dan bisa dimufakati. Kita hanya
wajib memberi toleransi dan saling menghargai pendapat yang ada pada khilafiyah
yang mu’tabar (yang menjadi perhatian serius yang sedang diperlukan
solusinya dalam kehidupan sehari-hari). Jika pada semua khilafiyah kita
memberikan toleransi, maka sungguh kacau agama ini. Misal, salat wajib lima
waktu, kemudian ada yang mengatakan tidak wajib. Ini yang tidak ada
toleransinya, bahwa salat itu wajib bagi seluruh umat Islam.
Debat
khilafiyah sesungguhnya adalah belajar demokrasi untuk menghargai pendapat
orang lain, bukan berdasar pada rasa benci, ingin menyindir atau mengumbar hawa
nafsu. Jika harus dengan cara diskusi, maka lakukan diskusi dengan cara yang
baik, santun dan menghargai pendapat orang lain, sebagaimana yang dikatakan
Imam Abu Hanifah, qauluna shahihun yakhtamilu al- khata’, wa qauluhum
al-khatha’ yahtamilu al-shahih (pendapat saya bisa benar, bisa salah, dan
pendapat kamu bisa salah, bisa benar).
Buku
ini, secara tidak langsung, juga memperkuat nilai-nilai Ahlussunnah wal Jamaah
dalam perspektif amalan sehari-hari warga NU yang sudah jadi pegangan, di
antaranya, ziarah kubur, jumlah rakaat tarawih, talqin, bid’ah, perayaan Maulid
Nabi, yasinan, tradisi haul, istighasah, dan lain-lain dengan metodologi debat
khilafiyah antaraliran yang berbeda.
Buku
ini juga lucu, karena membuat Anda akan tertawa, semakin renyah untuk
ditertawakan. Maksudnya bukan ditertawakan dalam arti dilecehkan, tetapi
tertawa karena ada faktor lucu. Juga diiringi perdebatan pengetahuan yang
berbeda, tapi dengan cara homuris, mengungkapkan referensi dengan dalil
masing-masing kelompok dan kadang-kadang tegang. Cara pengungkapannya pun gagah
berani, tanpa tedeng aling-aling. Semua diungkap secara jelas, jernih, dan memikat.
Fakta yang benar-benar terjadi di tengah realitas kemajemukan kehidupan kita,
khususnya umat Islam.
Sesungguhnya,
amalan-amalan zikir dan salawat yang sudah mengakar dalam tradisi NU, karena
memang memiliki dasar dan argumentasi yang kuat sesuai dalil-dalil yang ada,
juga tidak gampang terkecoh dan terprovokasi oleh tulisan-tulisan yang
menyudutkan praktik/amaliah yang selama ini dilakukan kalangan nahdliyin
sebagai mayoritas umat Islam di Indonesia.
Ada
orang bilang, tanpa perdebatan, maka kehidupan tidak akan dinamis. Ada kalanya
pula perdebatanlah yang mengawali sebuah peperangan. Sungguh mendebarkan.[*]
*)
Pegiat Buku, Alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa
Timur
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar