Judul:
Dekonstruksi Tradisi; Kaum Muda NU Merobek Tradisi
Penulis:
Dr. Ahmad Ali Riyadi
Penerbit:
Ar-Ruzz Media Yogyakarta
Cetakan:
Pertama, Januari 2007
Tebal:
216 Halaman
Peresensi:
M. Husnaini*)
|
Selama ini, kajian
tentang NU telah banyak dilakukan oleh para pemerhati keislaman. Tidak hanya
dalam negeri, para intelektual dari luar negeri juga sudah banyak yang
melakukan penelitian seputar dinamika pergerakan NU di tanah air. Clifford
Geertz, Andree Feillard, dan Martin Van Bruinessen adalah sederet nama yang
pernah muncul ke permukaan bumi nusantara. Namun sayangnya, dalam setiap karya
yang ada, “cap” tradisionalis masih seringkali dilekatkan pada tubuh NU. Hal
ini seakan menutup cela adanya kemungkinan untuk melakukan perubahan dalam
tubuh NU. Namun, tidak demikian adanya setelah kita membaca buku ini.
“Dekonstruksi
Tradisi; Kaum Muda NU Merobek Tradisi” adalah buku karya Dr. Ahmad Ali Riyadi
yang menguak fakta lebih dalam tentang perubahan radikal hasil kreasi anak muda
NU. Pada awalnya buku ini adalah hasil penelitin disertasi yang kemudian
diterbitkan oleh Ar-Ruzz Media, Yogyakarta pada bulan Januari 2007 lalu. Buku
ini sangat menarik untuk dikaji, karena di samping menampilkan pemikiran
anak-anak muda NU yang sangat kritis terhadap tradisi mereka selama ini, juga
menampilkan profil latar belakang pendidikan pemikir-pemikir muda yang mampu
menggetarkan jagad nusantara.
Pergulatan
pemikiran kaum muda NU memang tidak berangkat dari ruang hampa. Selain corak
pemikiran keagamaan dari Barat dan Jazirah Arab, perkembangan ilmu-ilmu sosial
modern yang berkembang pesat saat ini juga turut mewarnai arah pemikiran
mereka. Perkembangan ilmu seperti, ilmu sosiologi, antropologi, ilmu bahasa,
semiotik, dan ekonomi juga turut memberi andil yang cukup besar dalam pola
gerak kaum muda.
Beberapa indikasi
yang menandai format baru gerakan perubahan dalam tubuh NU. Pertama, bangkitnya
kretifitas kaum muda dalam berfatwa sehingga kecenderungan untuk patuh terhadap
fatwa ulama tua semakin memudar. Kedua, melemahnya penonjolan masalah-masalah
fiqhiyah dan kian maraknya isu-isu yang lebih menonjolkan aspek kemanusiaan.
Ketiga, pudarnya sikap-sikap sektarian dan semakin tumbuh suburnya
non-sektarian di tubuh NU. Dalam hal ini, kaum muda ini lebih mengonsepsikan
diri sebagai komunitas Muslim yang kedudukan dan peranannya tersebar di
berbagai institusi sosial yang ada sehingga memunculkan kelompok ktritis yang
lebih toleran, inklusif.
Pemikiran NU
dianggap telah mengalami kejumudan sehingga perlu adanya pembaruan yang
mendasar dalam tubuh NU. Sebagai generasi baru, mereka langsung melakukan
kritik terhadap kemapanan yang selama ini dianggap kurang responsif dalam
mengatasi permasalahan kekinian. Gagasan yang mereka ajukan lebih
menitikberatkan peran lembaga (organisasi NU) sebagai agen gerakan sosial
(social movement) ketimbang sebagai gerakan politik (political movement).
Dalam pandangan
mereka, agama yang diturunkan ke bumi untuk mengatur dan menata kesejahteraan
umat manusia harus dipahami secara produktif, bukan menjadi sesuatu yang amat
menakutkan. Pemikiran dan perilaku keagamaan tidak akan mampu membebaskan jika
agama menjelma menjadi tiran yang membelenggu pemeluknya. Oleh karena itu,
agama harus ditransendenkan sedemikia rupa sehingga mempunyai kritik, tidak
memihak pada sikap yang anti kritik.
Semangat inilah
yang memompa kaum muda untuk melakukan perombakan total bangunan keagamaan,
khususnya dalam lingkup NU. Pemikiran ini kemudian mendorong sikap kritis
terhadap sesuatu yang sudah baku dengan selalu berusaha menjelajah kemungkinan-kemungkinan
baru. Karena pada dasarnya, kemampuan agama untuk hidup dalam masyarakat secara
normal bukan karena pemeluknya yang membela secara mati-matian, tapi lebih
karena akselerasi doktrinalnya yang terus berubah dalam menghadapi realitas zaman.
Untuk
merealisasikan gagasan yang mereka ajukan, kaum muda menggunakan sarana yang
beraneka ragam. Tak hanya melalui tulisan, gagasan mereka juga dituangkan dalam
bentuk kajian-kajian keislaman atau lembaga penelitian. Ada kelompok kajian
kaum muda yang dibentuk secara organisatoris berada di bawah payung organisasi
NU, seperti, Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam),
Lembaga kajian Pesantren dan Sumber Daya Manusia (LKPSM), dan Pergerakan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Ada lembaga yang dibangun dalam kultur NU,
semisal, Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M). Bahkan ada
juga lembaga yang melepaskan diri secara penuh dari NU, dan tidak bernaung di
bawah NU dalam menyalurkan aspirasi intelektualnya, seperti Lembaga Kajian
Islam dan Sosial (LKiS), dan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang diprakarsai Ulil
Abshar Abdallah.
Meski relatif muda,
namun gerakan pemikiran kaum muda NU ini membawa pengaruh yang luar biasa
terhadap kultur yang terbangun dalam tradisi keagamaan NU selama ini. Tak
pelak, tanggapan yang muncul ke permukaan pun bervariasi. Pertarungan wacana
pro dan kontra mewarnai hadirnya pemikiran baru ini. Ada pihak yang setuju,
namun ada juga pihak yang setuju dengan kritik, bahkan ada pula pihak yang menolak
mentah-mentah. Pihak yang menerima menganggap bahwa gagasan yang terlontar dari
anak muda NU tersebut adalah bagian dari ijtihad berfikir. Berijtihad
menandakan adanya kebebasan berekspresi untuk mengungkap fakta kebenaran dalam
Islam. Oleh karenanya Islam sangat menghargai hal itu. Salah satu yang
mendukung gagasan ini adalah KH. Abdurrahman Wahid.
Pada aras lain,
pihak yang menolak tidak kalah kuatnya. Mereka mengatakan bahwa kaum muda ini
telah melenceng dari asas Ahlussunnah wal Jama’ah. Puncaknya, penolakan ini
mencuat pada Muktamar NU XXXI di Asrama Haji Donohudan Boyolali Jawa Tengah.
Selain itu, ada pula pihak yang menerima dengan disertai kritik. Pihak ini
mengatakan bahwa bagaimanapun juga, pendapat dan gagasan anak muda NU ini
adalah aset yang perlu mendapat apresiasi tersendiri. Mereka cenderung lebih
berhati-hati dengan selalu mengikuti jejak historis pendapat kaum muda
tersebut.
Akhirnya, kehadiran
buku ini menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk menjelaskan sistematisasi
pola pembaruan yang ditawarkan oleh anak muda NU sehingga dapat menciptakan
nuansa keberagamaan yang pluralis dan bervisi humanis. [*]
*) Mahasiswa
Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar