Judul:
Intelektual Pesantren, Perhelatan Agama dan Tradisi
Penulis: Abdurrahman Mas'ud
Penerbit:
LKiS, Yogyakarta
Terbitan: Desember 2004 |
Tradisionalitas selalu dikaitkan dengan lokalitas, pesantren sebagai bentuk pendidikan tradisional selalu diasosiasikan sebagai bentuk lokalitas atau Islam lokal, namun demikian bukan berarti tidak memiliki universalitas. Dalam kenyataannya Islam tradisional tidak hanya di pesantren Jawa atau di Nusantara, tetapi memiliki jaringan di seluruh dunia. Hal ini sebenarnya telah ditunjukkan dalam berbagai literatur, dan telaah paling kontemporer adalah yang dituangkan dalam buku karya Abdurrahman Mas’ud ini.
Mekah sebagai pusat dunia Islam sekaligus juga sebagai pusat intelektual, karena di sana menjadi pusat pendidikan Islam, selain Al Azhar. Dan menariknya di pusat pendidikan dunia itu juga ditangani oleh para ulama terkenal dari Jawa seperti Syekh Nawawi Al Bantani, Syekh Mahfud At Tarmisi dan sebagainya. Sebagai syaikh (guru besar) para Ulama itu tidak hanya amengajar mahasantri dari Jawa, tetapi didatangi mahasantri dari seluruh negara Islam.
Para ulama yang disebutkan tadi tidak hanya mengajar, tetapi
menghasilkan berbagai karya akademik yang tidak hanya dijadikan kitab rujukan
dalam pesantren tradisional di Indonesia, tetapi di berbagai lembaga pendidikan
di Nusantara, bahkan masih terus dipergunakan di berbagai perguruan tinggi di
Timur Tengah. Melalui para mahasantri yang tersebar di seluruh dunia yang
memperkenalkan ajaran kiai tersebut ke negara masing-masing. Karena itu bisa
dipahami kalau kitab karya mereka ini dijadikan rujukan di universitas berbagai
negara. Ini sebuah preatasi kalangan ulama tradisional yang belum terlampaui
para intelektual Indonesia modern dalam memberikan kontribusi akademik terhadap
dunia internasional, khususnya dunia Islam.
Para ulama itu tidak hanya melahirkan ulama besar di Indonesia
seperti Kiai Khalil Bangkalan (W 1925) tetapi juga melahirkan ulama lain
seperti Kiai Hasyim Asy’ari (W 1947) dan Kiai A Asnawi (W 1952) yang kesemuanya
adalah perintis dan penggerak lahirnya organisasi kaum santri Nahdlatul Ulama
(NU). Selanjutnya para kiai itu yang dengan integritas moralnya dan kedalaman
intelektualnya kemudian melakuakan kaderisasi di Indonesia sehingga lahir
ribuan kiai dan ulama sebagai penerus perjuanagan mereka. Gerakan ini semakin
efektif ketika dilembagakan dalam organisasi Nahdlatul Ulama, sehingga mampu
menjadi organisasi besar yang dianut oleh sebagian muslim di negeri ini.
Dari kesemuanya itu yang menarik adalah tradisi pengembangan
keilmuannya, pesantren mengembangkan sistem pendidikan tradisional yang sangat
mengutamakan kedalaman disertai pengalaman, di bawah bimbingan para kiai setiap
hari, sehingga keseriusan dan kedalamannya benar-benar terjaga. Dalam sistem
itulah lahir banyak ulama, ketika para ulama senior mampu membimbing para
santrinya dengan penuh ketekunan dan kesabaran. Sistem itu yang mengakibatkan
terjadinya hubungan yang erat antara kiai santri dan antar sesama kiai. Sejauh
mengenai aktvitas dan latar belakang para kiai yang dikaji penulis buku ini
berhasil memberikan informasi yang memadai. Ini berkat ketekunannnya dalam
mengumpulkan dokumen serta melakukan wawancara dengan berbagai saksi sejarah.
Tetapi sayangnya buku ini belum melakukan analisis secara mendalam
tentang pertalian ideologis di antara mereka, sehingga pikiran para ulama
senior tersebut bisa diterjemahkan secara operasional oleh ulama sesudahnya
seperti Khalil (Bangkalan) atau Hasyim Asy’ari (Jombang). Apalagi penulis buku
ini menempatkan diri sebagai santri dari para ulama yang ditulis, akibatnya
penulis tidak berani melakukan kritik secara akademik maupun ideologis.
Sehingga pembaca tidak diajak bersikap kritis untuk menilai sejauh mana
pemikiran para ulama itu memberikan kontribusi bagi perkembangan akademik dan
sosial, dan sejauh mana pemikiran mereka mengalami jalan buntu, sehingga
memerlukan terobosan baru oleh para penerusnya saat ini.
Telaah kritis semacam itu bukan akan memerosotkan wibawa sang
ulama, sebaliknya justeru menempatkan mereka secara proporsional, sebagaimana
layaknya seorang akademisi, langkah ini justeru akan semakin memperkuat nilai
akademis karya-karya mereka. [Mushonniva]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar