Judul
buku: Islam Syariah Vis a Vis Negara;
Ideologi Gerakan Politik
di Indonesia
Penulis: Zuly Qodir Penerbit: Pustaka Pelajar, Yogyakarta Cetakan: I, Agustus, 2007 Tebal: 351 Halaman Peresensi: Adi Kusno*) |
Akhir-akhir
ini, munculnya keinginan yang cukup kuat dan apresiatif untuk menjadikan negara
sebagai negara yang berlandaskan pada sebuah agama pada umumnya dan negara
Islam pada khususnya, menjadi masalah yang sangat krusial dan fundamental di
kalangan umat beragama. Keinginan tersebut, kadang terus berkesinambungan pada
sebuah konflik yang tak berkesudahan yang menyebabkan terjadinya peperangan
ideologi maupun fisik (pertumpahan darah).
Melihat
kenyataan demikian, ada sesuatu yang mengganjal dalam hati untuk mencegah dan
melarangnya. Sebab, sudah jelas disebutkan banyak intelektual muslim, bahkan
dalam kitab suci pun juga, bahwa konsep negara Islam itu tidak ada. Kemungkinan
besar ketika Islam dijadikan sebuah ideologi dasar negara sepenuhnya (negara
Islam), maka adanya hegemoni dan dogma-dogma antarsesama umat akan mencuat ke
permukaan. Jadi, sangat naïf sekali ketika suatu kaum (kelompok) ingin
menjadikan negara Islam umumnya. Padahal sudah sangat jelas disebutkan para
cendekiawan bahwa “the Islamic cultural, yes, but the Islamic ideology,
no”.
Selama
ini, ketika kita perhatikan lebih mendalam, maka, akan tampak bahwa dari dahulu
hingga sekarang, hubungan antara Islam dengan negara masih dalam keadaan yang
sangat memprihatinkan. Mulai dari norma-norma yang berlaku sampai pada sistem
yang menjadi landasannya. Di mana, negara di satu sisi ingin menjalankan
pemerintahannya sendiri dan Islam pun juga ingin menerapkan syariatnya di sisi
yang lain. Dengan demikian, terjadilah suatu hubungan tidak harmonis yang
cenderung antara agama (Islam) dan negara berjalan pada porosnya masing-masing
dan bersifat ekslusif. Bukankah antara agama dan negara harus saling mengisi,
setidaknya agama itu menjadi sistem kontrol terhadap negara agar sejalan dengan
konsep ajaran Islam umumnya.
Pada
awalnya, terdapat tiga sistem hubungan antara keduanya yang hingga kini masih
sering dipermasalahkan oleh para cendekiawan. Pertama, hubungan paralel. Dalam
hal ini, terdapat suatu relasi yang tidak sejalan antara agama dan negara. Di
mana, antara keduanya sama-sama jalan dan menerapkan sistem (pemerintahan) yang
dimilikinya sendiri-sendiri. Agama menjalankan dan berjalan pada sistem
kepentingannya sendiri. Negara pun juga demikian adanya dan hanya mementingkan
keinginannya masing-masing. Sehingga terjadilah suatu konsep yang tidak sejalan
dan sepaham yang kemudian antara keduanya tidak akan pernah bertemu dan
bertutursapa sampai kapan pun.
Sementara,
yang diinginkan banyak kalangan adalah adanya suatu hubungan dan adanya
pertemuan antar-keduanya. Kedua, hubungan linier. Hampir sama dengan hubungan
yang pertama, namun, ada perbedaan yang sedikit mencolok. Dalam arti bahwa
antara agama dan negara itu sama-sama jalan akan tetapi pada akhirnya akan
menemukan jalan kebuntuan. Dengan lain ungkapan, salah satu dari mereka akan menafikan
yang lain dan akan terjadi hegemoni dan dogma-dogma bahwa ada salah satunya
yang menjadi primadona (negara atau agama). Mereka hanya menganggap bahwa
itulah satu-satunya yang paling benar. Padahal, masih ada yang lebih unggul
darinya. Meski hal itu tidak sepenuhnya sesuai, paling tidak, ada sedikit
kesesuaian. Singkat kata, di sini, masih ada pendikotomian yang sifatnya hanya
mementingkan dan menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar (agama atau
negara). Ketiga, hubungan sirkuler. Dalam hubungan ini, antara agama dan
negara, sama-sama mempunyai posisi yang cukup penting dalam masyarakat.
Artinya, sama-sama jalan dan mempunyai suatu hubungan yang saling mengontrol.
Dengan begitu, adanya kekakuan, rigiditas, dan kekurangan, bahkan ketidaksesuaian
antara keduanya dapat dikurangi dan akan berkurang yang kemudian akan tercipta
suatu hubungan yang harmonis dan adanya saling keterkaitan antar-keduanya.
Sehingga, hal ini dapat menjadi kontrol dan dapat saling mengisi kekurangan
yang melekat pada diri masing-masing dan harus bisa menerima
kekurangan-kekurangan, baik yang sifatnya intern maupun ekstern.
Dengan
demikian, diperlukan suatu hubungan yang cukup berarti antara agama dan negara,
di mana, agama itu bisa menjadi sistem kontrol dan melengkapi kekurangan yang
terdapat pada sebuah negara. Begitu juga negara bisa menjadi kontrol untuk
agama, yang mana agama itu, agar tidak menjalankan keinginannya sendiri secara
individu, melainkan harus ada campur tangan negara agar tercipta suatu tatanan
kehidupan yang sejahtera dan berlandaskan pada agama (Islam) dan negara.
Buku
ini sangat penting dibaca, bahkan dijadikan bahan acuan untuk melihat dan
meninjau ulang hubungan antara agama dan ngara. Di sini, juga dijelaskan
bagaimana hubungan antara keduanya yang semestinya, baik dalam kehidupan
sosial, politik, ekonomi dan budaya dalam realitas keberagamaan. Buku ini juga
akan banyak membantu dan menjawab permasalahan yang paling krusial yang menjadi
gejolak selama ini, bahwa konsep ngara yang berideologi Islam (ngara Islam) itu
tidak ada dan tidak akan pernah ada. Untuk itu, tidak ada salahnya Ada membaca
dan memilikinya untuk menambah khazanah pengetahuan dalam ruang lingkup relasi
antar-agama dan negara yang ideal menurut Islam.[*]
*) Penulis adalah mahasiswa Fakultas Syariah Program Diploma Keuangan Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar