Judul
buku: Kafka on the Shore
Peresensi: N. Mursidi Penulis: Haruki Murakami Penerbit: Alvabet Sastra, Jakarta Cetakan: Pertama, 2008 Tebal buku: 608 halaman |
Setiap anak
(laki-laki), di mata Sigmund Freud memiliki kecenderungan kuat untuk tertarik
secara seksual terhadap ibu kandungnya. Ketertarikan itu, anehnya tidak
berhenti sampai di situ. Dalam lubuk hatinya, bahkan ia memendam rasa cemburu
terhadap sang ayah. Tak salah, jika percikan rasa cemburu itu membuat sang anak
ingin membunuh ayahnya agar ia bisa meniduri ibunya.
Kecenderungan
seksual itu, dalam teori Freud dikenal dengan istilah Oedipus Complex. Freud
juga melihat setiap anak lelaki memiliki kecenderungan sindrum Oedipus Complex,
tapi lantaran norma di masyarakat kuat menghalangi, maka keinginan itu tercekat
sekadar jadi hasrat (dalam pikiran).
Teori Freud itu,
rupanya memikat Haruki Murakami –pengarang kenamaan asal Jepang- untuk kemudian
“mengeksplorasinya” lebih jauh dalam bentuk novel yang diberi judul Kafka on
the Shore. Jadi, novel Haruki ini tak bisa ditepis merupakan sepenggal kisah
tentang sebuah teori.
***
KAFKA on the Shore,
menuturkan kisah pengembaraan anak lelaki berusia 15 tahun yang minggat dari
rumah. Ia memilih minggat lantaran dikutuk ayahnya setelah sang ayah ditikam
dendam pada ibu serta kakaknya yang meninggalkannya saat anak itu berusia 4
tahun. Tak mau ramalan itu jadi kenyataan, maka tepat di hari ulang tahunnya
yang kelima belas, anak lelaki itu minggat dari rumah, lalu melanglang buana ke
Takamatsu untuk menemui takdir lain. Untuk menghapus jejaknya, ia lalu mengaku
bernama Kafka Tamura.
Di kota itu, Kafka
menginap di hotel dan mengisi “waktu luang” dengan mengunjungi perpustakan
Komura. Setelah jauh dari rumah, dia yakin bisa lepas dari “kutukan”. Tetapi
suatu hari, ia menjumpai peristiwa aneh. Sepulang dari perpustakaan ia
tiba-tiba hilang ingatan. Saat sadar, ia sudah di semak-semak dan tangannya
berlumuran darah.
Uniknya, ketika
Kafka hilang ingatan itu, ternyata di tempat lain (di Nakano, Tokyo), Nakata
(seorang kakek tua yang dikenal bodoh, menjalani hidup dari subsidi kota tetapi
bisa berbicara dengan kucing) seperti “menggantikan” kutukan Kafka. Nakata tak
bisa mengelak, dan terpaksa membunuh Johnnie Walker –lantaran punya kebiasaan
sadis membunuh kucing. Anehnya Walker tidak pernah hidup di dunia. Maka, saat
Nakata lapor ke pos polisi, Nakata justru dianggap sebagai orang aneh.
Tapi lebih aneh,
dua hari kemudian, Toici Tamura (pematung terkenal) yang tak lain adalah ayah
Kafka justru ditemukan mati tertusuk sebilah pisau. Polisi lantas mencari Kafka
dan Nakata. Kejadian itu membuat Kafka dan Nakata terseret misteri. Tanpa
disadari, Nakata menumpang truk Hoshino ke Takamatsu. Kafka pun terpaksa
meninggalkan hotel dan berpindah-pindah tempat, hingga dia bisa tinggal di
perpustakaan, setelah Oshima (penjaga perpustakaan) dan Nona Saeki (kepala
perpustakaan) mengangkatnya jadi pegawai perpustakaan.
Jalinan cerita kian
“absurd” setelah Kafka kenal dekat Nona Saeki. Di matanya Nona Saeki dibebani
kenangan masa lalu setelah ia ditinggal mati oleh kekasihnya. Dia pun sempat
hilang selama 25 tahun, lalu kembali ke Takamatsu. Dari cerita itu, Kafka
menduga Nona Saeki pernah dinikahi ayahnya. Dan ketika Kafka berusia empat
tahun, wanita itu kemudian pergi meninggalkannya.
Tapi, semua itu tak
menghalanginya untuk jatuh cinta pada Nona Saeki. Apalagi setelah ia kerap
didatangi sosok gadis 15 tahun yang mirip Nona Saeki ke dalam kamarnya, sekadar
memandangi “lukisan Kafka on the Shore” dan lantas bercinta dengannya. Anehnya,
di dunia nyata, Nona Saeki tak menolak cintanya. Keduanya pun bahkan
bersetubuh. Selain meniduri ibunya, dia ternyata tak bisa membendung hasrat
menyenggamai Sakura, yang tak lain kakak perempuannya meski –persetubuhan itu–
lewat mimpi.
Rupanya, kutukan
ayahnya jadi kenyataan. Kafka membunuh ayahnya, lalu meniduri ibunya dan kakak
perempuannya. Tapi, rahasia Nona Saeki tetap sebuah misteri. Karena,
satu-satunya bukti yang meruntuhkan teorinya (berupa dokumen riwayat hidup Nona
Saeki) telah dibakar Nakata atas permintaan Nona Saeki. Setelah Nona Saeki
meninggal, wanita itu menjadi kenangan bagi Kafka. Kafka tak bisa melupakannya
dan tak pernah mendapatkan teori tandingan karena teori tandingan itu telah
hangus menjadi abu dan terbang ke langit tepat saat Nona Saeki meninggal,
akibat serangan jantung.
Kafka mendapat
warisan dari Nona Saeki lukisan “Kafka di Tepi Pantai” –yang akan selalu
dipandanginya jika ia merindukan Nona Saeki.
***
KISAH novel Kafka
on the Shore ini, tak dipungkiri serupa kisah dalam kebudayaan Yunoni Kuno,
Oedipus Sang Raja (karya Sophocles). Dalam kisah yang ditulis dramawan besar
itu, Oedipus diramal kelak akan membunuh ayahnya. Maka sang ayah (raja Louis)
membuang Oedipus. Tapi, takdir berbicara lain. Oedipus tak mati. Kutukan itu,
menjadi kenyataan. Oedipus membunuh ayahnya –tanpa ia ketahui. Tragisnya,
Oedipus lantas menjadi raja dan menikahi Jocasta. Setelah melahirkan 4 anak,
Jocasta baru tahu bahwa Oedipus “anak kandungnya”. Jocasta bunuh diri. Oedipus
menusuk kedua matanya lalu meninggalkan kerajaan.
Cerita Oedipus
itulah yang kemudian dikembangkan oleh Haruki Murakami dengan memaklumatkan
teori yang digemakan Sigmund Freud. Tapi, Murakami tidak mentah-mentah
mengadopsi kisah Oedipus, melainkannya meracik lebih jauh, juga mendalam. Haruki
tak menyuguhi terang benderang kisah Oedipus dan teori Freud itu. Pengarang
yang telah mendapat banyak pernghargaan ini lalu memilih jalan berliku, penuh
misteri serupa labirin.
Sampai Haruki
mengakhiri cerita novel ini, dugaan Kafka mengenai Nona Saeki yang dikira
ibunya masih menyimpan teka-teki. Tak pelak, kalau hipotesa Kafka itu merupakan
sebuah teori. Sebagaimana diungkapkan Haruki ketika Kafka “meminta jawaban”
Nona Saeki, ternyata Nona Saeki menjawab, “Tidak ada diriku yang perlu kau
ketahui.”
Haruki menegaskan,
dugaan Kafka bahwa Nona Saeki adalah ibunya, tidak lebih “sebuah hipotesa atau
teori”. Karena merupakan teori, maka hipotesa itu masih tetap berlaku selama
belum ada bukti (teori) tandingan.
***
HARUS diakui karya
ini adalah novel yang sulit dipahami. Murakami tak menulis secara realis tapi
memilih surealis. Tak pelak, jika pembaca disuguhi absurditas yang sulit
“diterima akal”, karena Murakami melumuri cerita dengan teka-teki, dan misteri.
Teka-teki itu disuguhkan Murakami, lewat tokoh Nakata yang bodoh tak bisa
membaca dan berhitung tapi dapat berbicara dengan kucing, batu dan mampu
mendatangkan hujan. Kemunculan gadis berumur 15 tahun (sebagai bayangan Nona
Saeki), tokoh Johnnie Walker, Kolonel Sarders, gagak yang tidak lain (bisikan
hati) Kafka, dua tentara pasukan Napoleon pada 1812 dan Johnnie Walker.
Selain itu,
Murakami kerap berkisah dengan latar di luar batas dunia. Bahkan, pengarang
menyelipkan pemikiran tentang kenangan, pikiran dan ingatan yang diadopsi dari
ide dan pemikiran filsafat. Sementara “teknik cerita” yang digelindingkan
Murakami tidak kalah pelik. Berpilin, berliku dan tak berpusat satu tokoh
utama, melainkan dua tokoh (Kafka dan Nakata). Dari dua tokoh yang tidak ada
titik temu di awal kisah itu, Murakami kemudian menjalin dalam satu bangunan
cerita di akhir kisah yang ternyata menyisakan banyak pertanyaan.
Untungnya, meski
Murakami menulis dengan gaya surealis tetap bertutur dengan bahasa yang ringan.
Dialog mengalir lancar, pendek, tidak menyusahkan. Jadi, novel ini pun masih
bisa diikuti meski harus membaca dengan mengerutkan kening. [*]
Sumber:
Surabaya Pos, 26
April 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar