Judul Buku: Karomah Para Kiai Penulis: Samsul Munir Amin Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta Cetakan: I, November 2008 Tebal: xx + 348 halaman Peresensi: Imam Musthafa |
Karomah
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti keramat, suatu pristiwa yang
sulit diterima oleh daya pikiran manusia pada umumnya. Karomah banyak dijumpai
dalam literatur keagamaan, termasuk dalam berbagai literatur agama Islam. Dalam
Al Quran tidak sedikit ayat yang mengisahkan kejadian atau pristiwa yang sulit
dicerna akal pikiran. Di antaranya, seperti kisah Ashabul Kahfi, sekolompok
pemuda yang yang tertidur sampai ratusan tahun dalam gua dan kisah Maryam
sebagai perempuan suci yang melahirkan Nabi Isa tanpa ayah, serta kisah-kisah
yang berbau karomah lainnya.
Demikian
pula, peristiwa karomah banyak ditemui di kalangan ulama pada masa Nabi
Muhammad atau bahkan sesudahnya, yaitu generasi penerus risalah, seperti para
sahabat Nabi, tabi’in, tabi’ittabi’in, dan para ulama. Dalam masa-masa
itu, kerap ditemui sejumlah peristiwa yang tidak lazim terjadi, di luar batas
nalar logika, tetapi ini benar-benar nyata.
Di
antara para sahabat yang mendapatkan predikat karomah adalah sahabat Umar bin
Khattab, salah seorang Khulafaur Rasidin. Ia memiliki karomah yang cukup mashur
dikenal. Dikisahkan bahwa pada suatu ketika Umar sedang berkhotbah di Madinah.
Tiba-tiba memekik lantang, ”Wahai, Sari’ah, merapatlah ke gunung!”
Sari’ah
bin Husain yang sedang memimpin peperangan di daratan Abajirda—yang tentu
berjarak jauh dari Madinah—serentak mendengarkan suara sahabat Umar itu yang
memberi isyarat kepada dia dan pasukannya untuk segera merapat ke gunung.
Peristiwa itu seakan mengukuhkan adanya telepati antara dua orang yang sedang
berjauhan tempat.
Karomah
pada dasarnya merupakan sebuah tanda dari kewalian sesorang, sebagaimana
mukjizat menjadi tanda kenabian. Hanya, karomah tidak harus ditampakkan, bahkan
penampakkan karomah harus dihindari, sebab akan memutuskan suluk (perjalanan
spritual) seorang wali kepada Allah.
Buku
Karomah Para Kiai merupakan kumpulan kisah karomah para kiai di
Indonesia. Buku yang mengurai 77 kisah karomah eksisitensi kiai ini, sebelumnya
belum banyak terkuak oleh masyarakat di luar pesantren. Kisah-kisah tersebut
belum sempat dituliskan dalam bentuk buku, melainkan hanya beredar dari mulut
ke mulut, di lingkungan pesanten. Hal itu barangkali letak pentingnya buku ini
dihadirkan ke tengah publik.
Dalam
hal ini, penulis menggunakan pendekatan kearifan lokal dalam mengkisahkan
daripada nuansa mistis para kiai dalam menerapkan nilai-nilai ajaran Islam
kepada masyarakat serta juga memberikan informasi tentang pesan moral para kiai
supaya dapat ditiru dalam rangka taqarrab ilallah.
Menurut
Imam Al-Qusairi dalam ar-Risalah, seorang wali tidak akan nyaman dan
peduli terhadap karomah yang dianugrahkannya. Meski demikian, terkadang dengan
adanya karomah, keyakinan mereka semakin bertambah sebab mereka meyakini semua
berasal dari Allah. Mereka (wali) kemudian sangat paham betul bahwa kejadian
aneh pada dirinya merupakan pemberian Allah kepada mereka yang dia kehendaki.
Dan, Allah menganugerahkan karomah pada para wali agar keyakinan mereka semakin
mantap di satu sisi dan “menabiri” mereka dari ancaman dan prakarsa kejahatan
lingkungannya.
Gambaran
Karomah
Di
Indonesia, semua orang tentunya kenal dengan tokoh KH Hasim Asy’ari, terutama
kalangan nahdliyyin (sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama/NU), sebagai ulama
yang mumpuni secara keilmuan sekaligus tokoh pendiri NU. Ia sangat piawai dalam
mengajar ilmu agama. Terbukti, saat Kiai Hasyim Asy’ari sedang mengaji kitab
Shahih Bukhari, ibarat membaca kitabnya sendiri. Ini menunjukkan penguasaan
dalam ilmu Hadits sangat mendalam.
Suatu
kisah karomahnya terjadi usai waktu dhuhur. Pada suatu waktu Kiai Hasyim
Asy’ari mengajar kitab di hadapan para santri dalam jumlah yang banyak. Di
tengah pengajian, ia melemparkan tongkatnya ke depan dan mengenak pada
muridnya. Ia bersikap apatis dan tidak mau menghiraukan tongkatnya yang mengena
pada santrinya. Santri yang kesakitan itu berusaha menahan diri untuk tetap
dalam posisi demi menjaga morallitas terhadap guru. Sejenak murid tersebut
teringat bahwa dirinya belum salat dhuhur, sedangkan waktu dhuhur akan
berakhir. Kejadian seperti ini, tidak hanya satu kali, tapi
berulang-ulang sebagai peringatan terhadap santrinya yang meninggalkan
perintah agama dan berbuat kesalahan. (halaman103).
Contoh
lain dapat pula disebutkan di sini. Adalah Mbah Mungli—sebutan bagi Kiai Hasan
dari Desa Mangli, Kecamatan Secang, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah—merupakan
sosok yang memiliki banyak karomah. Semasa hidupnya, ia memiliki banyak usaha
dan termasuk orang yang kaya-raya. Sedangkan aktivitas sehari-harinya banyak
diselimuti berbagai jenis aktivitas bernuansa agama, seperti mengisi kajian
kitab kuning, berceramah, dan lain-lain.
Pada
saat mengisi pengajian, di mana pun ia dan dalam kondisi apa pun, Mbah Mungli
tidak pernah memakai alat pengeras suara, meskipun jamaahnya sangat banyak,
hingga berbaris dengan jarak jauh. Namun, masyarakat tetap sangat menyukai isi
pidatonya.
Di
sisi lain, dia dikenal sebagai seorang yang memiliki kemampuan psikokinesis
tinggi. Misal, dia dapat mengetahui tamu yang akan datang beserta maksud dan
tujuannya. Seperti orang yang bermaksud untuk makan jeruk bersilaturrahim pada
rumah Mangli. Dia menyambut dengan memberikan jeruk. Itu terjadi dalam setiap
ada tamu ke rumahnya. (halaman 174-176).
Kedua
gambaran contoh karomah dapat memberikan stimulus pada eksistensi kiai. Buku
ini memberikan sajian yang rinci dan akurat atas data-data yang terangkum
tentang kiai beserta peristiwa-peristiwa karomahnya. Ini memang praktis
dijadikan sebuah cerminan di dalam dunia yang kian rasional dan serba teknologi
canggih ini dalam membaca kembali relasi kiai sebagai tokoh sentral pengampu
moralitas masyarakat Islam dengan predikat karomah yang nampaknya menjadi daya
utama aura kharismatiknya. [*]
*) Peresensi adalah Pustakawan Rumah Baca Kutub Yogyakarta, Alumnus Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura, Jawa Timur
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar