Judul buku: Khazanah Khatulistiwa;
Potret Kehidupan dan
Pemikiran Kiai-Kiai
Nusantara
Penulis: Muhammad Hasyim & Ahmad Athoillah Penerbit: Arti Bumi Intaran, Yogyakarta Distributor : Khalista, Surabaya - Cetakan: I, Juni 2009 Tebal: xx+230 Halaman Peresensi: Ach. Syaiful A’la*) |
Khazanah
kiai di Indonesia sangatlah kompleks. Dan memang tidak ada habisnya untuk
dijadikan bahan diskusi, diseminarkan, bahkan dilakukan penelitian untuk
ditulis menjadi sebuah buku. Dikatakan kompleks, karena kepemimpinan atau peran
kiai dalam lingkungan masyarakat tidakalah hanya satu fungsi, adakalanya ia
berperan sebagai tokoh intelektual (‘ilmiyah), tokoh spiritual (rohaniyah),
tokoh sosial-kemasyarakatan (ijtima’iyah), tokoh administratif (idariyah),
sebagai pialang budaya (cultural broker), terkadang pula berperan
sebagai tokoh (aktor) politik (siyasaht;).
Dari
beberapa cakupan bidang di atas, maka, hingga saat ini, semenjak reformasi
bergulir di Indonesia, yang paling menarik tentang perbincangan mengenai “kiai”
adalah ketika melihat keterlibatannya dalam ranah politik praktis, baik ia
masuk (menjadi pelaku) dalam salah satu bendera partai politik tertentu atau
yang hanya menjadi pendukung salah seorang calon yang akan duduk dalam kursi
kekuasaan dalam pemerintahan.
Salah
satu bukti, bahwa ketokohan seorang “kiai” diakui di masyarakat adalah dengan
menjadikannya kiai sebagai panutan dan kiblat masyarakat di dalam berbagai
persoalan, baik yang menyangkut persoalan fiqh, ekonomi, faham keagamaan, serta
problem lain yang terjadi di masyarakat. Sehingga keberadaan kiai di
tengah-tengah masyarakat, masih belum ada yang bisa menggantikannya dengan
sesuatu yang lain, selain tetap bertumpu pada keputusan kiai. Hal ini
menunjukkan bahwa peran kiai sangatlah penting untuk memobilisasi massa.
Nah,
tidak salah jika Clifford Geertz mengatakan bahwa kiai adalah sebagai pialang
budaya (cultural broker), pentransformasi ilmu pengetahuan dan penentu arah
pilihan masyarakat dalam berbagai pilihan tertentu. Walaupun beberapa dekade
ini, banyak fatwa-fatwa kiai mulai luntur dan tidak lagi digubris oleh
masyarakat, lantaran mereka (para kiai) terlalu masuk dalam ranah percaturan
politik praktis, sehingga mengesampingkan fungsi lainnya. Kejadian tersebut
bisa dibuktikan dengan banyaknya beberapa partai politik dan calon yang
didukung oleh kiai pondok pesantren, ternyata masih berstatus “tidak jadi”
(kalah) diberbagai daerah pemilihan.
Dengan
beberapa “keunikan” kepemimpinan yang diperankan oleh individu kiai,
seperti ketokohan intelektual, spiritual, sosial-kemasyarakatan,
administratif, pialang budaya, aktor politik, maka, guna memahami – untuk
mengetahui – satu persatu dari masing-masing individu kiai dibutuhkan berbagai
sudut pandang dan kajian, keilmuan yang terpadu (holistic-integral), serta
beberapa dokumentasi yang ada.
Terinspirasi
dari latar belakang itulah, buku Khazanah Khatulistiwa; Potret Kehidupan dan
Pemikiran Kiai-Kiai Nusantara ini disusun. Buku ini banyak memaparkan biografi
singkat 26 kiai nusantara, yang masing-masing dari ke 26 kiai dimaksud
mempunyai peran, kemampuan, keahlian (have skill) didalam melakukan sebuah
peradaban kebangsaan di bumi Indonesia.
Walaupun
buku seperti ini – yang menggambarkan tentang ketokohan seorang kiai memang
telah banyak beredar di pasaran, seperti 99 Kiai Nusantara, jilid 1-2 (Kutub,
Yogyakarta), Antologi NU, yang isinya juga banyak menyajikan tentang kiprah
kiai dalam sosial-keagamaan (Khalista, Surabaya), Karomah Para Kiai (LKiS,
Yogyakarta). Tetapi, Muhammad Hasyim & Ahmad Athoillah dalam penyusunan
ini, mampu mencari hal lain yang masih belum tersirat dalam buku sebelumnya.
Sehingga, kedatangan buku ini di ruangan pembaca tetap menjadi referensi baru –
sebagai pelengkap – dari beberapa buku sebelumnya.
Alangkah
indahnya jika penulisan buku ini, melakukan klasifikasi (pengelompokan) tentang
potensi pada masing-masing individu kiai. Karena keberadaan kiai tidak semua
kemampuan yang mencakup semua bidang keahlian (al-maharah) diatas. Adakalanya
hanya tokoh dalam bidang ilmu fiqh, ekonomi, politik, spiritual, administratif
dan ada pula kiai yang ahli dalam khazanah tulis-menulis.
Misalnya,
melakukan pengklasifikasian terhadap kiai yang banyak memberikan sumbangsih di
bidang ekonomi, seperti KH Hasyim Asy’ari (hlm. 9) dan KH Wahab Chasbullah
(hlm. 17). Kedua tokoh ini sangat besar jasanya dalam pemberdayaan ekonomi umat
dengan garapan utamanya duhulu adalah dengan mendirikan lembaga Nahdlatut
Tujjar (kebangkitan para saudagar/pengusaha) sebelum berdirinya Nahdlatul ulama
(NU), ada pula KH Maksum dalam bidang ekonomi yang sempat pengalamannya menjadi
seorang pedagang dan kuli (hlm. 25).
Selain
dibidang ekonomi, ada pula kiai yang konsen dengan karya tulis-menulis. Seperti
KH Bisri Mustofa, beliau melakukan bimbingan kepada masyarakat dengan bahasa
dan pena (hlm. 43) dan kiai Syaikh Ihsan Jampes (hlm. 185). Beliau mendapat
julukan “Al-Ghazali kecil dari Kota Kediri”. Sehingga tak hayal jika banyak
karya Syaikh Ihsan dijadikan bacaan (referensi) wajib pada beberapa universitas
di Timur Tengah.
Tak
hanya cukup membaca, mengenal, dan memahami ketokohan seseorang (kiai) yang
dianggap kapabel keilmuannya. Melainkan yang terpenting adalah bisa meneladani
sikap dan sepak terjang perjuangannya. Misalnya sabar dengan proses, ulet,
tekun, kreatif, dan penuh dengan rasa optimis dalam menjalani hidup. [*]
*) Mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Pondok Budaya IKON Surabaya
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar