Judul Buku: Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat
Editor: Syamsul A. Hasan Penerbit: Pustaka Pesantren-LKIS, BP2M PP Salafiyah Syafiiyah Cetakan: Ketiga, 2008 Tebal: xxxi + 214 halaman Peresensi: Mashudi Umar |
Di
deretan ulama-ulama besar di Indonesia, nama Kiai As’ad tentu bukanlah nama
yang asing. Ia merupakan mediator berdirinya Nahdlatul Ulama (NU) dan salah
seorang inspirator penerimaan asas Pancasila di Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur, yang ia pimpin.
Sebagaimana
kita ketahui, sebelum NU berdiri, pada 1924, Kiai Kholil Bangkalan mengutus
Kiai As’ad muda sebagai santrinya pergi ke Tebuireng, Jombang, untuk
menyampaikan lambang/tanda kepada KH Hasyim Asy’ari. Pertama, Kiai As’ad diutus
untuk menyampaikan sebuah tasbih dan ucapan surat Thaha Ayat 17-23 yang
menceritakan mukjizat Nabi Musa dan tongkatnya ke Kiai Hasyim. Setahun
kemudian, Kiai Kholil mengirim Kiai As’ad kepada Kiai Hasyim Asy’ari dengan
mengucapkan: Ya Jabbar, Ya Qahhar. Kedua peristiwa ini diyakini sebagai
persetujuan Kiai Kholil atas berdirinya NU dan pemilihan KH Hasyim Asy’ari
sebagai pemimpin spritual masyarakat pesantren.
Hingga
akhirnya, dalam konteks ke-NU-an, Kiai As’ad merupakan satu-satunya orang yang
ditunjuk oleh Muktamar ke-27 NU untuk menyusun ahl al-halli wa al-aqdi yang
mempunyai otoritas penuh untuk selanjutnya membentuk struktur Pengurus Besar NU
setelah NU kembali ke Khittah 1926, di mana Abdurrahman Wahid menjabat Ketua
Umum PBNU pertama kalinya bersanding dengan KH Achmad Siddiq sebagai Rais Am
PBNU. Ia juga bersama ulama sepuh, seperti KH Ali Maksum, KH Mahrus Ali, dan KH
Achmad Siddiq—dikenal sebagai andalan untuk melerai kemelut yang melilit tubuh
NU. Memang, Kiai As’ad tidak pernah menduduki posisi strategis dalam struktural
NU, ia hanya menduduki Mustasyar PBNU waktu itu.
Masih
segar dalam ingatan warga NU—waktu itu--, ketika mulai ramai perbincangan
mengenai konflik MI-NU dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
membaranya api membicarakan soal rencana pemerintah memberlakukan Pancasila
sebagai satu-satunya asas organisasi sosial politik maupun kemasyarakatan,
tiba-tiba di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah berkumpul ratusan ulama NU
untuk mengadakan Musyawarah Nasional (Munas). Ini terjadi pada 18-21 Desember
1983.
Uniknya,
di saat semua ormas Islam banyak menolak asas Pancasila, Munas tersebut justru
menerimanya dan menganggapnya tidak bertentangan dengan akidah Islam. Munas
juga memutuskan mengembalikan NU ke garis dan landasan perjuangan asalnya, yang
kemudian populer dengan sebutan kembali ke Khittah 1926. Semua peran itu tidak
lepas dari ide brilian Kiai As’ad dalam memulihkan keutuhan NU yang kala itu
tercabik-cabik oleh banyak kepentingan.
Menurutnya,
Pancasila tidak bertentangan sama sekali dengan Islam. Sila pertama adalah
ajaran tauhid dan sila-sila berikutnya adalah implementasi dari ajaran Islam.
Sementara, sejumlah tokoh Islam yang menolak mengutip argumen normatif atas
penolakannya terhadap Pancasila, dengan tegas, Kiai As’ad mengatakan, bahwa
secara substantif Pancasila tidak bertentangan dengan nilai-nilai Al Quran dan
Al Sunnah. Walaupun tidak eksplisit kata Al Quran dan Al Sunnah tidak tercantum
dalam sila-sila Pancasila, namun ajaran-ajaran fundamental Islam telah terpatri
di sana.
Sedangkan
rumusan Khittah NU 1926 hasil Munas di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah
pada 1983, pertama, mengembalikan aktivitas NU dari bidang politik ke bidang
asalnya, yakni bidang dakwah, pendidikan dan sosial. Terlalu lama NU
berkecimpung di politik praktis (sejak 1955-1982), hingga garapan pokoknya
terbengkalai.
Kedua,
menyerahkan sepenuhnya kepada warga NU dalam menyalurkan aspirasi politiknya,
apakah ke Partai Golkar, PPP maupun Partai Demokrasi Indonesia–waktu itu—yang
memang dipandang baik dan tidak bertentangan dengan Islam.
Ketiga,
membenahi organisasi, setelah terperangkat dalam kemelut intern sesuai Munas
Alim Ulama di Kaliurang, Yogyakarta, pada 1981, yang melahirkan dua kubu yaitu
Cipete dan Situbondo. Pembenahan bidang ini kemudian terbukti dengan terjadinya
rekonsiliasi 10 September 1984 di kediaman KH Hasyim Latif, Sepanjang,
Sidoarjo.
Faedah
kembalinya NU ke Khittah 1926, di samping rumusan-rumusan di atas, juga
mengangkat peran ulama dalam lembaga, seperti Mustasyar dan Syuriyah, sebagai
lembaga tertinggi dalam kepemimpinan NU.
Buku
ini sudah dalam cetakan edisi ketiga. Dengan kata lain, buku ini tetap menarik
untuk dibaca, dijadikan referensi untuk membaca kembali perjuangan Kiai As’ad
waktu penjajahan Kolonial Belanda. Buku ini tidak berbicara soal Kiai As’ad
sebagai penyelenggara dan pertemuan alim ulama NU atau Munas di pesantrennya,
juga tidak berbicara mengenai pembentukan awal berdirinya NU, di mana Kiai
As’ad sebagai penyambung komunikasi antara Syaikhona Kiai Kholil Bangkalan
dengan Syaikhona Kiai Hasyim Asy’ari.
Penyunting
buku ini, Samsul A. Hasan, sebagai santri Pesantren Salafiyah Syafi’iyah yang
juga sangat produktif menulis di beberapa media melakukan penelitian yang
mengurai tentang keberanian Kiai As’ad mengumpulkan para bajingan sebagai sisi lain
kehidupan nyata Kiai As’ad di samping gambaran di atas, juga mengungkap tentang
kepiawaiannya dalam mendekati para tokoh bajingan tengik, yang kemudian
dikumpulkan dalam wadah pelopor. Sehingga masyarakat ada yang memanggil Kiai
As’ad—waktu itu—sebagai “singa” berjalan. [*]
*) Peresensi
adalah Redaktur Eksekutif Majalah Alfikr terbitan Institut Agama Islam
Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar