Judul
buku: Kitab Kopi dan Rokok
Penulis: Syaikh Ihsan Jampes Penerbit: Pustaka Pesantren Yogyakarta Cetakan: 1, Februari 2009 Tebal: xxv + 110 halaman Peresensi: Muhammadun AS |
Salah
satu hasil konsensus Komisi Fatwa Majlis Ulama Indonesia (KF-MUI) di Padang
Panjang, Sumatera Barat, akhir Januari 2009 lalu adalah fatwa tentang hukum
haramnya merokok bagi anak-anak, wanita hamil, dan pengurus MUI sendiri.
Pro-kontra menyelimuti fatwa kontriversial tersebut, terlebih daerah yang
menjadi tempat tembakau berkembang biak dan tempat di mana perusahan rokok
berdiri.
Di
balik pro-kontra tersebut, ada fakta yang unik, ternyata sebagian ulama/kiai
dalam MUI sendiri, dulunya adalah para pecandu berat rokok. Bahkan, kopi dan
rokok masih menjadi ”menu utama” di berbagai pesantren di Jawa. Setiap sowan di
rumah kiai, pastilah kopi dan rokok menjadi ”menu utama” sang kiai. Tanpa kopi
dan rokok, mengaji dan belajar terasa hambar dan kurang sreg, serta inspirasi
berkarya terasa tumpul. Inilah realitas di balik bilik pesantren di Jawa.
Walaupun tidak semua, tetapi mayoritas mengakui demikian adanya.
Terlepas
dari status fatwa yang masih kontroversi sekarang, menarik kita menengok karya
klasik Syaikh Ihsan Jampes yang berjudul Kitab Kopi dan Rokok. Buku ini
berjudul asli Irsyadu al-Ikhwan fi Bayani al-Hukm al-Qohwah wa al-Dhukhon.
Sepertinya hingga kini, karya Syeikh Ikhsan ini menjadi satu-satunya buku yang
memuat seluk-beluk kopi dan rokok, mulai dari sejarahnya hingga polemik tentang
hukum mengonsumsinya.
Syeikh
Ihsan sendiri adalah kiai asal Jampes, Kediri, Jawa Timur, yang reputasi
keilmuannya diakui secara internasional. Karya-karya tersebar luas, bahkan
karyanya berjudul Siraj al-Thalibin yang menjelaskan kitabnya al-Ghazali
mendapatkan pujian luas dari ulama Timur Tengah. Bahkan, menjadi referensi
utama para mahasiswa di Mesir. Kiai yang wafat tahun 1952 di usia 51 tahun itu
dikenal sebagai petualang yang haus ilmu.
Belajar
dari pesantren menuju pesantren lainnya. Tak pelak, kiai di jamannya kemudian
memanggilnya dengan sebutan ”syeikh”. Sebutan bagi kiai yang mencapai derajat
keilmuan yang tinggi dan integritas personal yang disegani.
Karya
ini memang dipersembahkan penulis untuk menjawab beragam persoalan yang melilit
kaum pesantren ihwal rokok dan kopi. Karya yang disusun dengan gaya nadham (syair/puisi)
dan syarah (tafsir) tergolong unik bagi kalangan pesantren. Unik karena
Syeikh Ikhsan tidak hanya menjelaskan status hukum kopi dan rokok yang memang
kontroversial. Tetapi juga sejarah asal-musalnya serta perkembangannya di Timur
Tengah, Eropa, Amerika, bahkan sampai di Indonesia. Ini tidak biasa bagi
kalangan kiai. Karena biasanya kitab-kitab kiai pesantren lebih menekankan
pembahasan ihwal status hukum fikihnya. Kemampuan Syeikh Ikhsan ini memang
diakui, karena selain membaca kitab kuning, ia juga dikenal membaca berbagai
majalah dan koran ketika masih muda.
Dengan
bahasa yang renyah, Syeikh Ikhsan menjelaskan bahwa masyarakat Arab mengenal
rokok dengan istilah al-Dhukhon, al-Tabgh, al-Tuun, dan Al-Tinbak.
Nama itu sudah umum, sedangkan dalam istilah kedokteran, dikenal dengan istilah
banbujjir. Secara historis, penulis menjelaskan bahwa tembakau (al-Tabghu)
adalah tanaman lokal pada suatau daerah bernama Tobago–suatu negeri di wilayah
Meksiko, Amerika Utara. Karena tertarik, datanglah orang Eropa di Tobago, dan
orang Eropa meniru kebiasan merokok orang Tobago.
Karena
merasa asyik dan nikmat dengan merokok, pada 1560 M (977 H), Yohana Pailot dari
Vunisia mengunjungi Raja Alburqonal dari Panama, Amerika. Dia tidak sekedar
berkunjung, tetapi juga memboyong bibit tembakau ke negerinya dan kemudian
disebarluaskan ke Eropa secara massif. Dan orang Eropa menyebarkannya kepada
seluruh dunia lewat proyek kolonialisasinya. Sementara, kopi dikenal dan
dikonsumsi masyarakat Arab setelah dua generasi hijrah kenabian. Pada 1600 M
(1017 H), kopi dibawa ke negeri-negeri Eropa dan kemudian disebarluaskan orang
Eropa kepada seluruh penjuru dunia. (halaman 14-16)
Syeikh
Ikhsan juga menjelaskan status hukumnya. Mengonsumsi kopi dan rokoh, sudah
menjadi kontroversi ulama sejak abad ke-10 H. Dalam soal kopi, ulama yang
mengharamkan kopi melihat bahwa di dalam kopi terdapat madhorot (kerusakan)
kalau kita mengonsumsinya. Pendapat ini didukung Syeikh Abtawi dari Syria,
Syeikh Ibnu Sulton, dan Syeikh al-Syanbathi dari Mesir. Sementara, yang
memperbolehkan kopi berpendapat bahwa kopi bisa menyegarkan, meringankan
pikiran, dan membangkitkan semangat tetap terjaga sampai waktu yang lama untuk
beribadah. Pendapat ini didukung Imam al-Ramli, Najm al-Ghazi, dan Ibn Hajar
al-Haitami. (halaman 22-24)
Demikian
juga tentang rokok. Ulama yang mengharamkan rokok berpendapat bahwa rokok
merusak kesehatan, menyebabkan orang mabuk, tidak berkesadaran, baunya tidak
disenangi orang lain, dan dipandang sebagai pemborosan (isyrof).
Intinya, rokok membawa madhorot yang bisa menghalangi ibadah. Pendapat ini
dipegang oleh al-Qolyubi, al-Laqqani, al-Bujairomi, dan al-Syaranbila. (halaman
48-49)
Sedangkan
yang memperbolehkan mengatakan bahwa rokok tidak najis, atau menghilangkan
kesadaran. Bahkan, rokok memberikan semangat baru dalam menjalani kehidupan.
Bagi kelompok ini, sangat omong kosong mereka mengatakan rokok haram, baik
zatnya, atau dengan mengkonsumsinya. Merokok adalah mubah (boleh). Pendapat ini
disokong al-Ghani al-Nabilisi, al-Syabromalis, al-Sulthan, dan al-Barmawi
(halaman. 54). Pendapat masyhur mengatakan bahwa merokok adalah makruh.
Pendapat masyhur ini didukung al-Bajuri dan al-Syarqowi (halaman 80). Ada juga
yang mengatakan merokok boleh saja tetapi hukum makruh tetap menyertainya. Ini
pendapat al-Said Babasil dan Ibn Musa al-Nasawi (halaman 83)
Sedangkan
di bab terakhir dijelaskan bahwa air yang terkena asap rokok tetaplah masih
suci. Selain itu, merokok juga tidak membatalkan puasa seseorang, asalkan
asapnya tidak ditelan melewati tenggorokan. Juga diperbolehkan merokok di
masjid, walaupun juga ada ulama yang menetapkan status makruh hukumnya, juga
ada yang mengharamkan, tetapi dianggap lemah (dho’if).
Semua
status hukum yang dijelaskan dalam buku ini tergantung atas illatu al-ahkam (alasan
penjatuhan status hukum) dari berbagai kasus yang ada. Baik yang mengharamkan
dan mengharamkan selalu menyertai illat (alasan) hukumnya. Berarti, kalau illat
itu tidak ada, sangat mungkin hukumnya akan relatif semua. Walaupun ulama yang
mengharamkan tetap berkelit dengan berbagai argumentasi rasionalnya.
Terlepas
dari itu semua, Syeikh Ikhsan menyajikan buku ini dengan proporsional.
Memberikan pilihan bebas kepada pembaca untuk menjatuhkan pilihannya. Penulis,
walaupun seorang kiai besar, tidak terkesan menggurui. Justru memberikan celah
perdebatan lanjut untuk pengamat berikutnya. Inilah sikap demokratik seorang
kiai yang memberikan kebebasan berpendapat kepada santrinya. Dan, buku ini
mencerminkan itu semua.
Dalam
konteks ini, buku Syeikh Ikhsan ini hadir tepat waktunya. Ketika masyarakat
masih bingung menentukan status hukum dari fatwa MUI. Penjelasan panjang lebar
yang dikemukakan menjadi catatan penting bagi pengkaji hukum Islam, khususnya
para ”pejabat resmi” lembaga fatwa agar fatwa-fatwa yang lahir nanti membawa
dampak produktif bagi masyarakat. Bukannya menimbulkan gejolak, kontroversi,
dan bahkan sikap apatis terhadap lembaga fatwa dan para ulamanya.
Fatwa
Syeikh Ikhsan Jampes dalam buku ini menjadi alarm dalam ”fatwa resmi” yang
terkesan ”otoriter” atas kuasa makna. Fatwa seharusnya otoritatif dan memberi
implikasi kemaslahatan bagi semua.[*]
*) Peresensi adalah Pengamat Sosial
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar