Judul: Kisah & Hikmah Mikraj
Rasulullah
Penulis: Imam al-Qusyairi Penerjemah: Dr. Abad Badruzaman, Lc Penerbit: Serambi, Jakarta Cetakan: Pertama 2007 Tebal: 187 halaman Peresensi: Lukman Santoso Az*) |
Momentum Isra’
Mi’raj Nabi Muhammad Saw dari Masjidil Haram di Mekah ke Masjidil Aqsa di
Palestina kemudian naik ke Sidratul Muntaha adalah peristiwa yang sangat
fenomenal dalam sejarah umat Islam. Mengapa demikian? Karena dari peristiwa
inilah Nabi Muhammad SAW memperoleh perintah ibadah wajib, yakni sholat lima
waktu yang langsung dari Allah SWT.
Perintah sholat ini
kemudian menjadi ibadah wajib bagi setiap umat Islam dan memiliki keistimewaan
tersendiri dibandingkan ibadah-ibadah wajib lainnya. Sehingga, dalam konteks
spiritual-imaniah maupun perspektif rasional-ilmiah, Isra’ Mi’raj merupakan
kajian yang tak kunjung kering inspirasi dan hikmahnya bagi kehidupan umat
beragama (Islam).
Bersandar pada
alasan inilah, Imam Al-Qusyairi yang lahir pada 376 Hijriyah, melalui buku yang
berjudul asli ‘Kitab
al-Mikraj’ ini, berupaya memberikan peta yang cukup komprehensif
seputar kisah dan hikmah dari perjalanan agung Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW,
beserta telaahnya. Dengan menggunakan sumber primer, berupa ayat-ayat Al-Quran
dan hadist-hadits shahih, Imam al-Qusyairi dengan cukup gamblang menuturkan
peristiwa fenomenal yang dialami Nabi itu dengan runtut.
Selain itu, buku
ini juga mencoba mengajak pembaca untuk menyimak dengan begitu detail dan
mendalam kisah sakral Rasulullah SAW, serta rahasia di balik peristiwa luar
biasa ini, termasuk mengenai mengapa mikraj di malam hari? Mengapa harus
menembus langit? Apakah Allah berada di atas? Mukjizatkah mikraj itu hingga tak
bisa dialami orang lain? Ataukah ia semacam wisata ruhani Rasulullah yang patut
kita teladani?
Bagaimana dengan
mikraj para Nabi yang lain dan para wali? Bagaimana dengan mikraj kita sebagai
muslim? Serta apa hikmahnya bagi kehidupan kita? Semua dibahas secara gamblang
dalam buku ini.
Dalam
pengertiannya, Isra’ Mi'raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekadar
perjalanan "wisata" biasa bagi Rasul. Sehingga peristiwa ini menjadi
perjalanan bersejarah yang akan menjadi titik balik dari kebangkitan dakwah
Rasulullah SAW. John Renerd dalam buku ”In
the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,”
seperti pernah dikutip Azyumardi Azra, mengatakan bahwa Isra Mi'raj adalah satu
dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah SAW, selain
perjalanan hijrah dan Haji Wada. Isra Mi'raj, menurutnya, benar-benar merupakan
perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual.
Jika perjalanan
hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum
Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas
kota suci Mekah, maka Isra Mi'raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang
pencipta (al-Khalik).
Isra Mi'raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil). Sehingga,
perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan meninggalkan bumi yang
rendah menuju langit yang tinggi.
Inilah perjalanan
yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf. Sedangkan menurut Dr Jalaluddin
Rakhmat, salah satu momen penting dari peristiwa Isra Mi'raj yakni ketika
Rasulullah SAW "berjumpa" dengan Allah SWT. Ketika itu, dengan penuh
hormat Rasul berkata, "Attahiyatul
mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah"; "Segala
penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja". Allah
SWT pun berfirman, "Assalamu'alaika
ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh".
Mendengar percakapan
ini, para malaikat serentak mengumandangkan dua kalimah syahadat. Maka, dari
ungkapan bersejarah inilah kemudian bacaan ini diabadikan sebagai bagian dari
bacaan shalat.
Selain itu, Seyyed
Hossein Nasr dalam buku ‘Muhammad
Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang
dialami Rasulullah SAW saat Mi'raj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat
yang di jalankan umat islam sehari-hari. Dalam artian bahwa shalat adalah
mi'raj-nya orang-orang beriman. Sehingga jika kita tarik benang merahnya, ada
beberapa urutan dalam perjalanan Rasulullah SAW ini.
Pertama, adanya
penderitaan dalam perjuangan yang disikapi dengan kesabaran yang dalam. Kedua, kesabaran yang
berbuah balasan dari Allah berupa perjalanan Isra Mi'raj dan perintah shalat.
Dan ketiga, shalat menjadi senjata bagi Rasulullah SAW dan kaum Muslimin untuk
bangkit dan merebut kemenangan. Ketiga
hal diatas telah terangkum dengan sangat indah dalam salah satu ayat Al-Quran,
yang berbunyi "Jadikanlah
sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh
berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) orang-orang yang
meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali
kepada-Nya."
Mengacu pada
berbagai aspek diatas, buku setebal 178 halaman ini setidaknya sangat menarik,
karena selain memberikan bingkai yang cukup lengkap tentang peristiwa Isra’
mikraj Nabi saw, tetapi juga memuat mi’rajnya beberapa Nabi yang lain serta
beberapa wali. Kemudian kelebihan lain dalam buku ini adalah dipaparkan juga
mengenai kisah Mikrajnya Abu Yazid al-Bisthami. Mikraj bagi ulama kenamaan ini
merupakan rujukan bagi kondisi, kedudukan, dan perjalanan ruhaninya menuju
Allah.
Ia menggambarkan
rambu-rambu jalan menuju Allah, kejujuran dan ketulusan niat menempuh
perjalanan spiritual, serta keharusan melepaskan diri dari segala sesuatu
selain Allah. Maka, sampai pada satu kesimpulan, bahwa jika perjalanan hijrah
menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang
menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi'raj
menjadi "puncak" perjalanan seorang hamba menuju kesempurnaan ruhani.
[*]
*) Penikmat Buku dan peneliti Pada
Centre for Studies of Religion and State (CSRS) Yogyakarta.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar