Judul: Kisah Para Diktator; Biografi Para Penguasa Fasis,
Komunis,
Despotis dan Tiran
Judul Asli: The Dictators, Fascists, Communists, Despots
and
Tyrants—The Biographies of
“The Great
Dictators” of The Modern World.
Penulis: Jules Archer Penerjemah: Dimyati AS Cetakan ke-10, Agustus 2005 Penerbit Narasi, Yogyakarta Tebal: iv + 195 hlm |
Diktator
banyak dibenci orang, meski awalnya ia diharapkan sebagai penyelamat. Bagaimana
bisa? Jawabnya sederhana: karena kita manusia. Itu saja. Tapi, seperti apa
kediktatoran itu? Siapa saja yang bisa kita cap sebagai seorang diktator?
Bagaimana kita dapat mengenal tanda-tanda ke arah kediktatoran pada sebuah
pemerintahan?
Terbit
pertama kali pada tahun 1967, THE DICTATORS bercerita tentang para diktator
modern yang pernah dikenal dunia sampai saat itu. Jules Archer, penulisnya,
secara garis besar membagi buku itu ke dalam tiga bagian. Bagian pertama
mengenai pengertian dan tanda-tanda umum kediktatoran yang pernah muncul sampai
saat itu. Bagian kedua mengenai kisah-kisah para diktator modern di abad XX
kemarin. Bagian ketiga mengenai “usaha” menanggulangi munculnya
kediktatoran--semacam kesimpulan dari buku dari yang ditulisnya itu.
Diktator
sendiri berasal dari satu kata dalam bahasa Latin, DICTARE, yang artinya
berkata, bersabda. Oleh Jules Archer, diktator diartikan sebagai seorang
penguasa yang mencari dan mendapatkan kekuasaan mutlak pemerintahan tanpa
(biasanya) memperhatikan keinginan-keinginan nyata rakyatnya (hal. 13). Kekuasaan
mutlak itu dapat diperolehnya baik dengan jalan sah (misalnya lewat pemilihan
umum) ataupun tak-sah (misalnya kudeta). Dengan begitu, seorang diktator bukan
melulu pribadi rusak, kejam, tak bermoral. Ada diktator yang taat agama. Ada
pula yang bersahaja. Ada yang ilmuwan universitas.
Kemunculannya
seringkali dengan memanfaatkan masa-masa ketidakpuasan dan pertentangan
penduduk sipil. Bila telah mendapatkan dan mengurat-akarkan kekuasaannya,
seorang diktator biasanya akan terang-terangan memakai teror untuk
menyingkirkan usaha-usaha menggulingkannya. Selain cara itu, seorang diktator
juga memakai “taktik pecah-belah dan lumpuhkan.” Akibatnya, gaya
pemerintahannya adalah pemerintahan-terpusat dan -kuat yang memperlemah
pemerintahan-pemerintahan lokal.
Popularitas
adalah hal penting bagi seorang diktator. Sewajarnya bila ia sering meneriakkan
perang pada negara lain atau mempengaruhi rakyat agar menentang
kekuatan-kekuatan besar dunia. Dengan begitu, popularitasnya di mata rakyat
naik--semua perhatian hanya tertuju pada musuh bersama itu. Adapun dirinya dan
kekuasaannya terlupakan oleh rakyat banyak yang sedang terbius. Lagipula,
mereka sebagai sebuah bangsa, olehnya, telah dijadikan masyarakat yang
tertutup. Hal ini dilakukan dengan pengendalian ketat suratkabar-suratkabar,
radio, televisi, film, pemikiran-pemikiran, dan menggunakan semua itu untuk
propaganda.
Bangsa
yang terbiasa dengan penjajahan, seringkali menerima kediktatoran dengan masa
bodoh. Bahkan sering seorang diktator dianggap sebagai pahlawan pada mulanya.
Karena terbiasa taat dengan penindasan, mereka memilih bersikap bungkam sambil
berharap pada pemerintah yang mengontrol hidup mereka. Mereka terima sebagai
hal yang normal jika satu tokoh-kuat tetap pada kekuasaannya, sampai pada saat
digulingkan lagi oleh sosok yang lebih kuat.
Sebaliknya,
seorang diktator jarang muncul berkuasa pada bangsa yang distabilkan oleh kelas
menengah terdidik, kuat, dan mampu berbuat; di mana ada peluang bagi si miskin
untuk meningkatkan ekonominya melalui bantuan pemerintah, pendidikan, latihan,
perkawinan atau karena keberuntungan. Kekuasaan, bagi mereka, tak-boleh
terpusat pada satu tangan saja. Tapi mesti didistribusikan.
Dalam
sejarah, diktator pertama yang dikenal dunia adalah Sulla yang mencapai puncak
pemerintahannya itu tahun 82—79 S.M. Adapun diktator pertama yang sesungguhnya
dalam pengertian modern adalah Julius Caesar. Pada abad XX kemarin, dikenal
model-model diktator di berbagai belahan dunia.
Ada
Vladimir Ilyich Lenin, Joseph Stalin, dan Nikita Kruschev di Uni Soviet. Ada
Bennito Mussolini di Italia dan Adolf Hitler di Jerman. Ada pula Antonio de
Oliveira Salazar di Portugal dan Fransisco Franco di Spanyol. Dan tak lupa:
Mustafa Kemal Ataturk di Turki. Mereka adalah tokoh-tokoh diktator di benua Eropa.
Di
benua Asia dan Afrika, dikenal pula beberapa diktator. Ada Chiang Kai-Shek dan
Mao Tse Tung di Cina. Ada pula Soekarno (!) di Indonesia. Ada Gamal Abdul
Nasser di Mesir.
Di
benua Amerika, bagian benua yang paling sering “dihuni” rezim diktator adalah
Amerika Tengah. Ada Rafael Trujillo di Republik Dominika. Ada Fulgecio Batista
dan Fidel Castro di Kuba. Ada Francois Duvalier. Bagaimana dengan Amerika
Serikat? Tahun 1934, pernah muncul gerakan untuk mengubah Amerika Serikat
menjadi negara diktator dengan Jenderal Marinir Smedley Butler sebagai
pemimpinnya (hal. 193). Kebetulan saat itu, pengangguran dan kelaparan ada di
mana-mana; depresi ekonomi sedang terjadi, dan sayangnya pemerintah tak bisa
menanganinya. Tapi gerakan itu berhasil digagalkan.
Kisah
para diktator itu, setidaknya, hanya sampai tahun 1967 ketika THE DICTATORS
terbit pertama kali. Bukan sampai hari ini, sayangnya, di mana
diktator-diktator baru bertambah banyak di Asia dan Afrika. Jangan berharap
menemukan Soeharto kecuali sebagai seorang tokoh yang banyak andilnya dalam
menggulingkan Soekarno--diktator Indonesia itu.
Namun
yang mesti dicermati sampai hari ini, ketika kediktatoran jadi kenyataan, kata
Victor Hugo, maka revolusi menjadi kebenaran. Menerima revolusi sebagai jalan
perubahan sama artinya menerima perubahan total yang nyaris berdarah-darah.
Sedang kita mungkin masih ingat, perubahan total yang nyaris berdarah-darah itu
bukan seperti jamuan makan malam, di mana sejenak setelahnya kita bisa tidur
damai, tenang, melupakan banyak urusan.
Bagi
yang mau tahu tentang kediktatoran pada abad XX (sampai tahun 1967), buku ini
adalah karya-klasik-patut-baca.[*]
--Rimbun
Natamarga
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar