Judul
Buku: Kisruh Peraturan Daerah:
Mengurai Masalah dan
Solusinya
Penulis: R. Siti Zuhro, Lilis Mulyani dan Fitria Penyunting: R. Siti Zuhro dan Eko Prasojo Penerbit: Ombak, Jogyakarta dan The Habibie Center Cetakan : I, Juli 2010 Tebal: x + 122 halaman
Peresensi:
Achmad Maulani*)
|
Baru-baru ini
Kementerian Dalam Negeri merekomendasikan pembatalan sejumlah peraturan daerah
(perda) yang dianggap bermasalah. Tak tanggung-tanggung, perda yang
direkomendasikan untuk dibatalkan mencapai 1.000 perda. Jumlah tersebut lebih
banyak daripada tahun lalu, sekitar 800 perda. Sebelumnya, selama 1999-2006, di
antara 5.054 perda yang diterima Kementerian Dalam Negeri, 930 perda
bermasalah.
Tumpulnya nalar
politik. Itulah kira-kira gagasan yang ingin disampaikan buku ini di tengah
kekisruhan beragam perda bermasalah yang sering dinilai merugikan masyarakat.
Beberapa pertanyaan mendasar yang bernada gugatan coba dimunculkan buku ini
untuk memastikan bahwa otonomi daerah yang sedang berjalan memang tidak melenceng
dan mengalami defisit dalam pemaknaannya.
Tim peneliti dari
The Habibie Center yang menulis buku ini memulai dengan pertanyaan-pertanyaan
substansial: mengapa begitu banyak muncul perda bermasalah? Apakah perda-perda
yang dilahirkan sebuah daerah semata-mata hanya digunakan untuk menggenjot
pendapatan asli daerah (PAD) tanpa melihat aspek lain? Tidakkah disadari bahwa
sebuah perda bukan hanya sebagai katalisator ekonomi, tetapi juga sebagai
”alat” untuk mengatur masyarakat?
Buku yang merupakan
penelitian di wilayah Jabodetabek ini menjelaskan bahwa dalam konteks otonomi
daerah, daerah memang dituntut memeras otak bagaimana meningkatkan jumlah
PAD-nya. Nah, salah satu instrumen yang biasanya digunakan untuk memaksimalkan
pendapatan daerah adalah melalui pajak dan retribusi. Namun, itu tidak berarti
daerah diperbolehkan ”menghalalkan” segala cara untuk mencapai tujuannya,
tetapi pada saat bersamaan justru melanggar undang-undang di atasnya serta
melanggar hak-hak asasi warganya.
Uraian dalam buku
ini ingin memberikan gambaran yang proporsional bahwa perda memang merupakan
pilar utama yang memayungi realisasi otonomi daerah. Sebagaimana halnya
undang-undang, perda memiliki karakteristik yang bersifat mengatur, khususnya
mengatur relasi antara pemerintah daerah, masyarakat lokal, serta stakeholders
lokal seperti dunia usaha.
Pada titik itulah
sebenarnya keberadaan sebuah perda tentu tidak hanya mengatur hal-hal yang
menyangkut kehidupan politik, sosial, dan budaya masyarakat, tetapi juga
ekonomi daerah. Karena itu, perda akhirnya menjadi instrumen penting dalam
meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan daerah.
Hasil penelitian
yang dikomandani beberapa peneliti senior dari LIPI seperti Siti Zuhro dan guru
besar UI Eko Prasojo ini menemukan beberapa temuan menarik terkait dengan
tumbuh suburnya perda-perda bermasalah. Di antaranya, ada pemahaman yang belum
sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (pemda) mengenai
desentralisasi dan otonomi daerah. Akibatnya, peraturan-peraturan yang dibuat
pemda acapkali dinilai tidak sinkron dan melanggar peraturan di atasnya.
Bahkan, tak jarang
daerah memaknai kebijakan otonomi sebagai suatu semangat membangun daerah di
satu sisi, namun pada saat bersamaan juga ingin melepaskan diri dari sistem
sentralistik yang akhirnya melahirkan euforia otonomi daerah.
Selain itu, menurut
para peneliti dalam buku ini, kewenangan yang diberikan pemerintah kepada pemda
untuk mengatur daerahnya sendiri sering hanya dianggap sebagai peluang
meningkatkan perekonomian daerah. Dampaknya, tak sedikit daerah yang ingin
mengelola dan memaksimalkan potensi ekonomi yang dimilikinya dengan jalan
”nekat” mengeluarkan perda bermasalah.
Buku ini mencoba
memberikan ilustrasi sederhana. Saat ini banyak kecenderungan perda dibuat
untuk mencapai tujuan yang sempit dan jangka pendek. Banyak perda terkait
dengan pajak dan retribusi yang dibuat oleh daerah cenderung memperburuk iklim
investasi karena tidak ramah terhadap investasi dan mencitakan ekonomi biaya
tinggi.
Hasil evaluasi yang
dilakukan Komisi Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukkan
bahwa di antara 1.379 perda yang mengatur ketentuan pajak dan retribusi, 31
persen menghambat atau merusak iklim investasi di daerah. Hal tersebut
disebabkan keinginan daerah untuk segera meningkatkan PAD-nya dengan cara
menerapkan berbagai pungutan yang selama ini hanya berkisar 10-30 persen dari
APBD yang disetujui.
Hasil riset yang
dituangkan dalam buku ini menunjukkan adanya beberapa faktor yang mengakibatkan
perda dinilai bermasalah. Pertama, kurang fleksibelnya aturan hukum yang
mendukung pembentukan perda. Kedua, pembuatan perda seolah menjadi sebuah
rutinitas pekerjaan saja, tanpa ada upaya lebih khusus untuk menciptakan aturan
daerah yang berkualitas.
Ketiga, pelaksana
pembentuk peraturan daerah (biro hukum dan perundang-undangan) dalam membentuk
perda sering tidak didasarkan pada skala prioritas isu yang berkembang di
masyarakat. Yang terjadi bahkan lebih banyak negosiasi antara DPRD dan pemda
tentang isu mana yang menjadi bahasan raperda. Keempat, pembentukan perda masih
kurang melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Mencermati hal-hal
di atas, buku ini merekomendasikan bahwa guna mencegah lahirya perda bermasalah
dan tidak bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, tampaknya menjadi
urgen melakukan pemberdayaan pemerintahan daerah melalui peningkatan kapasitas
pembentukan peraturan daerah.
Langkah konkret
yang ditawarkankan adalah meningkatkan kapasitas teknis pemerintah daerah dalam
memahami materi kewenangan yang dimilikinya (rationae materie), wilayah
wewenangnya (rationae locus), tenggang waktu kewenangannya (rationae temporis),
serta prosedur pembentukannya. Dengan begitu, di masa depan kesalahan dalam
pembentukan perda bisa diminimalkan.
Guna menembus
kebuntuan dalam menyelesaikan banyaknya perda bermasalah, buku ini di akhir
bagian megusulkan agar pemerintah menggunakan asas preventif dan represif.
Artinya, perda yang terkait dengan kepentingan umum dan dampak dari kesalahan
perda langsung dirasakan masyarakat, maka asas preventif bisa diberlakukan.
Kehadiran buku ini,
saya kira, punya nilai strategis dalam rangka mereformasi birokrasi. Maka,
sekali lagi, spirit utama yang ingin dikemukakan buku ini bahwa kekisruhan
dalam munculnya perda bermasalah adalah potret tumpulnya nalar politik
kekuasaan dalam melayani rakyatnya.[*]
*) Peneliti ekonomi
politik pada Pusat Studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada
Sumber:
JawaPos, 29 Agustus
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar