Judul
Buku: Kompensasi
Penulis: A. Mustofa Bisri Penerbit: Mata Air Publishing Cetakan: Februari 2008 Tebal: x+ 312 halaman Peresensi: Ahmad Shiddiq Rokib*) |
Dalam
motto buku ini tertulis, “Mungkin akan jumpai empat macam orang; orang tahu dan
tahu bahwa dia tahu, bertanyalah kepadanya; Orang yang tahu dan tidak tahu
bahwa dia tahu, ingatkanlah dia; Orang yang tidak tahu dan tahu bahwa dia tidak
tahu, ajarilah dia; orang yang tidak tahu dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu,
tinggalkanlah dia”. Bisa dikata mencerminkan kegelisan KH Mustofa Bisri
atau Gus Mus pada realitas sosial.
Betapa
tidak, di tengah tertapaan sosial, politik, dan himpitan ekonomi, rakyat
Indonesia makin tak berdaya. Rakyat mengalami goncangan psikologis, dan
penguasa tidak peka pada keadaaan yang sedimikian berat tersebut. Ada banyak
kebijakan tidak pro-rakyat dan wakil rakyat masih jauh yang diharapkan.
Buku
Kompensasi, kumpulan tulisan Gus Mus ini menjadi kompensasi tersendiri bagi
rakyat Indonesia. Meski istilah kompensasi menjadi popular bersamaan dengan
kebijakan yang tidak populer dengan naiknya harga bahan bakar minyak (BBM),
pengertiannya tidak sesempit itu, di samping sebagai obat terapi bagi penguasa
yang sering kali kebijakannya terjebak realitas politik.
Membaca
buku ini, bisa diterka dengan ibrah motto di atas; ada tipe orang yang tahu
bahwa dia tahu, bertanyalah. Bisa kita maknai, Gus Mus sendiri dalam berdakwah
sering dimintai pendapatnya tentang perkara sehari-hari, baik rakyat, penguasa
dan ulama sendiri. Tapi sang empunya tetap menempatkan diri pada porsi sangat
sederhana, dan tidak memanfaatkan kehormatan yang didapatkan untuk
mencari keuntungan di balik kebutuhan orang yang membutuhkan dengan diam seribu
bahasa bukan berarti tidak peka melihat realitas atas kedzaliman yang
merajalela.
Menjadi
bukti bahwa Gus Mus patut menjadi rujukan bertanya bisa dilihat pada kumpulan
tulisan ini. Ia banyak menyampaikan lewat media, dia tidak segan-segan untuk
sekedar mengeritik penguasa yang lalim atau menjadi mitra berbagi kesedihan rakyat
dengan tulisannya. Hal ini, mungkin dipengaruhi jiwanya yang selalu teduh, luas
akan penghayatan ilmu dan jiwa kebudayaannya yang terpatri dalam hati
melengkapi kepribadiannya yang santun.
Selanjutnya
tafsiran, orang tahu dan tidak tahu bahwa dia tahu, bisa berarti
pemerintahdan-wakil rakyat kita sudah tahu nasib rakyat yang selalu tertindas
dari kebijakan tapi tidak mau tahu. Dan, ini bisa kita lihat tulisan berjudul
kompensasi dan bagaimana geramnya Gus Mus terhadap kebijakan tadi. “Pemerintah
eksekutif dan legislatif rupanya belajar dari kenaikan BBM sebelumnya yang
tidak diikuti program antikemiskinan yang efektif dan ternyata berdampak sangat
luas di masyarakat. Beban rakyat makin terus meningkat karena kenaikan harga
pokok. Kalau pun belajar, tapi tidak sampai memikirkan dampak dari kebijakan
tadi, baik mental maupun fisik, seperti budaya bergantung dengan menjadikan
rakyat malas bekerja dan terjadi keroyokan antarpenerima. (halaman 36)
Orang
yang ketiga ini, bisa kita maksudkan pada rakyat Indonesia yang memang dia
betul tidak tahu tentang apa dan bagaimana menjadi bangsa dan menjadi manusia
seutuhnya. Tentunya karena dia menyadari bahwa dia tidak tahu. Sebagai orang
terdidik jangan selalu membodohi tapi sebaliknya bagaimana kita memberikan pendidikan,
pengertian, dan menyadarkan bahwa dia manusia yang patut menjadi mendapatkan
hak-hak sebagimana mestinya.
Terakhir,
menjadi repot jika ada orang tidak dan tidak tahu bahwa dia tidak tahu,
bagaimana bisa? Ya bisalah! Kalau rakyat, penguasa/pemerintah, ulama pura-pura
tidak tahu apa yang akan diperbuat untuk bangsa dan kebaikan bersama, meskipun
hanya untuk diri sendiri. Orang seperti ini digambarkan Gus Mus dalam tulisan
berjudul Fenomena Ada Orang Berkepala Dua, Tikus Berkolusi dengan Kucing dan sebagainya.
Sungguh betul-betul tidak tahu apa yang akan diperbuat dirinya sendiri.
Dari
macam-macam orang-orang di atas, tentu kita berpikir akan menjadi orang seperti
apa kita ini, termasuk orang tahu dan tahu bahwa kita tahu, atau pilihan yang
kedua, orang tahu dan tidak tahu bahwa kita tidak tahu atau lebih tepat
pura-pura tidak tahu. Kalau pun kita berada termasuk orang yang ketiga juga
tidak apa-apa. Karena orang tidak tahu dan tahu bahwa kita tahu, masih ada
orang mengingatkan. Tapi, menjadi orang keempat ini, menjadi sangat naif sudah
tidak tahu dan tidak bahwa dia tidak tahu, juga tidak orang mau untuk
sekedar mengingatkan kita, karena orang tahu bahwa kita tidak ada gunanya.
Di
sinilah, pentingnya membaca buku ini. Untuk sekedar tahu bagaimana macam orang
bersentuhan dengan, baik ulama, rakyat, bahkan gaya kepemimpinan penguasa.
Patut menjadi pelengkap referensi kita dalam menatap masa depan yang lebih
baik. Kalau pun ada kekurangan dalam buku ini, pada sumber tulisan yang dimuat
atau disampaikan pada kegiatan apa? Tapi tidak memengaruhi subtansi
penyampaikan ide-ide segar Pengasuh Pondok Pesantren Raudhotul Tholibin
sekaligus budayawan NU ini. Karena jarang orang seperti Gus Mus, yang berani
mengungkap isi hati tanpa ada yang tersinggung. Menariknya, buku ini ditulis
dengan khasnya.
Buku
ini menjadi kompensasi tersendiri bagi Gus Mus, rakyat Indonesia dan
wakil–pemerintah Indonesia. Sekaligus kado bagi bangsa mengalami degradasi di
era transisi.[*]
*)
Santri Pesantren Luhur Husna dan aktif di Pena Pesantren
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar