Judul:
Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad:
Garda Depan Menegakkan Indonesia
(1945-1949)
Penulis: Zainul Milal Bizawie Penerbit: Pustaka Compass, Tangerang Tahun: Cetakan I, Januari 2014 Tebal: xxxii + 420 halaman Peresensi: Fathoni*) |
Peran sentral
ulama-santri pada masa revolusi kemerdekaan telah terpinggirkan dalam penulisan
sejarah ‘resmi’ negara. Itulah pernyataan Dr. KH. A. Hasyim Muzadi dalam endorsement-nya di buku
ini. Tidak mudah mendapatkan ‘rasa’ sejarah ketika menelusuri episode sejarah
yang hampir satu abad nyaris terpinggirkan atau lebih tepatnya dipinggirkan.
Memang susah ditemukan peran ulama atau santri dalam perjuangan kemerdekaan
Indonesia, bahkan dalam buku sejarah nasional yang dipelajari selama 12 tahun
di bangku sekolah.
Sangat ironis
ketika faktanya ulama seperti KH. M. Hasyim Asy’ari dan santrinya yang tidak
lain adalah anaknya sendiri KH. A. Wahid Hasyim adalah pahlawan nasional dalam
pergerakan kemerdekaan Indonesia dan membangun Dasar Negara.
Buku ini, Laskar Ulama-Santri dan Resolusi
Jihad: Garda Depan Menegakkan Indonesia (1945-1949) yang ditulis
oleh Zainul Milal Bizawie ingin menunjukkan bahwa sejarah seharusnya mengkaji
dengan jernih adanya kepentingan politik yang terdapat dalam relasi kuasa (power relation), atau
yang dikenal dengan politik pengetahuan (politic
of knowledge). Dengan kata lain, perlunya kesadaran akan
saling berkelindannya atau berjalan seiring antara penulisan sejarah dengan
kekuasaan.
Dalam Muqaddimah-nya, Ibnu
Khaldun juga mengkritik penulisan historiografi sejarah yang tidak sesuai
dengan fakta seseorang. Yaitu ketika Khalifah Harun ar-Rasyid dalam sejarah
ditulis sebagai seorang yang suka madat
dan madon,
karena faktanya sang Khalifah adalah seorang yang pemberani, cerdas, dan
bijaksana. Mana mungkin sejarah Harun ar-Rasyid ditulis seperti itu jika tidak
ada faktor politik kekuasaan.
Milal yang juga
seorang santri menyadari bahwa jika santri sendiri yang tidak menulis sendiri
sejarahnya, siapa yang akan menulis. Karenanya, buku ini mencoba memaparkan
suatu plot cerita kiprah ulama-santri yang secara tidak disadari mengungkap
rangkaian fakta-fakta yang telah membangun sebuah episteme yang secara ilmiah dapat
dipertanggungjawabkan.
Bagian pertama buku ini
mengungkapkan kajian mistifikasi yang dibangun secara simbolik sebagai dasar
perjuangan ulama-santri. Bagi santri dan masyarakat, seorang ulama atau Kyai
dianggap sebagai pengawal agama dan penunjuk jalan kebaikan. Posisi ulama atau
Kyai sangat penting menjadi symbol perlawanan atau perjuangan. Kemampuannya dan
kesaktiannya yang luar biasa akan memperteguh daya kohesi dan motivasi bagi
santri dan masyarakat untuk memposisikan ulama sebagai panutan (hal.17).
Bagian kedua buku ini
mengungkapkan perlawanan ulama dan santri sejak Syekh Yusuf al-Makassari hingga
turun-temurun membentuk jaringan perlawanan ulama kepada Syekh Hasyim Asy’ari
dan Kyai Wahab Chasbullah (Pendiri NU) yang tak pernah padam meski kolonial
Belanda telah semakin berkuasa. Bahkan karena tindakan kolonial Belanda yang
terus menindas dan mengganggu tegaknya agama Islam, ulama-santri tidak pernah
padam melakukan perlawanan terhadap kolonial sehingga meledakkan perang besar,
yaitu Perang Jawa Diponegoro sebelum era Mbah Hasyim Asy’ari.
Bagian ketiga buku ini
memaparkan lebih jauh pergerakan ulama-santri melawan kolonial Belanda dengan
politik etisnya yang membuat kalangan pesantren begitu terpinggirkan. Datangnya
Jepang yang memposisikan diri sebagai saudara tua menghadirkan penjajahan baru
yang tak kalah kejamnya hingga akhirnya ulama-santri membentuk laskar
Hizbullah.
Terbentuknya
Hizbullah awalnya keinginan Jepang merangkul umat Islam seluruh Indonesia untuk
dilatih militer dan dikirim ke Jepang bergabung dengan Heiho melawan tentara
sekutu, namun dengan gagasan brilian KH. Hasyim Asy’ari laskar santri tersebut
terpisah dengan Heiho dan membentuk barisan tersendiri yaitu Laskar Hizbullah.
Laskar ini dibentuk Mbah Hasyim untuk mempersiapkan kemerdekaan RI sekaligus
mempertahankannya.
Perjuangan Mbah
Hasyim tidak berhenti sampai di situ, bagian keempat
buku ini menjelaskan secara detail gagasan KH. Hasyim Asy’ari dalam mencetuskan
fatwa Resolusi Jihad dimana fatwa tersebut mampu menggerakan Pemerintah RI dan
seluruh bangsa Indonesia khususnya yang beragama Islam untuk bersama-sama
melawan tentara Sekutu yang diboncengi NICA Belanda.
Laskar Hizbullah,
Fisabilillah, dan seluruh rakyat Indonesia berbekal fatwa jihad Mbah Hasyim
yang diteguhkan Resolusi Jihad, pantang mundur menolak kedatangan kolonial.
Resolusi Jihad tersebut menyeru seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam
untuk membela NKRI. Pertempuran 10 November 1945 meletus, laskar ulama-santri
dari berbagai daerah berada di garda depan pertempuran. Perjuangan laskar
ulama-santri terjadi di berbagai daerah terpompa semangat Resolusi Jihad Mbah
Hasyim Asy’ari.
Pada bagian kelima menjelaskan bahwa
perjuangan ulama-santri berlanjut dalam pertempuran melawan penjajah bahkan
eskalasinya semakin keras diiringi dengan berbagai strategi diplomasi. Karena
yang diusung oleh para ulama adalah politik kebangsaan, maka laskar Hizbullah
tidak mempermasalahkan kebijakan-kebijakan Negara terkait dengan tentara
Negara. Bahkan para ulama tetap menjaga semangat juang dengan meneguhkan
kembali resolusi jihad jilid II. Meskipun perjanjian Linggarjati dan Renville
telah merugikan, namun semangat juang ulama-santri tetap berkobar.
Bagian keenam yang merupakan
bagian terakhir buku ini mengupas tentang ulama pesantren dan bambu runcing.
Kisah tentang karomah dan kehebatan para Kyai serta kehebatan bambu runcing
yang telah mendapatkan doa dari para Kyai. Kisah-kisah yang menurut sejarawan
barat tidak rasional tapi telah menjadi realitas sejarah Nusantara pada
umumnya. Sebut saja sejarawan Prancis, Voltaire (w. 1778) dengan teori
progresifnya bahwa sebuah peristiwa sejarah haruslah bersifat positivistik,
rasional, dan dapat dinalar. Oleh sebab itu, teori progresif Voltaire tidak
bisa digunakan untuk membaca sejarah Nusantara.
Dari bagian pertama
hingga keenam, nampak bahwa ulama-santrilah yang mampu secara konsisten
mengadakan perlawanan terhadap kolonial. Dengan kata lain, ulama dan pesantren
menjadi simbol perlawanan kolonial. Oleh karena itu, dapat dipastikan bahwa
satu-satunya elemen bangsa yang tidak pernah terjajah oleh kolonial adalah
ulama-santri dan pesantren, bahkan menjadi garda depan dalam menumpas
kolonialisme.
Buku ini menjadi
bacaan ‘wajib’ bangsa Indonesia agar sejarah yang sesungguhnya dapat dibaca
secara komprehensif, tidak anakronistik (sepenggal-penggal) sehingga
memperteguh serta mengokohkan jati diri dan martabat bangsa Indonesia.[*]
*) Mahasiswa
Pascasarjana STAINU Jakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar