Sabtu, 22 Maret 2014

Laskar Pelangi -- (resensi 2)

Judul: Laskar Pelangi
Penerbit: Bentang Yogyakarta
Cetakan I, September 2005
Tebal: xv + 529 hal.


Saya dulu sekolah di salah satu SD Muhammadiyah yang ada di kota Palembang. Di sekolah itu, selain pelajaran-pelajaran umum, ada juga beberapa pelajaran tambahan, yang waktu itu disebut sebagai “muatan lokal.” Di antaranya, Kemuhammadiyahan. Di dalamnya, saya diajarkan tentang arti dan tujuan dari pendidikan yang diinginkan oleh Muhammadiyah. Sepintas kedengaran seperti indoktrinasi. Tapi, sebenarnya bukan, dan kami—agaknya—masih menyenanginya ketimbang pelajaran Pendidikan Moral Pancasila. Seperti Ikal dan kawan-kawan.
Ikal bersekolah di SD Muhammadiyah Belitung (disebut juga Belitong). Berbeda dengan saya yang di ibukota Propinsi Sumatera Selatan (waktu itu Belitung masih satu propinsi dengan Palembang), kondisi sekolahnya menyedihkan. Bangunan sekolah sudah doyong-hampir-roboh. Tak ada alat-alat bantu pendidikan seperti tabel-tabel perkalian. Gambar burung garuda pun tak punya, malah.
Sebagai sesama murid SD Muhammadiyah, rasanya kami sadar sekali kedudukan sekolah kami dibanding di antara sekolah-sekolah yang lain. Biasanya, baik di Palembang maupun di Belitung, predikat sebagai sekolah favorit dipegang oleh sekolah-sekolah swasta yang didukung penuh biayanya oleh institusi tertentu. Di Palembang waktu itu, sekolah favorit jelas SD Xaverius I, II, III, dan IV yang didukung oleh Yayasan Xaverius. Adapun di Belitung, sekolah favorit jelas SD PN Timah yang didukung penuh biayanya oleh Perusahaan Negara (PN) Timah. Meski didukung oleh Muhammadiyah, sekolah kami selalu serba kekurangan dan ini merupakan pengecualian. Satu-satunya yang patut dibanggakan adalah cita-cita mulia dibalik pengadaan sekolah-sekolah.
Bagaimana dengan sekolah-sekolah negeri? Sekolah-sekolah negeri jelas disubsidi oleh pemerintah. Meskipun begitu, kualitas pendidikan dan fasilitas sekolah-sekolah negeri terlihat kurang. Selain gaji guru yang kecil, para calon guru lebih memilih melamar di sekolah-sekolah swasta tadi. Di sana, selain gaji besar, profesi sebagai guru benar-benar dihargai. Bukan bermaksud mengadili, tapi begitulah keadaannya saat itu.
Ikal rasanya beruntung sekali. Sekelas ia hanya berjumlah 10 orang. Meskipun jumlah guru di sekolahnya sedikit, jumlah murid yang sedikit itu menjadikan ikatan batin antara guru dengan murid lebih erat. Guru di sana berfungsi bukan hanya sebagai seorang pengajar, tapi juga sebagai seorang sahabat, seorang mitra, yang menemani para murid berjalan dalam dunia mereka.
Guru-guru Ikal akan memberi jawab atas pertanyaan para murid bukan sebagai seorang dewasa yang serba tahu, tapi sebagai seorang manusia yang sama-sama belajar. Dengan begitu, apa yang terbaik bagi para murid tidak melulu ditentukan oleh para guru. Para murid berhak memilih dan memutuskan, bukan atas paksaan para guru. Tentu saja, bimbingan para guru juga perlu di sini. Misal saja, waktu akan diadakan acara karnaval 17 Agustus antar sekolah di Belitung. Bagaimana bentuk dan isi pertunjukan yang akan dibawakan dalam acara karnaval itu, Ikal dan kawan-kawanlah yang menentukan dan merancangnya.
Berbeda dengan saya dan teman-teman di Palembang. Di sekolah kami, karena ingin mengejar target yang ditetapkan, para murid hanya menerima pilihan yang ada. Memang, kami pun diberi kesempatan untuk memilih. Tapi, untuk memilih itu pun kami segan. Sebab sejak pertama kali kami sekolah, kami ditanamkan bahwa pilihan para gurulah yang benar. Sebab para guru adalah orang-orang dewasa yang serba tahu, berbeda dengan kami yang masih anak-anak, yang belum tahu apa-apa.
Selain itu, karena jumlah kami terbilang banyak (sekitar 25-30 orang), sedangkan jumlah guru sedikit, maka seorang guru mesti memegang tanggung-jawab atas sejumlah itu. Sudah tentu, dengan jumlah itu, prioritas paling utama adalah bagaimana semua murid itu naik kelas, nilai-nilai memuaskan. Toh, bersekolah tak-lebih dan tak bukan agar dapat meneruskan ke jenjang pendidikan di atasnya. Setelah itu, cari kerja dengan penghasilan yang lumayan.
Apa yang kami pelajari adalah apa yang sudah tertera dalam buku. Sedang menurut buku-buku yang kami punyai itu, yang benar itu hanya satu. Tak ada kemungkinan-kemungkinan di luar itu. Sebenarnya, kalau mau jujur, kemungkinan-kemungkinan yang dimaksud itu ada, memang. Tapi, kemungkinan-kemungkinan itu baru dipelajari nanti ketika sudah SMP atau SMA atau ketika sudah di perguruan tinggi. Jatah bagi kami, ya, seperti apa yang ada dalam buku-buku kami itu.
Padahal, kami iri sekali dengan Ikal dan teman-teman. Mereka di sana, meski serba kurang, mereka tak dikekang naluri ingin tahu mereka. Ibu guru mereka, Bu Mus, membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkembang. Akibatnya, apa yang mereka pelajari bukan semata apa yang diberi di dalam kelas. Mereka belajar banyak dari kehidupan di luar sekolah. Apa yang didapati, sekiranya membingungkan, baru ditanyakan pada Bu Mus di kelas. Dan beliau tak segan-segan untuk menjelaskannya.
Lintang, salah satu teman Ikal, bahkan karena ingin tahunya, sering membaca buku-buku Pak Harfan, bapak kepala sekolah, ketika sedang membersihkan ruangannya. Pak Harfan jelas tahu akan kelakuan muridnya ini. Tapi beliau membiarkannya, mungkin sekaligus bangga. Hasilnya, Lintang dalam usia belia sudah memahami pokok-pokok pelajaran ilmu pasti yang sedianya diberikan di tingkat SMP dan SMA. Tak masuk di akal, memang. Tapi begitulah adanya.
Mereka sejak hari pertama bersekolah telah ditanamkan oleh kepala sekolah sebuah prinsip, bahwa “hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya.” Berbedalah dengan kami yang hari-hari pertama itu diisi dengan pernyataan bahwa “lusa nanti jangan lupa bawa uang Rp. 300, 00 untuk beli kertas huruf-hurufan agar kalian bisa cepat membaca...”
Hari ini, setelah kami sama-sama dewasa, sudah rahasia umum bahwa pendidikan-dasar di Indonesia amat menyedihkan. Naluri ingin tahu, naluri ekplorasi para murid dipasung begitu saja pada usia dini. Akibatnya, sampai dewasa yang ada hanya menerima apa yang sudah jadi.
Gejala ini ternyata bukan semata-mata penilaian kami pribadi. Y.B. Mangunwijaya jauh-jauh hari telah mengingatkan akan hal ini. Menurutnya, pendidikan menengah dan tinggi boleh saja brengsek mutunya asalkan pendidikan dasar, pendidikan yang diberikan di sekolah-sekolah dasar baik dan tak memasung daya eksplorasi si murid. Apa yang diberikan pada usia dini itulah modal penting bagi seorang anak untuk menjalani hidup selanjutnya.
Ikal dan teman-teman beruntung mendapat pendidikan bermutu dari guru-guru mereka. Mendengar ceritanya, saya jelas iri. Cara mendidik guru-guru mereka menyadarkan saya akan ruang baru yang sering tak disentuh oleh banyak guru selama ini. Kedekatan, ikatan batin yang dibangun antara guru dengan murid—itu kuncinya.[*]

--Rimbun Natamarga

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar