Judul: Laskar Pelangi
Penerbit: Bentang Yogyakarta Cetakan I, September 2005 Tebal: xv + 529 hal. |
Saya
dulu sekolah di salah satu SD Muhammadiyah yang ada di kota Palembang. Di
sekolah itu, selain pelajaran-pelajaran umum, ada juga beberapa pelajaran tambahan,
yang waktu itu disebut sebagai “muatan lokal.” Di antaranya, Kemuhammadiyahan.
Di dalamnya, saya diajarkan tentang arti dan tujuan dari pendidikan yang
diinginkan oleh Muhammadiyah. Sepintas kedengaran seperti indoktrinasi. Tapi,
sebenarnya bukan, dan kami—agaknya—masih menyenanginya ketimbang pelajaran
Pendidikan Moral Pancasila. Seperti Ikal dan kawan-kawan.
Ikal
bersekolah di SD Muhammadiyah Belitung (disebut juga Belitong). Berbeda dengan
saya yang di ibukota Propinsi Sumatera Selatan (waktu itu Belitung masih satu
propinsi dengan Palembang), kondisi sekolahnya menyedihkan. Bangunan sekolah
sudah doyong-hampir-roboh. Tak ada alat-alat bantu pendidikan seperti
tabel-tabel perkalian. Gambar burung garuda pun tak punya, malah.
Sebagai
sesama murid SD Muhammadiyah, rasanya kami sadar sekali kedudukan sekolah kami
dibanding di antara sekolah-sekolah yang lain. Biasanya, baik di Palembang
maupun di Belitung, predikat sebagai sekolah favorit dipegang oleh
sekolah-sekolah swasta yang didukung penuh biayanya oleh institusi tertentu. Di
Palembang waktu itu, sekolah favorit jelas SD Xaverius I, II, III, dan IV yang
didukung oleh Yayasan Xaverius. Adapun di Belitung, sekolah favorit jelas SD PN
Timah yang didukung penuh biayanya oleh Perusahaan Negara (PN) Timah. Meski
didukung oleh Muhammadiyah, sekolah kami selalu serba kekurangan dan ini
merupakan pengecualian. Satu-satunya yang patut dibanggakan adalah cita-cita
mulia dibalik pengadaan sekolah-sekolah.
Bagaimana
dengan sekolah-sekolah negeri? Sekolah-sekolah negeri jelas disubsidi oleh
pemerintah. Meskipun begitu, kualitas pendidikan dan fasilitas sekolah-sekolah
negeri terlihat kurang. Selain gaji guru yang kecil, para calon guru lebih
memilih melamar di sekolah-sekolah swasta tadi. Di sana, selain gaji besar,
profesi sebagai guru benar-benar dihargai. Bukan bermaksud mengadili, tapi
begitulah keadaannya saat itu.
Ikal
rasanya beruntung sekali. Sekelas ia hanya berjumlah 10 orang. Meskipun jumlah
guru di sekolahnya sedikit, jumlah murid yang sedikit itu menjadikan ikatan
batin antara guru dengan murid lebih erat. Guru di sana berfungsi bukan hanya
sebagai seorang pengajar, tapi juga sebagai seorang sahabat, seorang mitra,
yang menemani para murid berjalan dalam dunia mereka.
Guru-guru
Ikal akan memberi jawab atas pertanyaan para murid bukan sebagai seorang dewasa
yang serba tahu, tapi sebagai seorang manusia yang sama-sama belajar. Dengan
begitu, apa yang terbaik bagi para murid tidak melulu ditentukan oleh para
guru. Para murid berhak memilih dan memutuskan, bukan atas paksaan para guru.
Tentu saja, bimbingan para guru juga perlu di sini. Misal saja, waktu akan
diadakan acara karnaval 17 Agustus antar sekolah di Belitung. Bagaimana bentuk
dan isi pertunjukan yang akan dibawakan dalam acara karnaval itu, Ikal dan
kawan-kawanlah yang menentukan dan merancangnya.
Berbeda
dengan saya dan teman-teman di Palembang. Di sekolah kami, karena ingin
mengejar target yang ditetapkan, para murid hanya menerima pilihan yang ada.
Memang, kami pun diberi kesempatan untuk memilih. Tapi, untuk memilih itu pun
kami segan. Sebab sejak pertama kali kami sekolah, kami ditanamkan bahwa
pilihan para gurulah yang benar. Sebab para guru adalah orang-orang dewasa yang
serba tahu, berbeda dengan kami yang masih anak-anak, yang belum tahu apa-apa.
Selain
itu, karena jumlah kami terbilang banyak (sekitar 25-30 orang), sedangkan
jumlah guru sedikit, maka seorang guru mesti memegang tanggung-jawab atas
sejumlah itu. Sudah tentu, dengan jumlah itu, prioritas paling utama adalah
bagaimana semua murid itu naik kelas, nilai-nilai memuaskan. Toh, bersekolah
tak-lebih dan tak bukan agar dapat meneruskan ke jenjang pendidikan di atasnya.
Setelah itu, cari kerja dengan penghasilan yang lumayan.
Apa
yang kami pelajari adalah apa yang sudah tertera dalam buku. Sedang menurut
buku-buku yang kami punyai itu, yang benar itu hanya satu. Tak ada
kemungkinan-kemungkinan di luar itu. Sebenarnya, kalau mau jujur,
kemungkinan-kemungkinan yang dimaksud itu ada, memang. Tapi,
kemungkinan-kemungkinan itu baru dipelajari nanti ketika sudah SMP atau SMA
atau ketika sudah di perguruan tinggi. Jatah bagi kami, ya, seperti apa yang
ada dalam buku-buku kami itu.
Padahal,
kami iri sekali dengan Ikal dan teman-teman. Mereka di sana, meski serba
kurang, mereka tak dikekang naluri ingin tahu mereka. Ibu guru mereka, Bu Mus,
membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berkembang. Akibatnya, apa yang mereka
pelajari bukan semata apa yang diberi di dalam kelas. Mereka belajar banyak
dari kehidupan di luar sekolah. Apa yang didapati, sekiranya membingungkan,
baru ditanyakan pada Bu Mus di kelas. Dan beliau tak segan-segan untuk
menjelaskannya.
Lintang,
salah satu teman Ikal, bahkan karena ingin tahunya, sering membaca buku-buku
Pak Harfan, bapak kepala sekolah, ketika sedang membersihkan ruangannya. Pak
Harfan jelas tahu akan kelakuan muridnya ini. Tapi beliau membiarkannya,
mungkin sekaligus bangga. Hasilnya, Lintang dalam usia belia sudah memahami
pokok-pokok pelajaran ilmu pasti yang sedianya diberikan di tingkat SMP dan
SMA. Tak masuk di akal, memang. Tapi begitulah adanya.
Mereka
sejak hari pertama bersekolah telah ditanamkan oleh kepala sekolah sebuah
prinsip, bahwa “hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima
sebanyak-banyaknya.” Berbedalah dengan kami yang hari-hari pertama itu diisi
dengan pernyataan bahwa “lusa nanti jangan lupa bawa uang Rp. 300, 00 untuk
beli kertas huruf-hurufan agar kalian bisa cepat membaca...”
Hari
ini, setelah kami sama-sama dewasa, sudah rahasia umum bahwa pendidikan-dasar
di Indonesia amat menyedihkan. Naluri ingin tahu, naluri ekplorasi para murid
dipasung begitu saja pada usia dini. Akibatnya, sampai dewasa yang ada hanya
menerima apa yang sudah jadi.
Gejala
ini ternyata bukan semata-mata penilaian kami pribadi. Y.B. Mangunwijaya jauh-jauh
hari telah mengingatkan akan hal ini. Menurutnya, pendidikan menengah dan
tinggi boleh saja brengsek mutunya asalkan pendidikan dasar, pendidikan yang
diberikan di sekolah-sekolah dasar baik dan tak memasung daya eksplorasi si
murid. Apa yang diberikan pada usia dini itulah modal penting bagi seorang anak
untuk menjalani hidup selanjutnya.
Ikal
dan teman-teman beruntung mendapat pendidikan bermutu dari guru-guru mereka.
Mendengar ceritanya, saya jelas iri. Cara mendidik guru-guru mereka menyadarkan
saya akan ruang baru yang sering tak disentuh oleh banyak guru selama ini.
Kedekatan, ikatan batin yang dibangun antara guru dengan murid—itu kuncinya.[*]
--Rimbun
Natamarga
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar