Judul
Buku: Lebih Baik Tidak Sekolah
Penulis: Sujono Samba Penerbit: LKiS, Yogyakarta Cetakan: I, Januari 2007 Tebal: xviii + 94 halaman
Peresensi: Ali Usman*)
|
"Sekolah
sebagai siksaan yang tak tertahankan." (R. Tagore)
Membincang
persoalan pendidikan di Indonesia memang tak ada habisnya. Mulai dari persoalan
kurikulum, paradigma, orientasi, dan kualitasnya masih menjadi perdebatan
sengit di antara praktisi, pakar dan pejabat negara. Jangan tanya di nomor urut
berapa kualitas pendidikan kita sekarang dibandingkan dengan negara-negara
tetangga. Sebab, di saat mereka (baca: luar negeri) semakin optimis melaju
meningkatkan pendidikan, kita masih ribut mencari format yang ideal.
Sebut saja isu
terhangat saat ini soal standarisasi nilai dalam Ujian Nasional (UN). Apakah
kebijakan standarisasi atau batas minimal angka yang telah ditentukan
Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dapat menjamin bahwa siswa yang
bersangkutan betul-betul mampu secara akademik (kognitif) dan psikomotorik
sesuai dengan nilai yang ia peroleh itu? Dalam benak para pengelola pendidikan
di negera kita tentu jawabannya, "iya". Tapi benarkah demikian? Lalu
dengan ukuran apakah pendidikan itu layak dikatakan berkualitas?
Serangkaian
pertanyaan pelik itulah yang melatarbelakangi penulisan buku yang penuh gejolak
dari penulisnya ini. Pemilihan judul yang sangat provokatif, “Lebih Baik Tidak
Sekolah”, bukanlah omong kosong belaka dan hampa makna. Dalam buku ini, Pak
Jono, begitu ia biasa dipanggil, telah melakukan refleksi dan pembacaan kritis
terhadap kondisi pendidikan kita yang mengalami carut-marut.
Di sini, Pak Jono
dengan tegas dan lantang berpendapat bahwa ukuran berkualitas atau tidaknya
pendidikan bukan karena seorang siswa itu mempunyai nilai sembilan atau sepuluh
dalam ijazahnya. Sebab, nilai ijazah atau surat kelulusan sekolah yang sekarang
ini terjadi hampir tidak mengukur kompetensi yang sebenarnya ketika harus
menghadapi realitas kehidupan. Indikasi sebuah lembaga pendidikan dikatakan
berkualitas adalah manakala out
put (keluarannya) sanggup memecahkan persoalan kehidupannya,
kreatif, mandiri, beretika, dan terus bersemangat mengembangkan pengetahuannya
sehingga merasa hidup sejahtera dan berguna bagi orang lain (hlm. 24).
Maka, untuk
mengobati keprihatinan tersebut Pak Jono ternyata tidak hanya berhenti pada
tataran teoritis dan retorika. Lebih dari itu, ia bersama teman-teman desanya
menunjukkan aksi nyata dengan mendirikan model pembelajaran berbasis komunitas (community based education) Kejar
Paket B Qaryah Thayibah di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, Kabupaten
Semarang, Jawa Tengah, pada bulan Juli 2003, dan saat ini telah menjadi sekolah
unggulan nasional.
Mungkin jika kita
tilik sejarah berdirinya, bakal tak ada yang menyangka pendidikan Qaryah
Thayyibah mendapat respon positif dari banyak pihak, baik dari dalam negeri
sendiri maupun mancanegara. Pada mulanya, lantaran jengah (jengkel) terhadap
sistem pendidikan kita yang tidak berpihak pada kaum miskin, terutama warga
desa, justru menjadi inspirasi Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah
(SPPQT) mendirikan "pendidikan alternatif" ini.
Dengan berkelakar,
Bahruddin (salah satu pendiri utama) mengatakan, berdirinya tidak by design (tidak
dirancang), tetapi by
accident (tiba-tiba). "Kami sekadar ingin mengumpulkan
anak-anak para tetangga untuk belajar bersama dengan baik". Itu saja,
ungkapnya (hlm. 32). Sesuai dengan namanya, Qaryah Thayyibah (berasal dari
bahasa Arab: desa yang baik) sebagaimana diidamkan oleh masyarakat setempat
agar menjadi desa yang indah, beradab, berkeadilan, dan syukur dapat dicontoh
daerah lain.
Hal tersebut tampak
pada prisip-prinsip yang dibangun Qaryah Thayyibah. Pertama, pendidikan yang
dilandasi semangat pembebasan, serta semangat perubahan ke arah yang lebih
baik. Kedua, keberpihakan yang merupakan ideologi pendidikan itu sendiri, di
mana keluarga miskin berhak atas ilmu pengetahuan dan pendidikan yang baik dan
bermutu. Ketiga, metodologi yang dibangun selalu berdasarkan kegembiraan siswa
dan guru dalam proses pembelajaran. Dan keempat, mengutamakan partisipasi dan
komunikasi yang sehat antara pengelola pendidikan, guru, siswa, wali siswa,
masyarakat dan lingkungannya dalam merancang-bangun sistem pendidikan realistis
dan sesuai dengan kebutuhan (hlm 35-36).
Gagasan gemilang
ini mengingatkan kita pada Ivan Illich yang di akhir 1970-an mengejutkan
masyarakat, praktisi, dan pemerhati pendidikan dengan gagasan kontroversialnya
tentang deschooling
society (masyarakat tanpa sekolah). Illich meramalkan bahwa jika
pengetahuan dan tingkat kedewasaan masyarakat sudah berkembang dengan wajar,
maka institusi-institusi pendidikan formal tidak lagi diperlukan. Masyarakat
akan mampu menjalankan fungsi pendidikan lewat elemen sosial dan budaya yang
luas, tanpa harus terikat dengan otoritas kelembagaan seperti sekolah.
Artinya, dalam masyarakat ini, sekolah tidak lagi dibutuhkan.
Artinya, dalam masyarakat ini, sekolah tidak lagi dibutuhkan.
Dengan begitu,
benarkah gagasan ini telah terbukti? Jika kita melihatnya sebagai parodi maka
betapa tepatnya Illich dalam menilai dan mendeskripsikan eksistensi lembaga
pendidikan sekarang ini.
Bagaimana dengan
buku ini? Meski tak setebal buku-buku pendidikan pada umumnya, kehadiran buku
ini nampaknya sejalan dengan gagasan Illich itu, dan sungguh mengandung semacam
manifesto pendidikan kritis yang dimaksudkan untuk "membebaskan" dari
belenggu-belenggu sistem yang mengitari. Analisis dan argumen yang dibangun
memiliki relevansi yang substansial dalam konteks kekinian.
Satu pijakan yang
pasti dan selalu diingatkan oleh Pak Jono kepada pembaca dalam buku ini adalah
pendidikan pada hakikatnya merupakan proses memanusiakan manusia (humanizing human being). Karenanya,
semua treatment yang
ada dalam praktik pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia
sebagai mahluk Tuhan dengan fitrah yang dimiliki, sebagai makhluk individu yang
khas, dan sebagai makhluk sosial yang hidup dalam realitas sosial yang majemuk.
Kenyataan bahwa
proses pendidikan yang ada cenderung berjalan monoton, indoktrinatif, teacher-centered, top-down, mekanis,
verbalisme, kognitif dan misi pendidikan telah misleading menurut Pak Jono, harus segera
dibenahi. Jika tidak, benar kata Paulo Freire, bahwa sekolah itu (memang)
menindas dan membelenggu.
Hingga pada
akhirnya, uraian kritis Pak Jono juga menelusup masuk ke wilayah yang di selama
ini boleh dibilang belum (sepenuhnya) tersentuh oleh penulis-penulis lain.
Misalnya, mengangkat problem mutakhir tentang apa fungsi dan guna ijazah SMA/S1
sebagai syarat untuk melamar di suatu perusahaan, bila toh pada akhirnya jika
diterima sebagai pegawai/buruh hanya dijadikan tukang sapu atau dipekerjakan di
tempat-tempat mekanis? Bukanlah pekerjaan mekanistik seperti itu bisa dilakukan
oleh siapapun yang mau tanpa harus berijazah SMA? Semua itu digugat secara
berani dan terang benderang oleh tokohyang oleh masyarakat dikenal sebagai
sosok seniman dan familiar itu.
Maka, buku ini
menurut saya layak dibaca oleh siapapun, terutama para praktisi pendidikan,
aktivis LSM, mahasiswa dan para siswa sedang dalam penantian pengumuman
kelulusan. Setidaknya dapat memotivasi kita untuk terus tetap belajar, yang
oleh Bahruddin diungkapkan dengan perkataan bijak, "Boleh putus sekolah
asal tidak putus belajar." [*]
*) Pencinta buku,
dan aktivis PMII Yogyakarta.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar