Judul:
Lesbumi Strategi Politik Kebudayaan
Penulis: Choirotun Chisaan Penerbit: LKiS, Yogyakarta Cetakan: 1 (Maret) 2008 Tebal: 247+XVI Halaman Peresensi: Matroni*) |
Lembaga
Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) merupakan lembaga kebudayaan
yang berafiliasi dengan politik seperti partai Nahdlatul Ulama (NU) saat
organisasi itu menjadi partai politik pada 1960-an.
Ketika
NU memutuskan menjadi partai politik tersendiri, sangat baik, agar NU mempunyai
peran di politik. Lahirnya Lesbumi dari rahim NU menunjukkan langkah maju dari
NU, yang berarti berani mengambil perjuangan seni budaya sebagai bagian dari
tanggung jawabnya meski di dalamnya banyak ‘duri’ yang belum selesai disapu
atau dipertanyakan.
Ketika
pertentangan politik semakin panas, semua kegiatan lembaga kebudayaan, antara
pro dan kontra komunis, lebih berbau politik. Justru mereka yang tidak
tergabung dalam lembaga kebudayaan yang memiliki sikap budaya yang jelas,
seperti Manifesto Kebudayaan (Manikebu).
Menarik
untuk direnungkan bahwa karya seni-budaya lembaga-lembaga seni budaya itu
dipublikasikan melalui media massa masing-masing partai politik. Publikasi itu
seringkali memicu “polemik” politik dalam wilayah kebudayaan. Pendapat umum
mengatakan bahwa perdebatan mengenai seni-budaya di Indonesia yang dinilai
cukup sengit pada masa itu, justru ditemukan pada tataran aliran, seperti
perdebatan mengenai realisme sosialis dan humanisme universal. Antara Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) satu pihak dan para pencetus Manikebu di pihak lain.
Kenyataan
itu sangat menarik, sebab, di satu sisi, Lesbumi merupakan unsur penting dalam
paham Nasionalisme, Agama dan Komunisme (Nasakom), di samping Partai Nasionalis
Indonesia (PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Setidaknya, Lesbumi
memiliki orientasi politik yang hampir sama dan senada dengan unsur-unsur yang
ada dalam Nasakom, seperti LKN (PNI), atau Lekra (PKI).
Di
satu sisi, secara kultural aktivis-aktivis Lesbumi, Asrul Sani, dan Usmar
Ismail, pernah menjadi pemrakarsa utama, surat kepercayaan gelanggang yang
muncul pada 1950. Surat kepercayaan gelanggang yang menjadi tongkat estafet
sastrawan-seniman yang menamakan diri “Angkatan 45” inilah yang kemudian
dipandang cikal-bakal paham humanisme-universal dalam kebudayaan Indonesia yang
kemudian muncul sebagai “pewarna” dalam Manikebu.
Namun,
di balik itu semua, ada wajah baru yang ingin diperdengarkan oleh Lesbumi di
tengah riuhnya pertarungan aliran berkesenian pada masa-masa tersebut. Wajah
lain itu akan tampak pada surat kepercayaan yang lahir pada 1966, surat yang
juga diprakarsai Asrul Sani.
Karakter
utama yang membedakan Lesbumi dari Lekra dan Manikebu adalah kentalnya warna
“relijius” dalam produksi ekstrim antara kubu Lekra dan Manikebu. Pada titik
ini, sebenarnya Lesbumi memberikan alternatif baru dalam berkesenian dengan
memberikan tempat bagi unsur keagamaan (Islam) setara dengan kebudayaan melalui
sebuah “kontestasi” seni-budaya ketimbang sebuah “pertarungan” politik. Sikap
“tengah-tengah” (moderat) nampaknya coba diterima Lesbumi senada dengan garis
ideologi Ahlussunnah wal Jamaah yang menjadi landasan politik keagamaan NU,
organisasi induknya.
Lesbumi
dianggap sebagai penanda kemodernan di tubuh NU. Modern di sini jika dilihat
dari kacamata NU melalui Lesbumi yang sama sekali baru terhadap perkembangan
seni-budaya. Jika dilihat dari para pendapat tokohnya, seperti, Djamaluddin
Malik, Usman Ismail, dan Asrul Sani. Inilah bentuk apresiatif NU terhadap
modernitas, terutama menyangkut relasi agama dan politik dalam konteks
“kemusliman” melalui pendefinisian ulang terhadap seni-budaya “Islam”.
Kemudian, mengapa Lesbumi seakan-akan lenyap dari wacana perbincangan sejarah
seni-budaya dan politik di Indonesia. Inilah sebenarnya yang dijawab dalam buku
ini, yaitu polemik kebudayaan Lesbumi yang terjadi pada kurun waktu 1950-1960.
Lahirnya
Lesbumi tidak hanya counter-responses terhadap kedekatan Lekra dengan
PKI yang dianggap selama ini diyakini banyak pihak. Lesbumi lahir justru harus
dilihat dari dua sisi “momen historis” yang melingkupinya. Momen politik dan
momen budaya. Momen politik adalah lahirnya Manifesto Politik pada 1959 oleh
presiden Soekarno dan ideologisasi Nasakom dalam tata kehidupan sosial-politik.
Sedangkan momen budaya adalah perlunya advokasi terhadap kelompok-kelompok
seni-budaya dan kebutuhan akan modernisasi seni-budaya. Dari sinilah diperlukan
pemaknaan ulang “agama” dalam konteks Indonesia yang sedang dalam proses
nation-building, khususnya di bidang kebudayaan.
Lalu,
di mana letak posisi seni-budaya pesantren yang tidak lain merupakan basis
kultural Lesbumi NU, dalam konteks kebudayaan nasional? Dalam pandangan para
tokoh Lesbumi, seni-budaya pesantren akan menemukan ruang tersendiri
sosio-kulturalnya dalam pentas budaya nasional jika ia diapresiasi menggunakan
bahasa kebudayaan, karena suatu fenomena yang sebelumnya tidak ditemukan
termasuk seni-budaya dipandang tradisional, kolot, ke-Arab-Arab-an, dan tidak
sejalan dengan modernitas.
Polemik
Lesbumi dalam perjumpaan dengan kebudayaan di Indonesia ada sesuatu yang unik,
dalam lintasan sejarah di mana tahapan tersebut dapat dirunut sejak awal NU
berdiri pada 1926 sebagai organisasi pendidikan dan sosial-keagamaan.
Perjumpaan itu terus berlangsung secara intensif dan terus-menerus seiring
dengan perubahan NU yang menjadi gerakan politik pada 1952 hingga mencapai
mementumnya pada 1960-an. Pada tahap ini, perjumpaan NU dengan gerakan
kebudayaan di Indonesia mengalami proses formalisasi dan pelembagaan melalui
pendirian Lesbumi.
Dalam
catatan di atas Lesbumi mencari bentuk relasi agama seni dan politik, di mana
sejak menarik diri dari Partai Masyumi, Partai NU terus berupaya memodernisasi
dirinya. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, di awal penarikan diri, NU
telah memiliki badan-badan otonom yang mencerminkan perhatiannya pada masalah
pendidikan, dakwah, sosial, ekonomi, pertanian, perempuan, pemuda, dan buruh.
Lesbumi
adalah salah satu bentuk yang menghimpun berbagai macam pelukis, bintang film,
pemain pentas, dan sastrawan, di samping juga ulama yang memiliki latar
belakang seni yang cukup baik. Inilah yang dianggap tidak menjaga martabat NU.
Seiring
dengan perubahan kebudayaan pada 1950-1960 terjadi peristiwa penting yang
menonjol dalam memandang kelahiran Lesbumi. Pertama, dikeluarkannya Manifesto
Politik pada 1959 oleh Soekarno. Kedua, pengarusumutan Nasakom dalam tata
kehidupan sosio-budaya dan politik Indonesia pada awal 1960-an. Ketiga,
perkembangan Lekra pada 1950. Organisasi kebudayaan semakin mendekatkan diri
dalam hubungan dengan PKI, baik secara kelembagaan maupun ideologis. Keempat,
faktor eksternal tersebut yang melingkupi proses kelahiran Lesbumi. Pada satu
sisi, kelahirannya memperhatikan momen politik kerena faktor-faktor eksternal
yang melingkupi.
Di
samping faktor eksternal, ada juga faktor internal. Pertama, kebutuhan akan
pendampingan terhadap kelompok seni-budaya di lingkungan Nahdliyin. Kedua,
kebutuhan akan modernisasi seni-budaya. Dengan mempertimbangkan faktor
eskternal dan internal, sebagaimana dikemukakan di atas, momen historis
kelahiran Lesbumi dipengaruhi dan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari momen
politik dan momen budaya.
Dalam
konteks politik-kebudayaan Indonesia, kelahiran Lesbumi merupakan condition
sine qua non bagi jalannya revolusi Indonesia yang menganut gagasan Nasakom
Soekarno. Tapi, dalam spektrum yang luas, keniscayaan Lesbumi disebabkan,
menurut Asrul, sebagai sebuah tantangan yang datang dari berbagai arah yang
mengitari kaum muslimin.[*]
*) Direktur Eksekutif Pustaka Monrea Banni dan Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar