Judul: London Wild Rose
Penulis: Kusuma Andrianto Penerbit: Dastan Books, Jakarta Cetakan: Pertama, Mei 2005 Tebal: 374 halaman |
Kisah
sedih perihal nasib mahasiswa-mahasiswa terancam drop out karena kekurangan
biaya memang sudah jamak di negeri ini. Demi meraih predikat sarjana dan
harapan akan masa depan yang lebih baik, mereka bergulat dengan pelbagai
problem finansial yang kadang-kadang bisa berbuah putus asa. Di samping
menghadapi tugas-tugas akademik yang melelahkan, mereka mesti ‘nyambi’ sebagai
guru privat, penulis lepas, pemandu wisatawan asing, grafis designer amatiran,
karyawan cafe internet dan sederet pekerjaan freelance lainnya.
Andaikan
anda salah satu dari mereka, tapi sedang berada di luar negeri. Jumlahkan semua
masalah yang dihadapi mahasiswa terancam D.O dalam negeri, atau lipatgandakan
hingga sepuluh, dua puluh kali, maka demikianlah kompleksitas permasalahan yang
menimpa mahasiswa-mahasiswa miskin di luar negeri. Jika anda berkuliah di
Jakarta, Bandung atau Yogyakarta, anda masih bisa ‘nyambi’ sebagai pekerja
freelance seperti diceritakan di atas. Tapi, tak segampang itu penyelesaiannya
bila anda tercatat sebagai mahasiswa sebuah universitas di London. Tak ada izin
bekerja di sektor formal (white collar). Maka, anda terpaksa melakukan
pekerjaan kasar (blue collar). Itu pun diperbolehkan hanya beberapa jam dalam
sehari.
Jangan
heran, bila ada khabar tentang mahasiswa-mahasiswa Indonesia di luar negeri,
yang bekerja sebagai ‘tukang cebok’ (pencuci piring di restoran fastfood),
semacam karyawan kasar di restoran masakan Padang, jika di Jakarta. Ada pula
yang memilih sebagai ‘pegolf’. Tapi, jangan ditanya berapa handicap mereka.
Mereka tidak paham apa itu hole in one, juga tidak kenal Tiger Woods. Sebab,
yang dimaksud ‘pegolf’ itu adalah mahasiswa-mahasiswa yang setiap pagi (sebelum
jam kuliah) mengusung tongkat panjang pembersih lantai, berlagak seperti pegolf
kelas dunia.
Keluh
kesah para ‘pegolf’ inilah yang diangkat dalam novel London Wild Rose (Dastan
Books, 2005), karya Kusuma Andrianto. Adalah Donny, mahasiswa kedokteran (asal
Indonesia) sebuah universitas di London yang sedang terlilit utang dan
dikejar-kejar debt collector. Sekedar bertahan di negeri orang, ia bekerja di
The Spears, klub malam terkenal di East End, London. Sebagai cleaning service,
Donny tidak hanya merapikan ruangan yang penuh sampah bekas kemasan
coffe-liquour, kacang pistacio, botol minuman, tapi juga alat-alat suntik,
kondom bekas dan celana dalam robek yang berserakan di lantai dan sudut-sudut
kamar.
Di
sinilah Donny bertemu dengan Monique, perempuan usia dua puluhan, penari
telanjang (stripper). Hubungan pertemanan Donny dan Monique yang terjalin
perlahan-lahan, dimanfaatkan pengarang untuk menyingkap ‘wajah’ dunia bawah
tanah kota London yang tak terlihat di permukaan. Berawal pada sebuah pagi
ketika Donny dikagetkan oleh kedatangan seorang perempuan yang berteriak
memanggil-manggil nama ; Monique. Wajahnya penuh luka-lebam bekas penyiksaan,
dari selangkangannya mengucur darah. Bayi dalam kandungannya nyaris tak
terselamatkan. Monique menangis histeris melihat kondisinya yang mengenaskan
itu, dan bergegas minta pertolongan Donny. Ketika Donny bermaksud hendak
menelpon ambulance untuk membawa perempuan itu ke rumah sakit, Monique
bersitegang melarang. Itu sama saja dengan menyerahkan diri pada pesakitan yang
lebih parah. Monique, akhirnya mengaku bahwa perempuan itu adalah Sophie, adik
kandungnya. Mereka berdua imigran gelap asal Albania yang sedang diburu petugas
imigrasi. Maka, membawa Sophie ke rumah sakit sama saja dengan menyerahkan
diri, tertangkap dan lalu dideportasi. Pendarahan serius yang dialami Sophie,
tak lain adalah akibat perlakuan suaminya, Giorgio.
Sophie
dan bayinya terselamatkan berkat ‘tangan dingin’ perempuan bernama Yekaterina.
Ia teman dekat Donny, bekerja sebagai operator di city council funeral and
cremation, tempat penyimpanan mayat sebelum disemayamkan. Nasib dan peruntungan
Yekaterina ‘setali tiga uang’ dengan kakak beradik imigran gelap: Monique dan
Sophie. Yekaterina juga ‘pendatang haram’ dari di Eropa Timur. Konon, sebelum
negerinya luluh-lantak akibat perang saudara, ia salah satu dokter terbaik yang
pernah ada. Kekejaman perang menyebabkan Yekaterina hengkang ke luar negeri,
dan berakhir sebagai pemegang paspor palsu di London. Berbekal kemampuan itu,
ia berhasil melakukan operasi seadanya, menyelamatkan Sophie.
Pada
bagian awal novel ini, dapat diterka bahwa pengarang hendak membangun ‘kisah
anak rantau’ yang tak bernasib mujur. Dalam kegamangan dan rasa takut Donny
menghadapi debt collector yang sewaktu-sewaktu bakal menemukan
persembunyiannnya, pengarang menggambarkan betapa dalamnya kerinduan Donny pada
tanah kelahiran. Kerap ia mengingat-ingat pemandangan indah di pinggir pantai
kota tua kelahirannya. Rindu pada kue serabi yang dijual di pinggir jalan.
Kangen pada wajah keponakan yang belum sempat dilihatnya, karena saat bocah itu
masih dalam kandungan, Donny sudah merantau. Tapi, ada persoalan yang lebih
pelik dari sekedar cerita tentang mahasiswa miskin itu, yakni pergulatan batin
Donny melihat nasib ‘pendatang haram’ seperti Monique, Sophie dan Yekaterina
yang sedang di ‘ujung tanduk’. Sementara ia tak mampu berbuat apa-apa. Hendak
menolong, namun Donny juga dalam posisi yang harus ditolong.
Lihatlah,
Monique yang diam-diam juga menari di klub malam lain, (penghasilannya tak
memadai di The Spears) untuk menghidupi Sophie dan bayinya. Monique bahkan
nekat ingin menjual ginjalnya pada sindikat jual beli organ tubuh, untuk
memperoleh sejumlah uang yang dapat ditukar dengan selembar paspor. Inilah
satu-satunya jalan untuk membebaskan Sophie dari kekejaman Giorgio. Sophie
memang sudah tak berharga bagi lelaki itu, tapi bayi yang baru terlahir dari
rahimnya adalah ‘barang’ berharga yang bakal mendatangkan uang. Maka, Giorgio
hendak merampasnya.
Monique
memang milik semua lelaki. Penari telanjang, alkoholik dan perokok berat. Tapi,
cinta dan ketulusannya pada Sophie, sulit dicari tandingannya. Ia rela mati
demi orang yang dicintainya. Dengan penjualan ginjal itu, Monique juga berniat
membantu Donny, melunasi hutang-hutangnya. Begitu pun Yekaterina, bila ia
bersedia melakukan operasi itu, Monique akan menjatahkan sebagian hasilnya
untuk mengantarkan perempuan itu meraih impiannya; menjadi dokter. Yekaterina
mengingatkan, bila Monique masih nekat, tak berselang lama setelah operasi itu,
kondisi kesehatannya akan menurun, akibatnya bisa fatal. Alkoholik dan perokok
berat sepertinya tidak akan bertahan hidup dengan satu ginjal.
Di
titik inilah, Donny ingin berbuat sesuatu untuk Monique. Karena simpati? Rasa
iba? Cinta? Entahlah! Donny juga tidak tahu. Tanpa sepengetahuan Monique, Donny
dan Yekaterina menyusun rencana. Yekaterina akan membius Monique, menggoreskan
pisau bedah di tubuhnya, lalu membalut luka itu (seolah-olah sebelah Ginjal
Monique sudah terangkat). Padahal, yang sesungguhnya akan dioperasi adalah
Donny. Donny menginginkan, ginjalnya lah yang dijual untuk menyelamatkan
Monique, Sophie dan bayinya, Sissy.
Pada
saat operasi akan dilakukan di kamar Donny (lantai atas The Spears), mereka
kedatangan tamu,Giorgio.Terjadi perkelahian hebat. Donny yang melindungi
Monique dan Sophie dihajar hingga babak belur. Dalam kecamuk perkelahian yang
nyaris dimenangkan Giorgio itu, lagi-lagi ‘tangan dingin’ Yekaterina bekerja.
Ditusukkannya pisau bedah tepat di batang leher Giorgio, hingga lelaki itu
roboh tak berdaya. Baik ginjal Monique maupun ginjal Donny tetap utuh dalam
tubuh masing-masing. Sebab, yang dibedah Yekaterina adalah pinggang Giorgio.
Dengan ginjalnya, Giorgio telah ‘menyelamatkan’ hidup darah dagingnya, istrinya
dan juga Monique.
Novel
ini tidak berkhabar perihal hingar-bingar media massa London dalam menebarkan
pesona ketampanan bintang sepakbola Inggris, David Beckham atau pesta pora para
pendukung tim Chelsea setelah menjuarai premier league, tapi mengajak pembaca
mengintip sisi lain kota London yang menyimpan aura kepedihan tak terlukiskan.
Ya, nestapa para ‘pendatang haram’ yang merelakan sebelah ginjal mereka demi
selembar paspor dari pasar gelap.
Some
words are better unspoken. Some feelings are better remain unsaid, hanya
kalimat itu yang terucap dari bibir Monique sesaat sebelum Donny melangkah
menuju pesawat yang akan membawanya ke Indonesia. Yekaterina berhasil mengatur
kepergian Monique, Sophie dan bayi mungil Sissy keluar dari Inggris dengan
selamat. Kenapa Donny berkeputusan pulang? Bukannya bertahan untuk
menyelesaikan studinya di London? Kenapa pula pengarang tidak ‘membumbui’
kisahnya dengan percintaan antara Donny dengan Monique? Pengarang berdalih,
Donny ingin bertemu dengan pemilik sepasang mata indah dengan tatapan yang
selama ini mengisi mimpi-mimpinya, yang tak kuasa dilupakannya. Lebih indahkah
sorot mata perempuan itu dari kerdipan mata Monique saat tubuh sintalnya
meliuk-liuk, melenggang-lenggok dalam keadaan tak berbusana di panggung The
Spears? [*]
--Damhuri
Muhammad
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar