Judul: Lubang dari
Separuh Langit
Penulis: Afrizal Malna
Penerbit: AKYPRESS Tahun: 2004, cetakan II Tebal: xi + 151 hal |
Pasti bukan karena latah atau ikut-ikutan para seniornya - Ahmad
Tohari, Romo Mangun, PAT, Umar Kayam - Afrizal Malna menulis sebuah novel
tentang kaum urban miskin yang hidup di sepanjang bantaran sungai di Jakarta.
Kisah mereka yang terpinggirkan ini tampaknya akan selalu menarik diangkat ke
dalam karya sastra (novel, cerpen, puisi). Kehidupan kaum papa senantiasa
menyentuh nurani siapa saja yang masih memiliki kepedulian dan cinta kasih
sesama. Terlebih lagi bagi para sastrawan dengan jiwa-jiwa halus lembut mereka.
Apakah ini sebuah pemihakan? Jikapun ya, bukankah itu sangat mulia? Sebab para
sastrawan adalah pencatat peristiwa. Adalah perekam sejarah. Adalah saksi
zaman. Adalah corong penyambung suara-suara perih kehidupan.
Ide penulisan novel Lubang dari Separuh Langit ini bersumber dari
persentuhan dan pergumulan Afrizal dengan rakyat miskin kota di Jakarta lewat
aktivitasnya di UPC (Urban Poor Consortium). Seperti diakuinya, bahwa banyak
pengalaman bersama mereka yang membuatnya mencium bau kehidupan lebih keras 1
cm di hidungnya. Walaupun cerita novel ini campur aduk antara realis dan
surealis, namun kita tetap dapat menemukan jalan kembali ke topik utama.
Mungkin karena Afrizal juga seorang penyair, maka novel ini bagaikan sebuah
prosa yang puitis, meski berbeda dengan prosa liriknya Linus (Pengakuan
Pariyem)
Afrizal memotret, merekam, dan menuliskan pengalamannya bergaul
dengan para orang miskin tersebut melalui perspektif seorang perempuan bernama
Candi, tokoh utama novel ini. Candi tak menempatkan dirinya sebagai pahlawan.
Ia hanya ingin menjadi teman dan bagian dari keseharian masyarakat di bantaran
sungai itu. Di sana, ia mengenal orang-orang malang yang mencoba bertahan hidup
di kota setelah desa mereka tak lagi bisa memberi bahkan sekedar sesuap nasi.
Di kota mereka bertarung melawan kerasnya dunia dengan menjadi tukang becak,
pelacur, pengamen, pedagang asongan, buruh cuci, pemulung, preman. Karena
kemiskinannya, mereka hanya bisa menghuni daerah sepanjang pinggir sungai
sebagai tempat tinggal dengan membuat gubuk-gubuk kardus beratap seng-seng
bekas.
Begitu sengsaranyapun, mereka masih pula harus dibayang-bayangi
penggusuran oleh pemerintah kota yang tak rela kotanya berhiaskan kekumuhan.
Kaum miskin adalah borok yang harus disingkirkan karena mengganggu keindahan.
Gubuk-gubuk kardus itu harus lenyap berganti mal-mal megah. Becak-becak tak
boleh ada sebab memalukan bangsa. Kendaraan zaman purba. Tak beradab. Tak
manusiawi. Harus diganti dengan taksi atau kereta monorail supaya lebih
bergengsi dan terhormat. Pada hal, di balik becak-becak yang ditangkap itu
terdapat banyak keluarga penarik becak yang kehilangan sumber penghasilan dan
mengancam kuantitas dan kualitas kehidupan mereka yang kian rendah (hal 39)
Saya jadi ingat sebuah berita di koran beberapa waktu lalu tentang
seorang bapak penjual bubur ayam yang mati gantung diri saking putus asanya
membayangkan penertiban oleh petugas trantib kota. Dia memilih mati dari pada
harus hidup sebagai orang yang diburu-buru trantib setiap hari. Tragis!
Demikian sulitnyakah hidup..?
Novel ini juga mengingatkan saya pada The City of Joy, karya
Dominique Lappierre.
Ya memang sih, cerita semacam ini sudah terlalu sering kita baca.
Namun, tak ada salahnya membaca sekali lagi tentangnya. Hitung-hitung sebagai
pengasah kehalusan dan kepekaan nurani kita, sebab tanpa nurani apalah bedanya
kita dengan hewan melata (dan tidak melata)? [*]
--Endah Sulwesi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar