Judul:
Madzhab Al-Asy’ari, Benarkan Ahlussunnah wal Jama’ah? (Jawaban Terhadap Aliran Salafi)
Penulis: Muhammad Idrus Romli Penerbit: Khalista, Surabaya Cetakan: I, April 2009 Teba l: (x + 301) halaman Peresens i: Fathul Qodir *) |
Puritan,
rigid, tidak toleran serta tidak menghargai perbedaan, kiranya tidak berlebihan
jika Khaled Abou el-Fadl menyematkan stigma tersebut kepada aliran Wahabi.
Sekte yang hingga saat ini menjadi aliran resmi negara Saudi Arabia. Dari awal
kelahirannya hingga dewasa ini, golongan yang dinisbatkan kepada nama
pendirinya, yakni Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahhab (1792 M) seakan tidak lepas
dari kontroversi, baik dari sisi ajaran hingga metode penyebarannya. Bahkan
as-Shawi (1825 M) seorang ulama ahli hukum bermadzhab Maliki menyebut golongan
Wahabi sebagai “Khawarij Modern” karena sering mengkafirkan sesama muslim yang
tidak sefaham.
Nahdhatul
Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan berideologi Ahlussunnah wal Jamaah yang
mengikuti pemikiran Al-Asy’ari seakan tiada henti menjadi sasaran takfir
(pengkafiran) dan tuduhan bid’ah dari aliran reinkarnasi Wahabi, yakni aliran
Salafi. Mereka mengklaim jika merekalah golongan Ahlussunnah wal Jamaah yang
sebenarnya. Akidah Asy’ariyah NU dianggap tidak sesuai dengan ajaran salafus
salih, bahkan dianggap sesat. Fenomena ini membuat gerah para ulama-ulama NU,
sehingga berupaya menangkis tuduhan-tuduhan tidak berdasar tersebut.
Buku
berjudul “Madzhab Al-Asy’ari, Benarkah Ahlussunnah Waljamaah? Jawaban
Terhadap Aliran Salafi” adalah jawaban yang tepat bagi warga NU maupun
pihak-pihak yang merasa gerah dengan statemen maupun gerakan Wahabi yang kian
marak merongrong ideologi Ahlussunnah wal Jamaah. Buku ini ditulis oleh
Muhammad Idrus Ramli, penulis buku “Membongkar Kebohongan Buku Mantan Kiai
NU Menggugat Solawat dan Dzikir Syirik”, salah satu anggota LBM PCNU Jember
yang selama ini getol meng-counter pemikiran-pemikiran Wahabi.
Kelebihan
buku ini tidak hanya berisi biografi, namun penulis berusaha merekam perjalanan
intelektual Al-Asy’ari mulai kanak-kanak hingga dia menjadi tokoh Mu’tazilah.
Di samping itu diulas pula latar belakang teolog besar ini merasa tidak
menemukan kebenaran hakiki dalam ajaran Mu’tazilah, hingga akhirnya dia
menemukan konsep teologi yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW (hal
12-39).
Dalam
sejarah pemikiran intelektual Islam, nama Abu Hasan al-Asy’ari (873-947 M)
tentu bukanlah nama yang asing. Sebab, ide-ide besar mantan murid Al-Juba’i
al-Mu’tazili ini mendapat apresiasi luar biasa umat islam di masanya maupun
kurun setelahnya, hingga pahlawan Perang Salib, Solahuddin al-Ayyubi termasuk
ikut andil besar menyebarkan ajaran Asy’ariah.
Pemikiran
Al-Asy’ari tentang teologi yang paling fenomenal yakni usaha mengompromikan dua
aliran pemikiran besar yang saling bertentangan, yakni Islam ultra rasionalis
yang diwakili oleh golongan Mu’tazilah, berhadapan dengan golongan Hasyawiyyah
dan Hanabilah yang berusaha mendewakan teks dan mengabaikan rasio. Hasil
kompromi dua kutub pemikiran ekstrim tersebut hingga saat ini terkenal dengan
faham Ahlussunnah wal Jamaah.
Wahabi,
yang secara geneologis merupakan anak intelektual Hanabilah dan Hasyawiyah,
selama ini memercayai jika Al-Asy’ari mengalami tiga fase intelektual, yakni
fase Mu’tazilah, Khulabiyah dan yang terakhir Ahlussunnah. Mereka berkeyakinan
bahwa akidah Asy’ariyah yang dianut NU saat ini merupakan akidah Asy’ariyah
semasa masih berguru kepada Ibnu Khulab yang bukan Ahlussunnah. Logikanya, jika
Al-Asy’ari tidak termasuk golongan Ahlussunnah, maka NU sebagai penganut
ideologi Asy’ariyah juga tidak termasuk Ahlussunnah.
Walhasil,
kaum wahabi mendapat legitimasi dalam membajak nama Ahlussunnah. Namun tuduhan
tersebut terbantahkan dengan argumen-argumen penulis yang merujuk pada analisa
para ulama-ulama pakar sejarah seperti al-Hafidz al-Dzahabi, Syamsuddin ibn
Khalikan, Ibn Furak dan pakar sejarah Ibn Khaldun yang mengatakan jika Ibn
Khulab guru Al-Asy’ari adalah termasuk golongan Ahlussunnah (hal 39-52).
Di
samping itu, penulis secara panjang lebar memaparkan kerancuan konsep tauhid
kontoversial Ibnu Taimiyah yang menjadi acuan dasar tauhid kaum Wahabi.
Pembagian tauhid menjadi tiga, yakni tauhid uluhiyyah, tauhid rububiyyah dan
tauhid asma wa sifat versi Ibnu Taimiyah tidak dikenal dalam diskursus tauhid
ulama salaf. Tauhid inilah yang menggiring para pengagumnya menyirikkan amaliah
golongan Ahlussunnah sebagaimana tahlil, maulid dan ziarah kubur. (hal 224-230)
Akhiron,
isi buku ini mengetengahkan argumen-argumen yang melegitimasi keabsahan ajaran
Asy’ariyah di mata al-qur’an dan al-hadis. Di samping juga berusaha mematahkan
tuduhan-tuduhan golongan Salafi (Wahabi) yang selama ini membid’ahkan kalangan
Ahlussunnah pengamal ajaran Al-Asy’ari bahkan berusaha membalikkkan tuduhan
tersebut kepada mereka. Kecerdasan dan ketelitian penulis terekam dalam analisa
yang dipaparkan dalam buku ini.
Buku
ini diterbitkan oleh Khalista, penerbit yang selama ini konsen memperjuangkan
penyebaran nilai-nilai Aswaja. Hemat kami, buku ini tidak hanya layak untuk
dibaca, tapi wajib untuk semua orang yang mengaku sebagai pengikut Aswaja
sebagai benteng akidah. Wallahu a’lam.[*]
*) Staf pengajar di PP Mahasiswa Luhur al-Husna dan Ketua Formal (Forum Mahasiswa Alumni Lirboyo) Surabaya
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar