Judul
Buku: Makrifat Jawa untuk Semua
Penulis: Abdurrahman el-'Ashiy Penerbit: Serambi Cetakan: I, Agustus 2011 Tebal: 310 halaman Peresensi: Eko Sulistiyo ZA*) |
Melihat
Jawa dari berbagai sisi memang unik dan menggelitik. Namun dibalik keunikannya
yang menggelitik tersebut terbentang berbagai hasanah yang akrab dengan
sendi-sendi kemanusiaan. Dimana garis-garis humanis masih bersanding erat
dengan masyarakatnya. Jika dirunut, humanisme Jawa ternyata tidak lepas dari
daya kreatif serta kegeniusan para leluhurnya. Semisal Sunan Kalijaga, yang
mempunyai kemasan tersendiri dalam rangka menyampaikan ajarannya.
Tidak
jauh geniusnya dengan Ki Ageng Suryomentaram, putra ke-55 dari 79 keturunan Sri
Sultan Hamengku Buwono VII. Kegeniusan beliau tercermin dari pengejewantahannya
tentang jiwa. Jiwa yang dalam literatur tasawuf dan psikologi umum terlihat
begitu rumit serta jlimet, oleh Ki Ageng disederhanakan hanya sebatas rasa.
Karena rasalah daya yang mendorong semua makhluk untuk beraktivitas.
Kecerdasan
beliau akan lebih nampak jika disandingkan dengan Mulla Shadra, yang
mendefinisikan jiwa sebagai subbtansi yang zatnya non materi tetapi sangat
terikat dengan materi dalam aktivitasnya. Begitu juga dengan pengklarifikasian
jiwa. Jika Mulla Shadra dan Ibnu Sina menyebut gradasi jiwa dengan jiwa
tumbuhan, jiwa hewan baru jiwa manusia, Ki Ageng menyederhanakannya dengan rasa
dangkal, rasa dalam serta rasa sangat dalam.
Ketiga
level rasa diatas menurut Ki Ageng dapat dipelajari lewat tiga perangkat
inheren dalam diri setiap manusia. Pertama adalah panca indera. Kedua melalui
rasa hati, yakni rasa yang dapat merasa aku, merasa senang, merasa ada dan
sebagainya. Sedang yang ketiga dapat dipelajari lewat pengertian atau
pemahaman. Perangkat terakhir ini berfungsi untuk menentukan suatu hal yang
berasal dari panca indera dan perasaan.
Oleh
Ki Ageng, mempelajari rasa dalam diri sendiri atau pangawikan pribadi sama
halnya dengan mempelajari manusia dengan kemanusiaan. Karena bagaimanapun yang
mempelajari adalah bagian dari makhluk yang bernama manusia. Maka jika berhasil
mempelajari diri sendiri dengan tepat, secara otomatis juga berhasil
mempelajari manusia pada umumnya. Dengan demikian, alangkah eloknya jika
pembelajaran pangawikan pribadi dipelajari dari sekarang, disini serta penuh
keberanian menghadapai segalanya apa adanya.
Gradasi rasa
Keberadaan
kondisi yang bercorak hitam-putih terkadang memang masih membelenggu jiwa
manusia. Hal itu disebabkan manusia kurang menyadari keberadaan alam, yang oleh
Ki Ageng dibedakan menjadi empat gradasi. Pertama dimensi tunggal. Dimensi yang
berupa garis ini sebagai analogi untuk bayi, yang kemampuannya baru sebatas
merekam berbagai rangsangan dari luar dengan panca inderanya. Oleh Mulla
Shadra, tingkatan pertama ini disebut dengan jiwa tumbuhan.
Seseorang
dapat dikatakan memasuki gradasi kedua jika telah mampu mengorganisasikan atau
membentuk tipologi dari berbagai jenis rekaman di dalam ruang rasa. Dengan kata
lain, manusia pada tingkatan kedua ini mulai sedikit sadar untuk mengekspresikan
rangsangan-rangsangan dari luar maupun dari dalam dirinya sendiri. Namun dalam
bertindak tersebut tidak berdasarkan akal dan hati, sehingga akibat reaksinya
dalam menghadapi rangsangan sering melenceng. Tingkatan kedua ini disebut
sebagai benda dua dimensi atau jiwa bianatang.
Ketiga,
manusia tiga dimensi. Dalam fase ini, manusia sudah mampu memberdayakan akalnya
untuk berfikir, sehingga dapat memahami hukum-hukum alam. Namun tidak dengan
hatinya. Dengan demikian, manusia yang bertempat pada level ketiga ini hidupnya
didominasi oleh ego, atau yang oleh Ki Ageng diistilahkan dengan kramadangsa.
Kramadangsa
merupakan abdi dari berbagai tipologi rekaman yang minta diistimewakan. Karena
masing-masing rekaman yang tersimpan sejak lahir mulai saling menyikut agar
dapat posisi tertinggi diantra rekaman yang lain. Artinya, hidup pada ukuran
ketiga adalah ketika hidup hanya diabdikan pada semua rekaman dan berbagai
kebijakan pikiran yang mengorganisasikanya dalam ruang rasa.
Keempat,
manusia empat dimensi. Yakni manusia yang tidak hanya memiliki ukuran panjang,
lebar serta tinggi dalam dimensi ruang dan waktu. Namun manusia pada tingkatan
terakhir ini juga memiliki rasa yang dapat melintasi ruang dan waktu. Karena
selain kemampuan analisisnya telah sampai pada hukum alam, manusia ini juga
memiliki kebijaksanaan yang bersumber dari rasa. Rasa inilah yang oleh Ki Ageng
disebut sebagai rasa yang dapat berkembang, yakni rasa yang tidak mungkin dapat
dirasakan hewan, apalagi tumbuhan.
Pertarungan dan pembebasan
Dalam
buku ini juga terdapat bagan yang mengatakan bahwa, krenteg (gerak
hati) yang lahir dari dalam diri serta berasal dari rekaman ruang rasa memiliki
dua potensi. Pertama, manusia akan kembali pada level ketiga, yakni hidup dalam
kendali kramadangsa. Semisal marah. Jika dalam keadaan marah justru memikirkan
bagaimana cara melampiaskan marah, maka kembalilah manusi pada posisi ketiga.
Namun
sebaliknya, jika dalam keadaan marah yang terpikir adalah apa itu Marah,
bagaimana karakter dan apa tujuannya, maka manusia menuju ke tigkatan
tertinggi. Gradasi tertinggi ini adalah manusia yang telah terbebas dari
dominasi egonya sendiri dalam bertindak. Ukuran terakhir ini oleh Ki Ageng
disebut sebagai instrument dalam diri, yang berfungsi khusus untuk memotret
diri orang lain.
Keberhasilan
seseorang dalam meraih puncak rasa merupakan suatu keistimewaan tersendiri.
Karena jika bersinggungan dengan realitas (masyarakat), manusia tanpa cirri
akan selalu merasa damai sebab tidak harus berselisih. Manusia tanpa ciri
adalah manusia bumi yang mampu membumi.[*]
*) Presiden pada Association of Saber Unfold Fak. Ushuluddin UIN Suka.
*) Presiden pada Association of Saber Unfold Fak. Ushuluddin UIN Suka.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar