Judul: Malam
Judul Asli: La Nuit Penulis: Elie Wiesel Pengantar: Mochtar Lubis Penerjemah: Marianne Katoppo Penerbit: Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Edisi Kedua, 2005 Tebal: xx + 180 halaman ISBN: 979-461-022-4 |
IA
BANGKIT, sengaja. Berjalan ke cermin di ruangan itu, ia ingin tahu. Tiba-tiba,
kaget--tak percaya pada apa yang dilihatnya saat itu. Di dalam cermin,
dilihatnya sesosok mayat. Buruk, amat buruk wajah mayat itu. Dan ia takkan
percaya: wajah itu, wajahnya...
ELIE
WIESEL dilahirkan sebagai keturunan Yahudi. Ia adalah anak laki-laki
satu-satunya. Ketiga kakaknya perempuan semua. Masa kanak-kanaknya
dihabiskannya untuk mempelajari ajaran agama Yahudi, hingga memasuki masa
remajanya. Ayahnya, dikenal masyarakat sebagai seorang tokoh. Pelbagai kesulitan
banyak ditanyakan kepadanya, meski ayahnya itu bukan seorang rabi (pemuka
agama) Yahudi. Tak sedikit ternyata andilnya dalam menanamkan kepercayaan
Yahudi kepada Wiesel.
Sayang,
perang tiba-tiba meletus. Tentara Jerman banyak menangkapi orang-orang Yahudi;
mengirim, memusnahkan mereka di dalam kamp-kamp tawanan. Cuma celakanya,
orang-orang Yahudi di mana Wiesel tinggal, tak mempercayai kabar itu. Orang
yang menceritakan kabar itu disangsikan. Ada yang didustakan, malah! Termasuk
seorang rabi terkemuka di situ. Si rabi ini, padahal, pernah melihat dan
mengalaminya langsung. Beruntung saat itu ia dapat lolos, meski kakinya
tertembak, dengan pura-pura mati. Si rabi, yang kebetulan salah seorang guru
Wiesel, telah berusaha meyakinkan mereka. Pemusnahan cuma tinggal tunggu waktu.
Dan
terjadilah penangkapan itu. Wiesel dan orang-orang Yahudi di sekitarnya tak
menyangka bakal mengetahui banyak, melihat banyak tentang pemusnahan yang
dikabarkan itu. Sungguh, betap pahitnya, ketika sadar bahwa apa yang selama ini
didustakan bersama memang terjadi. Mereka ditawan semua, mereka merasakan
semua.
Pertama
kali yang dipisahkan dari Wiesel adalah ibu dan ketiga kakak perempuannya. Ia
berdua dengan ayahnya dipaksa bekerja untuk kepentingan perang Jerman. Berdua,
mereka sadar, mereka harus saling membantu dan menguati. Itulah cara bertahan
yang paling baik saat itu. Bekerja berarti membebaskan, demikian slogan itu
ditulis di depan kamp tawanan.
Untuk
hidup, tidak mudah. Mereka yang di bawah umur (baca: anak-anak), dikumpulkan
dan dikirim ke tempat khusus. Yang beruntung, cuma disuruh kerja. Yang sial,
dikumpulkan dan dikirmkan ke tungku pembakaran! Selain tungku, ada juga kamar
gas. Adapun mereka yang sudah tua, atau lemah atau sakit atau kelihatan lemah,
begitu pula. Bagi Jerman, yang dibutuhkan dari mereka adalah kerja dan kerja;
tak peduli betapa sedikit makanan yang tersedia, betapa buruk makanan yang ada.
Jumlah
orang-orang Yahudi yang satu kamp dipaksa kerja dengan Wiesel mulanya banyak.
Tapi di akhir itu, cuma segelintir. Ia lolos berkali-kali dari proses seleksi
yang dilakukan sewaktu-waktu. Seleksi itu sendiri seperti lotre;
untung-untungan. Ada yang pakai nomor, seperti undian berhadiah. Nomor-nomor
yang beruntung buat orang-orang yang mendapatkannya boleh hidup terus. Sedang
nomor-nomor sial, bak karcis pertunjukan musik. Ada juga dengan model barisan.
Yang di baris kiri, silakan terus, ke tempat pemusnahan...
WLADYLAW
SZPILMAN, dengan pengalamannya yang ditulis dan diterbitkan dengan judul The
Pianist (pertama kali terbit dengan judul Kematian Sebuah Kota), membuka mata
banyak orang tentang tragedi kemanusiaan yang menimpa orang-orang Yahudi semasa
Perang Dunia II. Bukunya itu laris. Sempat difilmkan oleh Roman Polanski,
bahkan. Di dalamnya, digambarkan betapa menyakitkan bila nyawa manusia tak ada
harganya. Szpilman memang selamat. Sebab ia berhasil lari dan sembunyi dari
maut yang mengancam, yang justru pernah “dirindukannya” ketika dulu melihat
keluarganya dikirim dan dimusnahkan begitu saja oleh Tentara Jerman.
Seperti
Szpilman, Wiesel menuliskan pengalamannya juga, dan terbit dengan judul Malam.
Bukunya pun laris. Apabila Szpilman dimasukkan ke kamp tawanan ketika telah
dewasa, maka Wiesel mengalaminya dalam usia remaja dan (bahkan!)
menghabiskannya sampai perang usai. Apabila Szpilman sejak pertama kali sudah
dipisahkan dari keluarganya, dari orang-orang yang dicintainya, maka Wiesel
masih bersama ayahnya--meski untuk akhirnya mati hanya beberapa minggu sebelum
perang usai. (Ayahnya itu mati karena sakit, dan Wiesel membiarkannya karena
tak mampu). Apabila Szpilman berhasil kabur dan lolos dari kejaran Tentara
Jerman, maka Wiesel cuma pasrah—mencoba bertahan untuk tak jatuh sakit dan tak
dikirim ke tempat pemusnahan.
Apa
yang ditulis Wiesel sebenarnya biasa saja. Gaya ceritanya nyaris datar. Namun
di situlah ironisnya. Tentang bau menyengat yang keluar dari tungku pembakaran
anak-anak Yahudi, ia bercerita seolah-olah bercerita tentang piknik keluarga
nun di suatu tempat yang ia tahu tempatnya. Padahal ini bakal jadi “mimpi-buruknya”
hampir seumur hidup.
Apa
yang ditulisnya itu hakikatnya adalah tentang kematian yang terus mengancam,
begitu dekat, begitu akrab, sesuatu yang sering tak-disadari, meski oleh banyak
orang. Maka, kematian, sungguh, adalah teman akrab kita. Ia hadir di mana saja.
Ia hadir kapan saja. Ia ada di rumah, di pertokoan, di mana saja kita berada.
Ia bisa datang ketika kita makan. Ketika membaca. Ketika tidur-nyenyak. Ketika
kita berjalan. Ketika bicara. Ketika sedang bercinta.
Namun
kematian yang ditulisnya itu adalah tragedi yang tak mudah dilupakan oleh umat
manusia, bagi yang pernah dan mau tahu akan hal itu. Untuk itu bahkan, The
Supreme Commander Tentara Sekutu, Dwight Eisenhower, ketika selangkah lagi
dapat membebaskan Jerman dari cengkeraman Hitler dan NAZInya, pernah
memerintahkan prajurit-prajurit Tentara Sekutu yang kebetulan sedang tak
bertugas untuk pergi ke kamp-kamp tawanan orang-orang Yahudi. Dalihnya, biar
semua orang yang pernah melihatnya tahu, tragedi itu benar untuk lalu menceritakannya
ke seluruh dunia. Dan memang, apa yang dilihat oleh prajurit-prajurit itu tak
lebih dari kumpulan mayat-mayat. Hanya saja, mayat-mayat itu ada yang menumpuk
tak bernyawa, ada yang berserakan-hidup dan berebut makanan.[*]
--Rimbun
Natamarga
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar