Judul
buku: Manusia Alquran; Jalan Ketiga Religiusitas
di Indonesia
Penulis: Prof Dr Abdul Munir Mulkhan Penerbit: Impulse, Yogyakarta Cetakan: I, 2007 Tebal: 369 halaman Peresensi: Ahmad Musthofa Haroen |
Al-Quran
bukan kitab yang bicara soal ketuhanan semata. Dalam banyak ayatnya, Tuhan
justru hadir bersama fenomena kesemestaan. Artinya, Tuhan dipahami dengan
membaca seluruh pertanda alam. Ketuhanan terpancar dari potensi ilahiah semua
makhluknya. Di sini, sebagai penafsir, manusia dianugerahi kemampuan menalar
dan merenung untuk menyingkap alam esoteris Al-Quran. Alam yang tak habis-habis
ditimba samudera maknanya, tak juga berbatas meski dijelajah seluruh ayatnya.
Meski
secara empiris, Al-Quran kini menjadi panduan keberagamaan umat Islam, namun
secara hakiki, kitab suci ini membawa misi yang universal. Al-Quran ditujukan
bagi rahmat semua umat dan dalam keseluruhan dimensi waktu. Sayangnya,
universalitas tersebut kini masih sebatas potensi. Umat Islam belum mampu
sepenuhnya menerjemahkannya dalam gagasan dan aksi nyata.
Mengapa
hal itu terjadi? Seringkali visi kesemestaan Al-Quran direduksi dalam aliran
pemikiran tertentu yang kemudian dipatenkan sebagai “kebenaran”. Ada begitu
banyak model penafsiran dan pendekatan yang dilembagakan dari generasi ke
generasi. Hal ini, pada gilirannya mempersempit ruang tak terbatas yang
dimiliki Al-Quran.
Seringkali
kita dapati beberapa penafsiran yang kebenarannya dianggap melebihi kebenaran
Al-Quran sendiri. Padahal, penafsiran hanya sebentuk upaya mendekati kebenaran
mutlak. Amat disayangkan jika yang terjadi justru sebaliknya, kebenaran mutlak
digantikan fanatisme yang memutlakkan cara pandang sepihak.
Sebagai
contoh, dari 6666 ayat yang termaktub, hanya sekitar 500-an ayat yang berbicara
tentang hukum. Secara kuantitatif saja, mengasumsikan Al-Quran sebagai
semata-mata kitab undang-undang yang legal-formal (kanonik) jelas
merupakan pemahaman yang kurang tepat. Sementara pihak, bahkan meyakini
Al-Quran sebagai kitab konstitusi yang menyeluruh (ad dustuur as syamil).
Sebagai sebuah varian epistemologis, pandangan tersebut sah-sah saja diterima,
namun setiap upaya untuk meletakkannya sebagai kebenaran mutlak harus ditolak.
Lewat
buku ini, Prof Dr Abdul Munir Mulkhan berupaya memberikan kontribusi bagi umat
untuk menggagas kembali visi dasar keberagamaan mereka. Ia ingin agar
dogmatisme yang kini menjadi penyakit akut keberagamaan bisa disembuhkan dengan
mengaca pada pengalaman kemanusiaan yang dipantulkan lewat setiap ayat
Al-Quran.
Manusia
Al-Quran
Dalam
Also Sprach Zarathustra, Friedrich Nietzsche (1844-1900) mendeklarasikan
kematian Tuhan dan memunculkan sosok imajiner manusia super (ubermensch)
sebagai penguasa dunia. Sesungguhnya, Nietzche sedang melancarkan kritik keras
pada kegagalan fungsi profetik dan keilahian (baca: agama) dalam membangkitkan
potensi individu pada zaman di mana Nietzche hidup. Lebih lanjut, kritik
Nietzche itu akan lebih efektif dan bernilai jika dipahami sebagai sumbangan
kritis bagi perilaku umat beragama.
Barangkali,
Nietzche tak sempat belajar mengaji. Bahkan, mereka yang mempelajari Al-Quran
sekalipun acapkali terjebak pada sikap untuk memonopoli kebenaran Al-Quran
secara sepihak. Di sini, sesungguhnya dibutuhkan kritik ke dalam (otokritik)
agar ruang pemikiran tetap terbuka. Kebenaran adalah sesuatu yang organik,
elastis dan tidak jumud. Justru keterbukaan memungkinkan kebenaran muncul dalam
wujud yang kreatif. Kebenaran hakiki tak bisa dimasukkan dalam “kandang
epistemologis” tertentu.
Otokritik
memberi peluang bagi manusia untuk terus menerus mempertanyakan kemanusiaannya.
Merujuk pada ajaran teologis, Muhammad diyakini sebagai simbol manusia yang
mencapai derajat kemanusiaan puncak. Kenabian dan kerasulannya adalah buah
pemahaman yang mendalam tentang kemanusiaan yang berujung pada pemanusiaan
manusia untuk rahmat semesta.
Ketika
ia menyendiri di gua Hira pada pertengahan Ramadhan, apa yang dilakukannya
adalah otokritik reflektif. Ia gundah dengan kehidupan masyarakat Mekah yang
melanggengkan praktik penindasan bagi kaum perempuan, perbudakan yang tak
manusiawi hingga kapitalisme yang hanya menguntungkan para saudagar. Ia
berusaha keras mencari cara untuk mendobrak kebekuan itu.
Ketika
Jibril mendatanginya untuk menyampaikan wahyu pertama, Muhammad didorong untuk
memelihara sikap kritis dengan ayat iqra’ (bacalah dengan nama
Tuhanmu!). Peristiwa 14 abad yang lalu itu menunjukkan bahwa daya dobrak sosial
tak akan terjadi tanpa otokritik pada tahap awal mula. Hal itu tercermin di
kemudian hari, tatkala Muhammad berhasil mengubah sistem kebudayaan masyarakat
Mekah-Madinah menjadi lebih menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Di sini, agama
mengambil peran penting dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang adil dan
egaliter.
Iman
sendiri adalah dimensi paling medasar dalam keberagamaan seseorang. Lebih jauh,
iman tak hanya soal pernyataan keyakinan terhadap Tuhan secara verbal, namun
juga menyangkut daya kritik terhadap eksistensi manusia sendiri dan alam tempat
dia hidup. Tanpa kritisisme, keimanan tak lebih dari cara pandang mekanistik
semata, semacam robot yang tak punya cara pandang organik.
Iman
yang beku akan melahirkan religiusitas yang beku pula. Kebekuan tersebut amat
riskan menjadi alat pembenar bagi perilaku yang zalim. Fungsi agama kemudian
berubah menjadi justifikasi tindakan-tindakan koruptif. Dosa para elit agama
adalah saat mereka melakukan sejumlah rekayasa penafsiran untuk
kepentingan-kepentingan politik yang pragmatis.
Wajar
jika pada tataran ini, banyak intelektual merasakan perlunya pemisahan otoritas
fungsi agama dan negara. Meminjam istilah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), agama
adalah inspirasi dan bukan aspirasi. Inspirasi berarti agama menyumbang
tegaknya nilai kemanusiaan dalam sistem sosio-kultural. Sementara, aspirasi
berarti hasrat politis untuk memanipulasi agama menjadi sesuatu yang
legal-formal, serba institusional dan, naga-naganya, menghendaki berdirinya
negara agama.
Inilah
yang membuat resah Profesor Munir saat ia merasa perlu menyebut jalan ketiga
religiusitas di Indonesia. Jalan pertama adalah saat agama dikooptasi negara,
sehingga ia menjadi stempel kebijakan semata. Sedang, jalan kedua ialah ketika
agama masuk dalam ‘kandang kebenaran’ yang dilembagakan lewat afiliasi politik,
kelompok dan organisasi yang memuja klaim kebenaran. Adapun jalan ketiga adalah
ketika fungsi profetik dan keilahian dikembalikan pada otoritas personal untuk
menghayati keberagamaan secara kritis dan terbuka.
Agaknya,
jalan ketiga ini masih cukup terjal dilewati. Namun demikian, semangat reformis
Muhammad akan menjadi daya dobrak untuk menggugat segala macam bentuk
manipulasi yang zalim. Pertanyannya, cukup sadarkah umat Islam Indonesia untuk
melakukannya? [*]
*) Peresensi adalah aktivis Mbok Danang Center for Society, Yogyakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar