Judul:
Massa, Teror dan Trauma;
Menggeledah Negativitas Masyarakat
Kita
Peresensi: Fajar Kurnianto Penulis: F Budi Hardiman Penerbit: Lamalera dan Ledalero, Yogyakarta Tahun: I, Januari, 2011 Tebal: xlviii+234 halaman |
Kekerasan massa
dalam berbagai bentuk dan motifnya belum benar-benar sirna di negeri ini.
Melalui buku ini, F Budi Hardiman mencoba membaca fenomena kekerasan massa
dalam perspektif filsafat bahwa kekerasan massa tidak lahir tanpa sebab.
Sebab yang tidak
hanya terkait dengan konteks sosial, tapi juga konteks kedirian manusia, yakni
individu para pelaku kekerasan itu sendiri. Diri yang tidak semata-mata dibaca
sebagai wujud fisik (tubuh), tapi juga nonfisik yang berkait erat dengan aspek
psikologi dan mental.
Kekerasan di
antaranya berakar dari adanya heterofobia, perasaan takut akan “yang lain”.
Sebuah ilustrasi menarik dipaparkan Hardiman. Pada 1999, fotografer Konrad R
Mueller mengambil beberapa foto di Museum Sejarah Kedokteran Berlin Charite.
Foto-foto yang kemudian dipamerkan itu terlihat ganjil: sosok-sosok janin
terdeformasi bermata satu, berwajah tua, tanpa hidung, bungkuk, dan seterusnya.
Gambaran kerusakan parah yang nyaris melenyapkan ciri-ciri kemanusiaan di
dalamnya.
Inilah contoh
terbaik yang menjadi titik pijak untuk melihat persoalan heterofobia.
Sosok-sosok terdeformasi itu begitu lain, tidak lazim, dan keluar dari standar
normal yang dapat disebut sebagai manusia. Orang-orang yang melihatnya sekejap
akan timbul perasaan jijik, ngeri, dan penasaran. Secara sederhana, itulah yang
disebut dengan “yang lain”. Ia “lain”, meski jenisnya sama-sama manusia. Orang
yang heterofobia cenderung melihat “yang lain” sebagai ancaman.
Ada stigma yang
memblokade manusia untuk membatasi kontak sosial dengan “yang lain” itu.
Heterofobia adalah salah satu masalah karena dari sinilah—menurut
Hardiman—bersumber kegagapan terhadap kelainan di luarnya. Analisis struktural
dan mental juga digunakan Hardiman untuk melihat kekerasan massa. Ada banyak
teori tentang massa, antara lain Gustave Le Bon (bapak psikologi massa), dan
dua muridnya: Sigmund Freud dan Ortega Y Gasset. Teori-teori mereka bertitik
pada sisi mentalitas, melihat massa dengan pendekatan mental.
Ini berbeda dengan
teori-teori Marxis yang melihat massa dengan pendekatan strukturalistis bahwa
massa beraksi tidak melulu karena emosi, tapi “strategis”: mengikuti
kepentingan-kepentingan kelas yang bersifat objektif. Dengan demikian, aksi
massa bersifat rasional. Hardiman lebih cenderung pada teori “tindakan
kolektif” model Bader bahwa massa tidak melulu digerakkan oleh kemarahan,
frustrasi, agresi, kebencian, atau ketidakpuasan seperti binatang buas yang
lapar (pendekatan mental).
Mereka juga tidak
murni mengikuti orientasi strategis yang melekat pada kepentingan-kepentingan
mereka. Aksi massa bukanlah “perilaku kolektif”, juga bukan “akibat logis” dari
mekanisme-mekanisme struktural. Teori “tindakan kolektif” melihat aksi massa
sebagai “tindakan”. Jika “perilaku” berkenaan dengan spontanitas naluriah,
“tindakan” menyangkut kesadaran manusiawi (hlm 79). Kekerasan massa menurut
teori “tindakan kolektif” adalah buah-buah ketidakadilan sosial (hlm 107). [*]
*) Fajar Kurnianto,
Alumnus UIN Jakarta
Sumber:
Koran Jakarta, 19
April 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar