Judul
Buku: Maumu Apa, Malaysia?
Penulis: Genuk Ch. Lazuardi Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Cetakan: Pertama, November 2009 Tebal: xxii + 200 halaman
Peresensi:
Mohamad Ali Hisyam
|
Kasus Manohara,
model cantik berdarah Sulawesi yang tak pernah sepi diekspos media massa,
menjadi bumbu menarik dinamika hubungan bilateral antara Indonesia dan
Malaysia. Konflik Manohara dengan mantan suaminya, Tengku Fahri, pangeran
Kerajaan Kelantan, yang terus berlarut, melengkapi serangkaian dentuman kasus
yang selama ini mewarnai ”panas dingin” relasi kedua negara serumpun itu.
Belakangan, negeri
jiran tersebut kerap dituding sebagai ”benalu” yang acap membuat rakyat
Indonesia gerah dan bahkan marah. Peristiwa perebutan blok Ambalat, klaim Pulau
Sipadan-Ligitan, pengakuan ikon budaya Nusantara seperti reog Ponorogo, tari
pendet, batik, hingga lagu Rasa Sayange merupakan contoh upaya mereka mencaplok
khazanah sosial-budaya milik kita. Belum lagi ingatan akan perlakuan arogan
mereka terhadap ratusan ribu tenaga kerja Indonesia (TKI) di sana serta
bagaimana secara ”ideologis” warga mereka (Dr Azhari dan Noordin M. Top)
mengacak-acak negeri ini dengan doktrin terorismenya. Di mata khalayak, hal itu
terkesan sengaja memantik permusuhan dengan beragam cara yang provokatif.
Benarkah demikian?
Buku Maumu Apa,
Malaysia? ini dengan lugas menjawab berbagai kebingungan serta pertanyaan
seputar hubungan Indonesia-Malaysia itu, lebih-lebih selama tiga tahun
terakhir. Pada sejumlah hal, harus diakui bahwa Malaysia langsung maupun tidak
telah dengan sadar mengajak berkonfrontasi. Dalam soal perebutan wilayah,
misalnya, tak dapat disangkal mereka berupaya merusak harmoni dan kesepakatan
yang sudah ada. Dari sini, stereotip negatif tentang mereka melekat di benak
masyarakat kita.
Namun, juga mesti
disadari, terdapat beberapa hal yang sebenarnya sumbu konfliknya hanya dipicu
oleh kesalahpahaman dalam mengamati duduk perkara suatu persoalan. Yang
menarik, buku ini berusaha menyuguhkan data dan argumen yang berimbang ihwal
perselisihan kedua negara yang selama ini berlangsung. Genuk Ch. Lazuardi
dengan tekun merekam secara runtut aneka persoalan yang menjadi biang konflik
Indonesia-Malaysia lewat gaya pemaparan yang khas, renyah, dan ringan dicerna.
Melalui ilustrasi
dari beragam sudut, Genuk mencoba menggambarkan wajah masyarakat Indonesia di
negeri berpenduduk 27 juta tersebut secara detail. Lewat ilustrasinya, secara
tidak langsung pembaca akan dibawa memahami dan menelisik dari dekat bagaimana
keberlangsungan hidup komunitas Indonesia di sana serta bagaimana pula orang
Malaysia memperlakukan mereka. Sebagai jurnalis yang telah tiga tahun berkarir
di Malaysia, dia mengajak kita berkeliling melihat peta Malaysia dari lensa
yang paling jernih dan diambil langsung dari jantung permasalahan, yakni
suka-duka rakyat Indonesia bertarung menyabung hidup di negeri seberang.
Layaknya karya
reportase, investigasi reflektif yang dihadirkan buku ini melaporkan apa adanya
keseharian rakyat kita di negara kaya minyak itu. Setidaknya, laporan tersebut
terungkap dari empat sisi, yaitu hegemoni Indonesia di belantika hiburan
Malaysia, dominasi TKI dalam dunia kerja, urat akar sejarah Indonesia dalam
budaya Melayu, serta keampuhan diplomasi musik dan kuliner Nusantara di sana.
Bila diurai, benang
kusut hubungan tersebut lebih disulut maraknya ketidakpahaman
(misunderstanding) serta salah persepsi (misperception) masing-masing pihak.
Sekadar contoh, kasus heboh seputar klaim tari pendet dan reog Ponorogo yang
sempat disemprotkan kepada Malaysia ternyata lebih disebabkan sikap salah paham
terhadap ekspresi berbudaya orang-orang Melayu, termasuk masyarakat Indonesia
yang tinggal di Malaysia. Selama ini, aktivitas kesenian komunitas Indonesia di
negara yang merdeka pada 1957 itu selalu mengusung tema dan simbol-simbol
Nusantara.
Orang-orang
keturunan Jawa di sana, misalnya, terbiasa mengadakan seni wayang, reog, dan
semacamnya. Begitu juga dari etnik yang lain. Kekayaan multietnik kita
diapresiasi dan diekspresikan dengan baik dan lestari di sana. Lantas, mengapa
kita tidak malah bangga dan justru merasa dicaplok? Sebagai perbandingan,
atraksi seni barongsai yang asli Tiongkok dikenal sangat masyhur di Singapura.
Seakan-akan barongsai adalah ikon mereka dan dalam banyak acara mereka
menampilkannya dengan leluasa. Lalu kenapa orang-orang Tiongkok tidak pernah
mempermasalahkannya? Sebaliknya mereka bangga, kebudayaan mereka bisa eksis di
negeri orang.
Yang jelas,
kesenjangan informasi dan ketimpangan data plus nuansa ”ego nasionalisme”
sektoral merupakan faktor dari berbagai kesalahpahaman yang terjadi selama ini.
Padahal, bila kita telaah sejarah, kedua bangsa itu adalah ”alam Melayu” yang
diikat kesatuan politik dan budaya yang sangat erat. Jalinan sosial kedua
bangsa sangat harmonis, kendati sempat diwarnai fluktuasi konfliktual. Migrasi
besar penduduk Nusantara ke Malaysia menyebabkan begitu banyak orang Melayu di
sana berasal dari Indonesia. Contoh paling mutakhir, perdana menteri Malaysia
saat ini, Datuk Najib Razak, adalah keturunan Bugis-Makassar dari raja Gowa
ke-XI.
Sukar dimungkiri,
sebagai bangsa serumpun, keduanya memiliki beragam ”perekat”. Kedekatan
geografis, kemudahan askses, serta kemiripan bahasa dan budaya adalah modal
positif untuk membangun kembali harmoni di antara keduanya. Menurut sejarawan
Asvi Marwan Adam, sejarah pernah mewartakan, bagaimana Ibrahim Jacoob dan Bung
Karno pernah menyetujui gagasan dibentuknya negara Indonesia Raya, wujud
penyatuan Indonesia dan Malaysia. Walau sayang, ide itu akhirnya gagal
terwujud.
Pada aras demikian,
buku ini bisa dimaknai sebagai ikhtiar merekatkan kembali keretakan sosial yang
akhir-akhir ini mewarnai hubungan Indonesia-Malaysia. Sudah saatnya kita
memandang polemik sebagai ajang pendewasaan bagi proses persaudaraan. Warga
Indonesia jangan lagi memandang Malaysia semata dari kacamata kisah-kisah miris
TKI sembari melupakan sisi positif di dalamnya. Sementara itu, Malaysia sudah
waktunya membuang stigma 3D (difficult, dirty, dangerous) kepada TKI dengan
memberi penghargaan yang pantas dan manusiawi.
Kendati penulis
berprofesi sebagai pekerja di Malaysia, ulasan-ulasan dalam buku ini jauh dari
kesan apologis yang cenderung membela Malaysia. Dia menyajikan pemahaman dan
fakta-fakta aktual seputar hubungan kedua negara melalui optik yang netral.
Kelengkapan data, variasi topik, serta kemahiran mengulas masalah menjadikan
buku ini menarik dibaca dan tepat dijadikan referensi bagi calon tenaga kerja,
pelaku bisnis, hingga pelajar dan mahasiswa yang hendak studi dan berkarir di
Malaysia. (*)
*) Pengajar di
Universitas Trunojoyo Madura
Sumber:
JawaPos, 3 Januari
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar