Judul:
Mayan
Penulis:
Sanie B. Kuncoro
Terbit: Januari 2009 Penerbit: Bentang Halaman: 214
Peresensi:
Sidik Nugroho
|
TAHUN lalu Tiongkok
sukses besar menjadi tuan rumah olimpiade. Mata dunia terbelalak ketika pesta
skala dunia itu tergarap apik nan gemilang. Namun, negara mahabesar itu masih
menyimpan warga yang hidup dalam penderitaan dan kelaparan. Masih ada sebuah
desa, Zhangjiashu namanya, yang di abad 21 ini membawa kisah perjuangan sebuah
keluarga yang layak nian untuk dihayati.
Ma Yan, gadis beranjak
remaja di Desa Zhangjiashu, suatu ketika dimarahi habis-habisan oleh ibunya
karena gagal dalam ujian bahasa Tiongkok, mata pelajaran terutama di
sekolahnya. “Setelah semua kerja keras yang kita lakukan, hanya inikah
hasilmu?” tanya ibunya dengan sengit.
Ibunya kemudian
memarahi dia dengan kata-kata yang bagi Ma Yan cukup pedas di telinga.
“Kalimat-kalimat kemarahan ibu, alangkah tajamnya, barangkali lebih tajam dari
pisau pengerat daging terkeras sekalipun,” cerita Ma Yan.
Dalam kekesalannya,
sang ibu sempat berujar kalau Ma Yan sebenarnya tak layak mendapat roti buatan
ibunya. Nilai ujian Ma Yan tak sebanding dengan pengorbanan ibunya. Namun, tak
terduga, ibunya malah bersikap lain tak lama setelah amarah besar itu.
Diam-diam, lewat bibi Ma Yan, ibunya mengirimkan beberapa buah donat yang
nikmat, dan baju hangat untuk melindungi Ma Yan dari hawa dingin.
Ketika melihat
donat dan baju hangat itu, Ma Yan tak kuasa menahan diri dari tangis. Betapa
besar kasih seorang ibu. Anak yang benar-benar dimarahi, benar-benar disayangi
pula!
Kisah-kisah yang
menyentuh seperti di atas menghiasi banyak halaman novel ini. Hanya saja,
hampir selalu dilampiri dengan khotbah tentang hakikat hidup dan perjuangan
meraih mimpi oleh penulisnya. Itulah yang sedikit mengganggu, sehingga
iming-iming di sampul belakang buku yang menyatakan bahwa “novel ini akan
membuat Anda berurai air mata”, terkesan sedikit berlebihan. Kita tampaknya —
tentunya tanpa sengaja dilakukan oleh penulis — diberi ruang terbatas untuk
tenggelam dalam imaji yang penuh, karena muatan yang hampir sama besar dengan
jalinan kisah di sepanjang buku ini adalah khotbah dan renungan dari para
pencerita.
Para pencerita di
novel ini ada tiga. Pertama, Ma Yan. Ia tekun menulis catatan perjuangannya
meraih pendidikan. Kedua, ibunya. Ketiga, penulis sendiri, yang dalam hal ini
lewat pemetaan renungan dan pemikiran Pierre Haski, jurnalis Prancis yang suatu
ketika mampir ke Zhangjiashu. Nah, bila novel ini memang merupakan suatu kisah
nyata, pilihan penulis untuk memasukkan tiga pencerita agak berlebihan. Sebab,
kisah ini awalnya adalah catatan-catatan Ma Yan. Setelah mengalami konflik yang
cukup berat untuk bertahan sekolah, ibunya bertemu dengan Pierre Haski. Ia
serahkan catatan-catatan itu, lalu jadilah kisah ini.
Bila catatan-catatan itu kemudian dirajut menjadi sebuah tulisan dari
sudut pandang Pierre Haski dan Ma Yan saja, tentu akan lebih pas. Ibu Ma Yan
tak memiliki catatan apa pun, bahkan tidak bisa baca-tulis, bagaimana mungkin
penulis bisa menggambarkan isi benaknya sedemikian banyak di dalam novel?
Juga, yang menjadi
tanya besar: bagaimana kisah ini sampai di tangan Sanie B. Kuncoro? Apakah
Sanie bertemu dengan Pierre Haski di Prancis, lalu mereka kemudian ke Tiongkok
mewawancarai lagi Ma Yan dan keluarganya? Kita tidak tahu. Sangat disayangkan,
proses kreatif ini tidak disampaikan dalam bab awal, prolog, atau catatan
akhir, atau apalah. Hingga bagian akhir, yang ada hanyalah adegan manis kala
Pierre Haski mengikuti seorang ibu dan anak yang berjalan bergandengan tangan.
Gandengan tangan yang mengingatkannya pada tangan ibu Ma Yan, yang terkisah di
dalam novel sebagai tangan berwarna tembaga, akibat lelah dan panas ditempa
kerja keras dan sinar mentari.
Terlepas dari
kekurangan-kekurangan itu, novel ini tergarap dengan bahasa yang sangat rapi.
Detail-detail tentang kondisi alam, pergantian musim, dan mata pencaharian para
penduduk Zhangjiashu dikisahkan dengan menarik dan wajar.
Selain itu, cerita
perjuangan ibu dan ayah Ma Yan di novel ini menyentuh hati. Rasanya banyak
orang telah tahu kegigihan orang-orang Tiongkok. Mereka terkenal tegar, selain
gigih, dalam menghadapi berbagai kemelut hidup. Bila Anda pernah menyaksikan
film indah besutan Zhang Yimou berjudul Not One Less yang mengisahkan kegigihan
dan ketegaran seorang guru muda dalam mendidik anak-anaknya yang nakal di suatu
pedalaman Tiongkok, maka Ma Yan mengisahkan kegigihan dan ketegaran seorang
gadis beranjak remaja dalam menempuh pendidikan.
Dan, kekuatan niat
menempuh pendidikan itu juga dirangkai dengan kisah kekuatan doa. Suatu malam
Ma Yan menjalankan salat tahajud ketika menyerahkan ibunya kepada Tuhan, agar
senantiasa dilindungi. Ibunya harus menempuh perjalanan 400 kilometer menuju
perbatasan Ning Xia dan Mongolia Dalam, diangkut dengan traktor, mencari uang
untuk anaknya itu. Kasih ibu sepanjang jalan, membuat Ma Yan menghaturkan
doanya dengan sujud syukur nan penuh harapan.
Dan, ketika kasih
ibu sepanjang jalan dinyatakan, mukjizat demi mukjizat pun terjadi dalam
keidupan Ma Yan dan keluarganya lewat doa-doa yang dihaturkan kepada Sang
Pemilik Hidup. (*)
Sumber:
Jawa Pos, 22 Maret
2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar