Judul
Buku: Membonsai Hipertensi
Penulis: Dr Djoko Santoso SpPD K-GH PhD Penerbit: Jaring Pena, Surabaya Cetakan: Pertama, 2010 Tebal: xxii + 186 halaman
Peresensi:
Djoko Pitono
|
Seorang jurnalis
sebuah harian nasional di Kalimantan tiba-tiba meninggal dunia pada Juli 2010.
Laporan-laporan awal menyebutkan, ada kemungkinan jurnalis itu dibunuh. Namun,
kemudian polisi memastikan bahwa jurnalis berinisial S itu meninggal karena
hipertensi.
”Dari fungsi organ
dalam ditemukan pecah pembuluh darah otak atau di kepala bagian belakang akibat
tekanan darah tinggi atau hipertensi,” kata Kapolres Balikpapan AKBP Aji Rafik.
Dalam waktu yang
tak terpaut jauh sebelumnya di Mojokerto, seorang jurnalis lain meninggal dunia
setelah mengalami gagal ginjal akibat penyakit darah tinggi alias hipertensi
yang diidapnya. Sang jurnalis tersebut baru berusia 44 tahun.
Kematian akibat
penyakit hipertensi memang sering datang tiba-tiba. Sebagian kalangan pun
menyebutnya sebagai The Silent Killer, ”pembunuh diam-diam”. Gejalanya sering
tidak tampak dan penderitanya sering pula tidak merasa kesakitan sebelumnya.
Sebab, banyak penderita hipertensi yang menyepelekannya.
Beberapa kalangan
mengemukakan tulisan tentang Sushruta pada abad ke-16 SM (sebelum Masehi)
sebagai referensi pertama yang menyebut gejala penyakit seperti hipertensi.
Namun, sebagian lainnya menunjuk deskripsi-deskripsi sebelumnya, bahkan 2.500
tahun sebelum masa Kristus. Tokoh-tokoh terkenal seperti Kaisar Kuning di
Tiongkok, Cornelius Celsus, Galen, dan Hipokrates disebut punya resep
penyembuhnya.
Dewasa ini
penderita hipertensi luar biasa banyaknya. Penulis buku ini mencatat, hampir
satu miliar orang di seluruh dunia menderita hipertensi. Setiap tahun penyakit
ini menjadi penyebab nomor 1 di antara 7 kematian. Berdasar data WHO, dari 50
persen penderita hipertensi, hanya 25 persen yang memperoleh pengobatan dan
hanya 12,5 persen yang dapat diobati dengan baik. Padahal, jika tidak segera
diobati, hipertensi berpotensi merusak fungsi jantung, otak, saraf, dan ginjal.
Penulis juga
mengutip data survei kesehatan rumah tangga (SKKT) pada 2000 bahwa kematian
akibat penyakit jantung dan pembuluh darah di Indonesia sebesar 26,3 persen.
Sedangkan berdasar data di rumah sakit pada 2005 sebesar 16,7 persen kematian
disebabkan hipertensi. Faktor risiko utama penyakit jantung dan pembuluh darah
adalah hipertensi, di samping hiperkolesterolemia dan diabetes melitus.
Melihat potongan
data-data tentang penyakit hipertensi itu saja, kemudian mendapati begitu
banyaknya orang-orang sekeliling kita yang terpuruk kesehatannya akibat
hipertensi, memang terasa mengerikan. Namun, buku ini akan membuat pembaca
lebih waspada sekaligus percaya diri dalam menjaga kondisi kesehatannya.
Dalam 18 bab,
dokter spesialis penyakit dalam yang meraih gelar PhD in Clinical Nephrology
dari Graduate School of Medicine di Juntendo School of Medicine, Tokyo, itu
menjelaskan secara rinci ihwal tekanan darah tinggi berikut seluk-beluknya yang
berkaitan dengan tubuh manusia.
Djoko Santoso
menyatakan, sebagian besar efek buruk hipertensi dapat dicegah jika tekanan
darah dipertahankan ke tingkat normal dengan pendekatan farmako terapi (terapi
obat-obatan) dan life style, termasuk pengendalian kebiasaan merokok,
hiperkolesterolemia, dan diabetes.
Dia menjelaskan
secara rinci pula organ-organ yang sering menjadi sasaran hipertensi, seperti
otot jantung, pembuluh darah koroner, pembuluh arteri tubuh lainnya, otak,
ginjal, dan mata. Dia memaparkan pula cara mengungkap hipertensi, tentang garam
dan kaitannya dengan hipertensi, tentang obesitas, kolesterol, dan wanita hamil
yang menderita hipertensi.
Bagi mereka yang
merasa ngeri membayangkan orang yang terserang stroke, bab 3 buku ini sangat
penting. Apalagi, dipaparkan pula soal gangguan otak, tiga jenis stroke,
gangguan pada ginjal, dan komplikasi hipertensi. Di antara tiga jenis stroke
itu, stroke hemorrhagic paling mengerikan.
Diterangkan, ketika
tekanan darah cukup tinggi, pembuluh arteri dapat pecah sehingga mengakibatkan
pendarahan ke otak. Tipe keluhan ini, menurut Djoko, sering berupa nyeri kepala
hebat bahkan kadang tidak sadarkan diri diiringi suara napas ngorok. ”Karena
tengkorak sifatnya tidak akan berubah, maka kebocoran cairan darah ke otak
meningkatkan tekanan dalam rongga kepala dan mengakibatkan kerusakan otak secara
langsung,” tulis Djoko.
Tipe stroke itulah
yang tampaknya dialami jurnalis di Kalimantan seperti dikutip kasusnya di awal
tulisan. Contoh lainnya tentu banyak. Bagi penggemar sejarah, mereka mungkin
teringat sejumlah tokoh besar dunia yang meninggal dunia akibat stroke. Seorang
di antaranya adalah Franklin D. Roosevelt (1882-1945), salah seorang presiden
Amerika Serikat.
Petunjuk-petunjuk
terapi dijelaskan penulis, antara lain, melalui obat-obatan dan modifikasi
(perubahan) gaya hidup. Para penderita hipertensi yang merokok dan minum
minuman keras, misalnya, harus menghentikan atau paling tidak mengurangi.
Mereka yang biasa makan makanan yang gurih (bergaram tinggi) dan berkolesterol
tinggi juga harus mengubahnya dengan prinsip makanan seimbang. Semua ditulis
secara rinci, termasuk jumlah kalori, jenis makanan, jadwal makan, menu makanan
dan minuman, serta pembatasan garam, alkohol, dan kafein.
Sebuah buku yang
sangat penting, mudah diikuti pula. Buku yang mengingatkan kata-kata Hipokrates
(460 SM-377 SM): ”Orang bijak hendaknya sadar bahwa kesehatan adalah berkah
paling berharga bagi manusia dan dia belajar dengan pikirannya sendiri
bagaimana memperoleh manfaat dari pengalaman sakitnya.” (*)
*) Djoko Pitono,
Jurnalis dan editor buku
Sumber:
JawaPos,
19 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar