Judul:
Mbah Manab, Mbah Marzuqi, dan Mbah Mahrus;
Kesan Mendalam Para Tokoh Alumni
Terhadap Tiga Tokoh Lirboyo
Penyusun: Tim FORMAL Jakarta Tebal: xxii+326 hlm., 14x21 cm Penerbit: Jausan Cetakan: I, Juli 2010 Peresensi: A. Khoirul Anam *) |
Ada
yang sangat menarik diamati dari Pondok Pesantren Lirboyo, yakni jumlah
santrinya yang luar biasa banyak. Para peneliti pendidikan mungkin menilai ini
tidak masuk akal. Bagaimana tidak, kamar-kamar santri pun tidak muat untuk
ditempati tidur, dan para santri malahan rela tidur di emperan masjid bahkan
sampai di tempat jemuran. Konon magnet Pesantren Lirboyo yang begitu kuat
sehingga banyak santri tertarik belajar ini merupakan hasil dari tirakat para
pendiri pesantren ini, Kiai Abdul Karim, Kiai Marzuqi Dahlan dan Kiai Mahrus
Ali.
Santri
yang tinggal di Pondok Pesantren Lirboyo kini mencapai lebih dari sepuluh ribu
santri yang tersebar di seluruh penjuru negeri, bahkan sampai ke Malaysia dan
Singapura. Sementara para alumninya tak terhingga jumlahnya dan telah berkiprah
di berbagai bidang.
Menyambut
peringatan satu abad pondok pesantren Lirboyo, yang acara puncaknya akan
digelar pada Juli 2010 ini, Forum Mahasiswa Santri dan Alumni Lirboyo (FORMAL)
mempersembahkan buku bertajuk “Mbah Manab, Mbah Marzuqi, dan Mbah Mahrus;
Kesan Mendalam Para Tokoh Alumni Terhadap Tiga Tokoh Lirboyo”. Buku ini
dimaksud untuk menyempurnakan buku Tiga Tokoh Lirboyo yang telah ada
namun lebih fokus pada uraian pengalaman para alumni tentang tiga tokoh dan
berbagai pengalaman para alumni pada saat belajar di Pesantren LIrboyo.
Tak
kurang Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj menceritakan pengalamannya di buku
ini, yakni ketika ia belajar di Pondok pesantren Lirboyo pada 1968 – 1971
silam. Waktu itu, dan mungkin sampai sekarang, para santri itu hidup sangat
sederhana, apa adanya. Para santri tidur di plester (lantai) tanpa bantal, lalu
minum dengan air sumur yang selalu aktif dan tidak pernah berhenti dipakai oleh
para santri. “Namun di sisi lain kita semua waktu itu sangat mencintai ilmu.
Kita belajar tidak karena terpaksa, bukan karena pengakuan formal, ingin
mendapat ijazah, bukan. Kita ingin hafal Alfiyah, Imriti, atau Faraidhul
Bahiyah, pokonya hafal semua pelajaran. Waktu itu tidak ada ijazah. Kita ingin
hanya menjadi orang alim saja, tidak membayangkan setelah lulus kita akan
diterima kerja di mana.”
Kang
Said dalam buku ini mengaku mendapat banyak perbendaharaan atau khasanah ilmu.
Kiai Mahrus dan Kiai Marzuki telah memberikan ilmu, khazanah yang cukup banyak.
”Minimal santri jebolan Lirboyo sudah mengaji Mugni Labib, Ghoyatul Wusul, dan
Fathul Wahab,” katanya membanggakan Pesantren Lirboyo.
KH
Musthofa Bisri (Gus Mus) juga menceritakan pengalamannya. Kisah yang paling
menarik ketika berada di Lorboyo adalah ketika Gus Mus mengumpulkan
teman-temannya untuk mencuri tebu Kiai Marzuki.
Gus Mus mengumpulkan kawan-kawan sebayanya. Waktu itu dia mendengar informasi besok tebu kiai ini mau ditebang. “Sebelum ditebang mari kita ngambil. Waktu mau berangkat, Kiai Marzuki yang pada waktu itu gak pake baju, ketemu saya dan rombongan. Beliau berkata, “Gus..Gus.. mriki Gus!”
Gus Mus mengumpulkan kawan-kawan sebayanya. Waktu itu dia mendengar informasi besok tebu kiai ini mau ditebang. “Sebelum ditebang mari kita ngambil. Waktu mau berangkat, Kiai Marzuki yang pada waktu itu gak pake baju, ketemu saya dan rombongan. Beliau berkata, “Gus..Gus.. mriki Gus!”
Ternyata
Kiai sudah tahu kalau para santrinya akan mencuri tebu. “Padahal saya mau nyuri
tebunya beliau, kok pertanyaan pertama kali yang beliau sampaikan malah seperti
itu. Pak plong gitu loh.. Saya diam saja. Saya gak bisa menjawab. Orang saya
mau nyolong tebunya. Kemudian beliau masuk ke rumah, ke ndalem, dan keluar itu
sambil membawa sak gompok tebu, yang bagus-bagus. Jadi kami gak jadi nyolong
karena sudah dikasih,” cerita Gus Mus.
Banyak
aspek yang diceritakan dalam buku ini. Para narasumber tidak hanya bercerita
pengalaman belajar tetapi juga misalnya tentang berbagai aspek kekerabatan di
kalangan para kiai. KH Imam Yahya Mahrus, putra tertua Kiai Mahrus dalam buku
ini bercerita tentang ihwal perjodohan Kiai Abdul Karim pendiri Pesantren
Lirboyo dengan putri Kiai Sholeh. Kiai Hasyim Asy’ari lah yang menyebabkan
terjadinya perjodohan ini.
Hubungan
Kiai Abdul Karim dengan Kiai Hasyim Asyari itu berawal dari Bangkalan. Pada
waktu itu, beliau sama-sama berguru ke Mbah Kholil. Beberapa tahun kemudian,
Kiai Abdul Karim mengunjungi Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh Kiai Hasyim,
dan tiba-tiba Kiai Sholeh datang dan bertanya ke Kiai Hasyim. “Mana calon
menantu saya,” kata Mbah Sholeh menagih. Kiai Hasyim pada waktu itu dengan
enteng langsung memanggil “Kang Manab!, Kang Manab! (nama kecil KH Abdul Karim)
Ini loh Mbah Sholeh, calon mertuamu.” Nah, sederhana saja, dari situlah Mbah
Sholeh mengambil Kiai Abdul Karim sebagai menantunya.
Kiai
Abdul Karim sebagai pendiri utama Pesantren Lirboyo dalam buku ini diceritakan
sebagai sosok yang sangat sederhana baik pada saat belajar kepada Kiai Kholil
Bangkalan maupun saat memimpin pesantren Lirboyo. Pada saat santri Lirboyo sudah
mencapai ribuan, Kiai Abdul Karim bahkan masih memegang cangkul ke sawah.
Kisah
yang tidak ketinggalan diceritakan oleh hampir semua alumni adalah tentang
kelebihan atau lebih tepatnya kesaktian para Kiai Pendiri Lirboyo terutama Kiai
Marzuki dan Kiai Mahrus. Misalnya Kiai Marzuki yang tiba-tiba telah berada di
Makkah padahal tidak berhaji, atau Kiai Marzuki yang tidak mempan ditembak,
juga tentang Kiai Mahrus yang bisa menaklukkan orang gila mengamuk atau Kiai
Mahrus selamat dari kendaraan yang tercebur ke kali dengan kondisi tetap santai
dan sedang merokok. Banyak cerita-cerita tantang kelebihan para Kiai Lirboyo
itu entah para pembaca percaya atau tidak tapi kisah-kisah ini menjadi bagian
dari dinamika hidup yang dialami para santri pada saat melakukan tafaqquh
fid din di pesantren Lirboyo.[*]
*) Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Komplek HM Putra
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar