Judul: Matinya Dunia Cyber Space;
Kritik Humanis Mark Slouka terhadap jagat
Maya
Penulis: Astar Hadi Penerbit: LkiS Jogjakarta Cetakan I: Agustus 2005 Tebal Buku: xxii + 238 halaman |
Cyberspace
(internet) merupakan fenomena mutakhir sebagai dampak dari pesatnya
perkembangan teknologi. Cyberspace kini bukanlah barang ekslusif. Ia dinikmati
oleh semua kalangan. Layaknya dalam drama, cyberspace menyediakan ruang-ruang
tempat berjubelnya berjuta imaginasi dan beribu fantasi.
Bagi
para pamujanya, cyberspace merupakan dunia baru yang menjanjikan. Ia dianggap
bisa melayani segala kepentingan manusia, yang bisa mengatasi segala
keterbatasan manusia dengan mengembara dalam berbagai realitas tanpa batas.
Segala sesuatu yang sebelumnya mustahil mejadi mungkin. Lalu muncullah harapan,
euphoria, dan optimisme dalam menyambut datangnya abad baru ini, “Era Baru
Digital”.
Namun
tidak sedikit yang memandang sinis atas kecendrungan baru ini. Herbert Marcuse,
tokoh Madhab Frankfurt, dalam bukunya One Dementional Man menyatakan bahwa
individu-individu dalam masyarakat modern seperti sekarang ini telah
terintegrasikan ke dalam system yang menghasilkan manusia berdimensi tunggal.
System di mana kehomogenan bersembunyi di balik berjuta keragaman yang
ditunjukkan oleh revolusi media massa. Lebih tajam, Jurgen Haberas, generasi
ketiga Madhab Frankfurt melirik “sesuatu di balik layer monitor”.
Menurutnya,
teknologi memang tidak pernah netral dari kungkunagan-kungkungan kepentingan
kaum kapitalis. Lebih spesifik, Jean Baudrillard di beberapa kesempatan dalam
tulisan-tulisannya menelaah dampak dunia cyberspace ini. Dalam Simulations dia
menyatakan bahwa di dalam masyarakat segala sesuatunya berkembang ke arah titik
ektrim yang melampaui (beyond) menuju titik Hyper, yang disebutnya dengan
Hyperreality (realitas palsu). Dalam bukunya yang lain, Consumer Society, dia
melanjutkan bahwa akaibat dari simulasi-simulasi yang diciptakan oleh media
massa maka muncullah budaya konsumerisme dalam masyarakat. Budaya yang yang
tidak dilandaskan pada kebutuhan (need) tetapi pada hasrat (want).
Astar
Hadi melalui bukunya Matinya Dunia Cyberspace, Kritik Humanis Mark Slouka
Terhadap Jagat Maya ini mengkaji secara kritis dampak dari perkembangan dunia
maya. Dia menelaah pemikiran kritis tokoh humanis Mark Slouka atau lebih
tepanya telaah atas bukunya Ruang Yang Hilang: Pandangan Humanis Tentang Budaya
Cyberspace Yang Merisaukan dalam perspektif hermeneutis.. Kenapa Mark Slouka?
Ada apa dengan pemikiran Slouka? Mungkin pertanyaan ini yang muncul dalam benak
saat melihat buku ini, lantaran nama tokoh ini kurang begitu akrab dalam jagat
diskursus budaya pop (pop culture).
Mark
Slouka memang tidak begitu akrab di telinga pemerhati budaya pop media. Dia
seolah terbenam pada tumpukan nama-nama besar seperti Jean Baudrillard, Roland
Barthes, dan tokoh-tokoh filsafat kritis seperti Habermas dan Marcuse. Slouka
sendiri tidak mengolongkan dirinya kelompok-kelompok “isme-isme” sebagaiamana
toko-tokoh kritikus budaya pada umunya. Dalam segi pemikiran, nyaris tidak ada
konsep baru yang coba ditawarkan dalam pemikirannya. Lalu apa yang menarik dari
pemikiran seorang yang digolongkan pada kritikus humanis ini?
Astar
Hadi tampaknya tertarik pada bahasa yang dilontarkan oleh Slouka. Sebagai
seorang novelis dan dosen di bidang sastra, Slouka menyuguhkan cara lain dalam
melontarkan gagasan melalui bahasa puitis nan kritis, yaitu melalui bahasa
sastra. (hlm. 141)
Pemikiran
Slouka yang coba diketengahkan oleh Astar Hadi tentang “matinya dunia
realitas”. Matinya dunia relitas ini bukan lantaran ada yang membunuhnya, namun
karena adanya “realitas tandingan” atau dunia cyberspace yang disebut oleh
Baudrillad sebagai realitas simulacrum. Saat seseorang berasik-masuk dalam
dunia ini seringkali tersesat dan tidak mampu lagi membedakan “realitas” dan
“tampakan”.
Dunia
cyberspace ini yang akan mengisolasi kita dari hal yang pada dasarnya harus
kita lakukan. Alih-alih memproyeksikan diri pada jejak-jejak teknologi dalam
merancang ide besar teknologi (multimedia) yang “memberi kemudahan” dan
“memanjakan manusia” dan menghancurkan batas antara manusia dan mesin, kita
lupa bahwa di setiap penjuru dunia ini masih banyak saudara kita yang berjuang
untuk sesuap nasi. (hlm. 145)
Hal ini menunjukkan bahwa mengakses internet hanyalah pemuasan nafsu informasi dan komunikasi sebagai wujud dari pemuasan estetis-individual yang malah akhirnya bermuarapaa sikap menafikan etik-sosial. Kritik ini nampaknya kenapa Mark Slouka ditempatkan sebagai pemikir humas.
Hal ini menunjukkan bahwa mengakses internet hanyalah pemuasan nafsu informasi dan komunikasi sebagai wujud dari pemuasan estetis-individual yang malah akhirnya bermuarapaa sikap menafikan etik-sosial. Kritik ini nampaknya kenapa Mark Slouka ditempatkan sebagai pemikir humas.
Lebih
dalam lagi, Hadi mengungkapkan bahwa riuhnya perkembangan teknlogi yang
berujung pada muncul fenomena cyberspace telah menggeser definisi lama kita
tentang ruang, identitas, komunitas, realitas dan kompleksitas ruh manusia.
Hasanah masing-masing komunitas menjadi satu kesatuan. Hal ini bisa dilihat
dari bentuk dunia yang semakin homogen. Orang-orang berkeperibadian tuggal,
berpakian seragam, dan bertingkah laku sama.
Akhirnya,
dari buku ini kita mafhum bahwa betapa perkembangan teknologi sekarang
benar-benar telah sampai pada taraf mengancam eksistensi manusia. [*]
--Moh.
Amin Rauf, Pustakawan tinggal di Jogjakarta
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar