Judul: Matinya Dunia Cyber space;
Kritik Humanis
Mark Slouka terhadap jagat Maya
Penulis: Astar hadi Penerbit: LKiS Yogyakarta Tahun: Cet. 1, Agustus 2005 Tebal: xiv + 238 halaman Peresensi: Nur Hamzah *) |
Kajian
budaya atau cultural studies pertama kali muncul di Birmingham, Inggris. Salah
satu perintis-nya adalah Raymond Williams. Pada perkembangan selanjutnya,
kajian budaya menyebar ke Eropa. Perkembangan kajian budaya ini menjadi sangat
berarti ketika kajian budaya "klasik" bertemu secara intensif dengan
pemikiran postmodern. Pemikiran postmodern yang dimaksud adalah postmodernis-me
sebagaimana muncul dari tradisi pemikiran kontemporer Prancis seperti Lyotard,
Foucault, Derrida, Roland Barthes, dan Jean Baudrillard.
Sebagai
pemikir aliran postmodern yang perhatian utamanya adalah hakikat dan pengaruh
komunikasi dalam masyarakat pascamodern, Baudrillard sering mengeluarkan
ide-ide cukup kontroversial dan melawan kemapanan pemikiran yang ada selama
ini. Misalnya dalam wacana mengenai kreativitas dalam budaya media massa atau
budaya cyber ia menganggapnya sebagai sesuatu yang absurd dan contradictio in
terminis. Bagi Baudrillard, televisi merupakan medan di mana orang ditarik ke
dalam sebuah kebudayaan sebagai black hole. singkatnya Simulacra. Realitas yang
ada adalah realitas semu, realitas buatan (hiperrealitas).
Menurut
Mark Slouka , sebagaimana yang ditulis Astar Hadi (2005), Gambaran dalam budaya
media dan cyber space telah kehilangan daya representasi. Ini berarti para
konsumen budaya media massa dan cyberspace tidak lagi berkreasi karena
kehilangan dialectical capacity of representation. Baudrillard menggambarkan
realitas ini melalui empat tahap: ""(1) it (image) is the reflection
of the basic reality, (2) it masks and pervert a basic reality, (3) it masks
the absence of the a basic reality, dan (4) it bears no relation on any reality
whatever: it is its own pure simalacrum.Dari keempat tahap itu, tahap kedua
adalah yang paling penting (maka Baudrillard memberi aksen): gambaran bahkan
mengelabui kita sehingga kita tidak sadar lagi akan ketidakhadirannya. Gambaran
dalam media massa dan cyber seperti televisi,ineternet tidak lagi kita pahami
dalam kerangka semiotis signifier dan signified Tanda-petanda). Jarak keduanya
lenyap, sehingga yang tinggal hanyalah sebuah pengalaman langsung. Artinya,
kita seolah-olah tidak sedang menghadapi image atau gambaran tentang
"realitas"" itu sendiri. Inilah yang disebut Baudrillard dengan
istilah the immediate, the unsignified atau simulacrum yang berarti tiruan,
imitasi, tidak nyata, tidak sesungguhnya (hal:20).
Buku
Matinya Dunia Cyber Space yang ditulis oleh Astar Hadi ini berisi tulisan
tentang jejak langkah cyber space dalam kancah pemikiran post-modern yang di
dalamnya mengulas berbagai hal mengenai masalah milenium ketiga ini di
antaranya: Disney World, Utang Global, Patafisika, Bedah Plastik, Tulisan
Cahaya, dan sebagainya, dengan pembuka tulisan berjudul Embrio raksasa
Teknologi Komunikasi yang seolah-olah mengajak pembaca memasuki dunia baru,
yaitu dunia simulacrum. Isi buku ini tidak dapat dipilah-pilah secara
sistematis karena ditulis secara tersendiri. Sulit menemukan kesinambungan
antara tulisan satu dengan yang lain. Tulisannya memang sangat filosofis, tidak
umum, dalam arti lurus dan gam pang dicerna. Konstruksi tulisannya tidak
stabil, kadang terasa meloncat-loncat, meronta, memang cermin dari keadaan
milenium.
Di era
milenium ketiga ini banyak kalangan merasa sangat bahagia, seolah-olah milenium
ini akan membawa banyak perubahan bagi kesejahteraan kehidupan manusia. Hidup
manusia seakan-akan lebih mudah karena peradaban tinggi (high civilization)
melahirkan teknologi tinggi (high tech), komunikasi global (global
communication), digitalisasi, cloning, rekayasa genetika, dan teknologi
informatika. Secara perlahan tetapi pasti, para manusia milenium itu terlena
dengan segala kemudahan hidup, buday a konsumsi yang serba instan membuat
mereka lupa bahwa hidup yang mereka hadapi mulai kabur dan tenggelam dalam
realitas semu. Dalam konteks budaya politik Indonesia hiperrealitas ini tampak
dengan adanya budaya korupsi dan saling konflik antar-elite politik, carut
marut pendidikan, layanan publik yang buruk, kekerasan aparat, pemogokan buruh,
penyimpang-an kekuasaan, kolusi dan nepotisme. Dalam keseharian masyarakat
perang isu dan simulacrum dalam tayangan media dianggap sebagai kebenaran.
Hiperrealitas
berhasil mengaburkan dunia kenyataan dan dunia semu, masyarakat dunia modern
tidak bisa membedakan lagi antara kebenaran nyata dan kebenaran semu.
Masyarakat kini sedang menanti kebenaran ide Baudrillard itu, bisakah manusia
menghindarkan diri dari kepalsuan dan mencari makna sejati dari semua realitas
yang dihadapi? Jawabannya adalah kembali kepada diri kita masing-masing dalam
memaknai realitas hidup ini. Selamat datang di dunia simulacrum. Untuk itu
hadirnya buku ini bisa memotret tentang jejak langkah cyber space yang sudah
bertahun-tahun memporandakan dunia melalui teknologi. Tidak adanya batas-batas
sosial dalam kehidupan manusia.yang muncul dunia cyaberspace dalam kehidupan
menuju titik maya.
Inilah
realitas dunia yang harus kita hadapi di abad ke 21 ini, sebuah dunia lalu
lintas informasi yang siap menghancurkan apa saja dan siapa saja yang tidak
sanggup menerima laju percepatannya. Tidak salah bila kemudian Mark Slouka
meramalkan di abad ke 21 ini adalah abad informasi.hal ini berarti bahwa
siapapun yang mempunyai informasi,dialah akan mampu bertahan sekaligus
berkembang. Disisi lain, semangan perubahan zaman cyberspace juga tidak hanya
memberi manfaat dari dampak teknologi,akan tetapi juga menunjukkan pesona-pesona
simulasi begitu dasyat terhadap masyarakat dan percepatan cyabernetik melalui
fase-fase pasar global dan membuat manusia cyber manjadi victim di dunia maya.
Tidak salah bila posmodernisme dalam masyarakat kapitalisme barat,seperti yang
disindir kelompok postmodernisme mampu mengeser imperatif-imperatif lama dengan
berbagai kejutan budaya,permainan bahasa,permainan citra, dan manupulasi
kesadaran manusia dari eksistensi humanitasnya.
Dari
pemetaan masyarakat cyberspace inilah kita bisa memotret kembali perpanjangan
dunia internet yang telah memberi manfaat kemajuan zaman serta membunuh manusia
dari dunia. Dibalik itu semua,cyberspace pada kenyataan adalah dunia yang penuh
jebakan: “sekularisme”, ”Atheisme”, narsisme” atau “anarkisme”. Meskipun
demikian berbagai bentuk jebakan tentunya tidak menyurutkan untuk mencari jalan
keluarnya. Bukan dengan jalan menolak cyberspace,akan tetapi melalui jalan
tengah yang bisa dicapai,bagiamana cyberspace ini diarahkan pada masa depan
yang positif fungsi dari dunia cyberspace untuk membangun peradaban umat
manusia yang lebih humanitarian.[*]
--nur hamzah, Peminat Buku dan anggota Ruang baca Tempo
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar