Jumat, 21 Maret 2014

Memilih Monogami, Pembacaan Atas Al-Quran dan Hadits Nabi - (resensi 2)

Judul buku: Memilih Monogami, Pembacaan Atas Al-Quran
                  dan Hadits Nabi
Penulis: Faqihuddin Abdul Karim
Penerbit: Pustaka Pesantren: Yogyakarta
Cetakan: Mei 2005
Tebal: lxvi+218 halaman (indeks)


Pertarungan nilai kesenangan seksualitas, permaduan dan keadilan menjadi salah satu problem hermeneutik dalam mengungap pemahaman makna atas ayat ketiga Surat an-Nisa’ yang menjelaskan “diperbolehkan” poligami. Tanpa dipersandingkan dengan kritik hermeneutik dan penggalian asbab al nuzul, penerimaan poligami hanya akan diterapkan secara taken for granted tanpa mengambil nilai kritis ayat ini.
Kehadiran buku “Memilih Monogami” bertujuan menggugat ketergesaan penerimaan poligami secara apriori, sementara fakta di lapangan menunjukan meruncingnya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang tidak teradvokasi.
Menurut Husein Muhammad dalam pengantarnya, poligami sudah menjadi problem kemanusiaan. Problem ini tidak saja menyangkut peluang kekerasan ekonomi, tetapi juga bisa merambah ke kekerasan seksual, psikis, fisik, dan pengabaian hak-hak anak. Selain fakta sosial, sejarah pembacaan poligami jarang dilihat secara komprehensif dalam menimbang kemaslahatan poligami.
Praktik poligami Nabi lebih mengutamakan aspek keadilan psikologis dan fakta sosial penderitaan perempuan dari pada sebatas fakta seksual seperti takut berbuat zina dengan perempuan lain. Disinilah sebenarnya ayat 3 surat an-Nisa’ mengambil konteks. Dan ketika keadilan psikologis tidak didapat dan fakta sosial tidak terjawab maka poligami tidak memiliki dasar hukum, alias, tidak boleh.
Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan fakta subyektifitas perempuan, buku ini kemudian menganulir poligami dan mencari dasar-dasar fiqhiyah dengan mengedepankan pentingnya kehadiran dialektis hati (perasaan/sensifitas psikologis) perempuan dalam menimbang penolakan poligami menuju kesunahan untuk memilih monogami. Pada bab pertama telah dijelaskan bagaimana urgensi membangun dasar penafsiran ayat ketiga Surat An-Nisa’ dengan cara menghidupi pendekatannya menurut konteks psiko-linguistik perempuan.
Dengan perspektif psikologi perempuan diharapkan tradisi pemikiran fiqh bisa menemukan, mempertajam, menegaskan argumentasi keadilan dan keberpihakan terhadap ketimpangan praktik poligami. Jika tidak ada alasan unsur kemaslahatan yang pasti terhadap poligami maka dianjurkan (sunnah) memilih monogami (hlm. 37).
Lies Marcoes Natsir dalam pengantar kedua dari buku ini berpendapat, berdasarkan data-data lapangan yang ditemukan dari penelitian, poligami hanya menjadi perangkat dalam membunuh karakter perempuan hingga menciptakan praktik dehumanisasi karena korban telah dibuat tidak berdaya, kehilangan harga diri, dan logika (hlm. xxxix). Fakta sosial yang tidak terjawab seperti ini menjadi pertimbangan untuk menolak praktik poligami.
Untuk itulah maka bab kedua buku ini mengulas bagaimana al-Quran menegaskan monogami. Pembacaan Faqihuddin menolak beberapa cara baca yang memenggal bagian ayat 3 an-Nisa yang dijadikan legitimasi poligami, …fankihu ma thaba lakum min an-nisa matsna wa tsulatsa wa ruba…. Pemenggalan ayat demikian hanya menyebabkan pilihan poligami menjadi tidak bijak, punya keterputusan epistemologi, dan menyembunyikan pembacaan kemaslahatan praktik Nabi tentang tujuan sebenarnya poligami.
Ayat ini semestinya dibaca dalam konteks bagaimana poligami Nabi berangkat dari perspektif membebaskan ketertindasan dan melindungi anak yatim yang ditinggal mati orang tuanya, misalnya karena perang dan melindungi mereka dari situasi aniaya serta melindungi perempuan dan anak pasca tragedi perang Uhud yang banyak menelan korban dari kalangan muslimin, terutama orang tua laki-laki.
Kontinuitas konteks harus dipahami baik pada awal kalimat dari surat ketiga an-Nisa yaitu, wa in khiftum alla tuqsithu fi al-yatama…dan kalimat penutup wa in khiftum alla ta’dilu fawahidah… yang menjadi pertimbangan poligami. Dan ayat ini jauh dari tujuan menjaga perzinaan atau keselamatan hubungan seksual semata yang tidak memperkuat anjuran poligami (hlm. 49, 115-118) sehingga poligami tidak dipraktikan untuk merusak azas kemaslahatan ayat ini. Inilah otentisitas ayat ketiga surat An-Nisa’.
Dengan demikian baik kiranya untuk menunda poligami karena poligami bukan ibadah (hlm. 72-82). Faqihuddin merujuk pada hadis Aisyah tentang kelatahan laki-laki pengasuh anak yatim perempuan yang hendak menikahinya tanpa maskawin (hlm. 51) dan hadis mengenai pengabaikan moralitas keadilan, kebaikan dan kerelaan perempuan ketika dipoligami (hlm. 59-60).
Merujuk pada pendapat Al-Qurthubi (hlm.86), Faqihuddin berusaha mengenali masalah tanda (signifie) dan penanda (signifier) dalam menafsirkan teks serta tujuan sejarah penggungkapan poligami sehingga diketahui cara pemetaan aspek-aspek prinsipil (kully) dan parsial (juz’iyy) untuk memeroleh hukum yang tepat berdasar logika dan nilai transformatif ayat tersebut (hlm. 118).
Perlu diketahui bahwa konteks poligami bisa disamakan dengan perbudakan. Walaupun tidak dilarang mengambil budak, namun al-Qur’an secara negosiatif mengkritik budaya itu secara selangkah demi selangkah (hlm. 112). Inilah mengapa sebenarnya poligami tidak merupakan anjuran tetapi lebih pada nilai transformatif untuk memeroleh tujuan keadilan dan pembebasan terhadap perempuan dan anak yatim sebagai korban. Sama dengan perbudakan, walau tidak dilarang, namun dalam praktiknya perbudakan bahkan dilarang, itulah analog poligami.
Pada bab ketiga dieksplorasi kerangka historis mengenai autentisitas poligami dengan cara mengkroscek validitas hadis-hadis yang menolak poligami dan menganjurkan monogami, juga pendapat ulama seperti Imam Syafi’i yang menyatakan tidak ada nilai ibadah dalam sebuah perkawinan. Jikalau seseorang mampu menahan dari dorongan hasrat seksual maka lebih baik kalau tidak menikah (hlm. 78).
Fakta-fakta dokumenter ini yang akan menegaskan dalam menimbang prinsip keadilan ayat 3 an-Nisa’ bahwa yang menjadi kunci anjuran adalah memilih satu sehingga dianggaplah monogami yang disunnahkan karena ia mengambil nilai moral keadilannya sebagai prinsip kemaslahatan-nya. Pertimbangan lain dengan melihat keterangan hadis dari beberapa kitab syarh hadis seperti Fath al-Bari, Subul as-Salam, Nayl al-Awtar, yang tidak ditemukan anjuran poligami, walau Nabi memraktikan akan tetapi beliau tidak memberi anjuran qath’i pada poligami (hlm. 166).
Pada kutipan hadis dari kitab Fath al-Bari, karya Ibn Hajar ada sebuah hadis yang diriwayatkan al-Miswar bin Makhramah, bahwa Nabi melarang Ali r.a. menikahi perempuan lain dan memadu Fatimah. Nabi saw. Menegaskan, “fatimah adalah putriku, bagian dari diriku, aku merasa terganggu apa yang mengganggu dirinya, dan aku merasa terluka dari apa yang melukai dirinya” (hlm. 185).
Buku ini kaya perspektif dalam membaca hal yang paling prinsipil pada ayat 3 surat an-Nisa’ untuk mengembalikan kematian konteks dan diskontinuitas penafsiran dan praktik poligami yang sering latah (naif) menjadi justifikasi parsial sehingga dengan penelusuran dokumentasi atas hadis atau teks-teks keagamaan lain akan dapat menimbang ulang maqasid al-syari’ah nilai kearifan keadilan itu dalam bentuk monogami yang diharapkan mampu merespon unsur-unsur psikologis perempuan dan menimbang ulang relevansinya terhadap status perempuan secara adil dalam suatu jalinan perkawinan. [*]

--nur hamzah, Peresensi Peminat Buku dan anggota Ruang baca Tempo

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar