Judul
Buku: Menggerakkan Tradisi
Penulis: Abdurrahman Wahid Penerbit: LKiS, Yogyakarta Cetakan: I, 2007 Tebal: xxii+275 halaman Peresensi: Heri Kurniawan |
Sepanjang
pengetahuan yang telah tersebar selama ini di kalangan akademisi, aktivis,
intelektualis, sepertinya hanyalah mahasiswa yang 'paling pantas' diposisikan
sebagai penyandang gelar istilah agent of change (agen perubahan).
Padahal, potensi besar seperti itu pun dimiliki oleh lembaga pendidikan
non-formal, seperti halnya pesantren. Inilah salah satu dampak dari
pemerintahan Orde Baru (Orba) dalam upayanya mengaburkan nilai-nilai sejarah
perjuangan panjang nenek moyang bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan dari
tangan penjajah, hanya demi membangun doktrin sejarah bahwa, perjuangan politik
mencapai kemerdekaan tidak lebih dari perjuangan bersenjata. Padahal, kita
tahu, pasukan tentara baru terbentuk setelah bangsa ini diorganisasikan dalam
Republik.
Orba
telah mengebiri peran penting lembaga berbasis keagamaan ini dalam sejarah
nasional yang pantasnya mendapat penghargaan besar. Tapi, kenapa justru
mendapat ketidak-aku-an pemerintah. Dalam konteks perjuangan melawan pemerintah
kolonial, pesantren mampu mencetak pejuang-pejuang pergerakan nasional, seperti
halnya, tokoh-tokoh; Soekarno, Sjahrir, dan Bung Tomo dengan organisasinya
Boedi Utomo yang melahirkan kesepakatan bersama para pemuda-pemudi dalam wadah
Sumpah Pemuda yang diperingati setiap 28 Oktober. Lebih parah lagi, lembaga
berlatar belakang tradisi budaya ini sempat pula dicurigai sebagai sarang
kejumudan, konservatisme, ia menjadi penghalang besar bagi usaha-usaha
pembangunan yang digalakkan pemerintah sekitar tahun 1970-an hingga akhir tahun
1980-an. Di sekitar tahun 2004-an ke belakang, pesantren disebut sebagai sarang
teroris.
Akibat,
tidak banyak yang mengenal sosok, seperti, KH Wahab Chasbullah dari Pondok
Pesantren Tambakberas, Jombang, KH Hasyim As'ari dari Tebuireng, Jombang, dalam
konteks keperjuangannya yang keras telah mampu memobilisasi massa menyerang
tentara asing yang ingin menduduki pemerintahan di wilayah Surabaya dan
sekitarnya. KH Wahab Chasbullah yang sejak di Mesir menjadi pengikut Sarikat
Islam (SI) telah mendirikan Madrasah Nahdhatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air)
di Surabaya. Madrasah yang menjadi kawah candradimuka generasi muda ini
berkembang pesat sampai Gresik, Malang, Pasuruaan, Semarang, Sidoarjo dan
Lawang. Satu tahun kemudiaan, tepatnya tahun 1918, ia juga mendiriakan
Organisasi Sosial Ekonomi bernama Nahdhatut Tujar (Kebangkitan Para Pedagang).
Organisasi inilah yang nantinya menjadi embrio dan berkembang menjadi NU,
bahkan menjadi dapur pemikiran NU sendiri. Organ-organ ini, meski berlatar
belakang pesantren, jika pandang dari sisi waktu maupun pengaruhnya, tidak
kalah dibanding dengan organisasi-organisasi seperti yang digagas Bung Tomo dan
kawan-kawan dalam memperjuangkan bangsa ini.
Untuk
itulah, merubah kembali paradigma lama dengan yang baru adalah suatu keharusan.
Artinya, bukan hanya mahasiswa saja yang pantas dan mampu untuk diikutsertakan
sebagai subyek pembangunan bangsa pada saat ini, melainkan lembaga dengan latar
belakang kultural, non-formal ini pun layak digabungkan dalam golongan agent af
change. Bahkan, jika dilihat dari sejarah tradisi perjuangannya yang panjang,
jelas-jelas pesantren telah membuktikan dirinya mampu menjadi agent of change.
Gus Dur sendiri—terlepas dari latar belakang kepesantrenannya—menyebut
pesantren sebagai subkultural, walaupun masih dalam tataran ideal.
Sebagaimana
diuraikan dalam banyak penjelasan sosiologis, sebuah subkultural, minimal harus
memiliki keunikan sendiri dalam aspek-aspek berikut; cara hidup yang dianut,
pandangan hidup dan tata nilai yang diikuti, serta hirarki kekuasaan intern
tersendiri yang ditaati sepenuhnya. Bagi Gus Dur, pesantern sangatlah dinamis,
bisa berubah, dan mempuyai dasar-dasar yang kuat untuk ikut serta mengarahkan
dan menggerakkan perubahan yang diinginkan. Eksistensi pesantren, sebagai
sebuah lembaga kehidupan yang menyimpang dari pola kehidupan umum di negeri
ini; terdapatnya sejumlah penunjang yang menjadi tulang punggung kehidupan
pesantern; berlangsungnya pembentukakan tata nilai yang tersendiri dalam
pesantren, lengkap dengan simbol-simbolnya; adanya daya tarik keluar sehinga
memungkinkam masyarakat sekitar menganggap pesantren sebagai alternatif ideal
bagi sikap hidup yang ada di masyarakat itu sendiri; dan berkembangnya suatu
proses pengaruh-memengaruhi dengan masyarakat di luarnya, yang akan
berkulminasi pada pembentukan nilai-nilai baru yang secara universal diterima
kedua belah pihak, adalah kriteria yang dirasa cukup oleh Gus Dur menggolongkan
"pesantren sebagai subkultural".
Tujuaan
Gus Dur menulis buku ini tak lain adalah respon positif munculnya anggapan
bahwa pesantren adalah sarang kejumudan, konservatisme, menjadi penghalang besar
bagi usaha-usaha pembangunan. Karena, pesantren baginya, sangatlah dinamis,
bisa berubah dan mengubah karena memilki dasar-dasar kuat untuk ikut
mengarahkan dan mengerakkan perubahan dalam konteks pembangunan bangsa ke
depan.
Pesantren
sendiri telah sejak lama memegang sistem kepengurusan yang oleh Gus Dur
dikatakan 'sangatlah demokratis' yang saat ini mejadi topik berbincangan aktual
setiap bangsa. Sistem kepengurusan pesantren adakalanya berbentuk sederhana, di
mana kiai memegang kepimpinan mutlak dalam segala hal. Sedangkan, kepemimpinan
itu sering kali diwakilkan kepada ustaz senior selaku "lurah pondok".
Dalam pesantren yang telah mengenal bentuk organisasi yang lebih komplek,
peranan "lurah pondok" ini digantikan oleh susunan pengurus lengkap
dengan pembagiaan tugas masing-masing walaupun adakalanya ketuanya masih
dinamai "lurah pondok" juga. Walaupun telah berbentuk sebuah pengurus
yang bertugas melaksanakan segala sesuatu yang berhubungan dengan jalannya
pesantern sehari-hari, kekuasaan mutlak senantiasa masih berada di tangan sang
kiai. Dan, sekalipun susunan pimpinan pesantren masih terdapat jarak tak
terjembatani antara kiai serta keluarganya di satu pihak dan para asatiz serta
santri di lain pihak, kiai bukan primus intern peres, melainkan bertindak
sebagai pemilik tunggal (directeur eigenaar).
Buku
ini bisa dikatakan sebuah kontribusi bagi lembaga pesantren yang jarang
ditempatkan pada wilayah startegis dalam setiap pembangunan nasional. Akan pula
menjadi referensi perbandingan di mata pemerintah dalam membangun kembali
bangsa Indonesia ke depan. Karena, tanpa adanya campur tangan dari
lembaga-lembaga seperti pesantren yang memilki legitimasi tradisi kebudayaan
yang kuat, bisa dimungkinkan tidak akan bisa berjalan mulus pembangunan
tersebut. Usaha-usaha pembangunan memang dapat mengabaikan kebudayaan, namun
usaha-usaha itu tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa pembangunan mempengaruhi
kebudayaan, atau dipengaruhi oleh kebudayaan.
Setidaknya
ada tiga alasan yang bisa menempatkan kebudayaan sebagai alat yang memungkinkan
pembangunan bisa berlangsung dengan sukses dalam pendahuluan buku 'Kebudayaan
dan Pembangunan: Sebuah Pendekatan terhadap Antropologi Terapan di Indonesia'
(Jakarta: Yayasan Obor, 1987) oleh Nat. J. Colletta. Pertama, unsur-unsur
budaya mempunyai legitimasi tradisional di mata orang-orang yang menjadi
sasaran program pembangunan. Kedua, unsur-unsur budaya secara simbolis
merupakan bentuk komunikasi paling berharga dari penduduk setempat. Ketiga,
unsur-unsur budaya mempunyai aneka ragam fungsi (baik yang wujud maupun yang
samar) yang menjadikannya sebagai sarana paling berguna untuk perubahan.[*]
*)
Alumnus
Pondok Pesantren (Ponpes) Khozinatul Ulum, Banan, Gunung Rejo, Kedungpring,
Lamongan. Saat ini, mengabdi di Ponpes Mahasiswa Hasyim Asy'ari DI Yogyakarta.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar