Judul
Buku: Menjadi NU, Menjadi Indonesia
(Pemikiran KH Abdul Muchith
Muzadi)
Penulis: Ayu Sutarto Penerbit: Khalista, Surabaya Cetakan: II, Januari 2007 Tebal: xv + 119 Halaman Peresensi: Ach Syaiful A'la*) |
Tak
lama setelah terbit, buku berjudul Berjuang Sampai Akhir; Kisah Seorang Mbah
Muchith (2006), kini terbit buku Menjadi NU, Menjadi Negara, Pemikiran KH Abdul
Muchith Muzadi, akrabnya biasa disapa Mbah Muchith.
Buku
ini berbeda dengan yang sebelumnya. Kalau buku Berjuang Sampai Akhir; Kisah
Seorang Mbah Muchith, isinya banyak mendiskripsikan biografi Mbah Muchith,
sejak masa remaja, pendidikan, pengabdian di masyarakat, organisasi, sampai
bagaimana membina kehidupan dalam rumah tangga (keluarga).
Buku
karya Ayu Sutarto ini, isinya lebih pada pemikiran-pemikiran Mbah Muchith
tentang ke-NU-an. Misalnya, NU dan Politik, NU dan Muhammadiyah, NU dan
Pesantren, NU dan Konflik Internal, NU dan Kiai Khos, sampai bagaimana menjadi
NU dan Menjadi Indonesia. Semua, beberapa poin pembahasan di atas dijelaskan
secara rinci dibagi dalam beberapa bab/sub bahasan masing-masing.
Lama
mengabdikan dirinya di NU, Mbah Muchith berusaha menyelamatkan dan menjaga jam'iyah
diniyah ijtima'iyah (NU) ini tidak dibawa untuk kepentingan pribadi
secara politis. Jadi, tak heran jika Mbah Muchith sering menjadi sasaran
anak-anak muda, wartawan untuk berbicara masalah perjalanan dan perjungan NU
serta pengalaman dirinya di NU.
Selain
itu, seringkali dijadikan obyek penulisan, bahkan di beberapa buku,
mengandalkan Mbah Muchith sebagai narasumber utamanya. Hal semacam inilah yang
menunjukkan bahwa Mbah Muchith hingga kini adalah sosok kiai ‘layak jual’.
Kiranya
tidak berlebihan jika penulis memberi julukan pada sosok Mbah Muchith sebagai
penulis, pencatat, sejarawan atau lebih pasnya disebut sebagai pelaku sejarah
NU. Bahkan, bisa dibilang ia adalah politisi ulung, karena pengalamannya sejak
dulu di organisasi politik.
NU dan Negara
Melihat
NU ke belakang, pasti akan membuat orang merasa salut atas sumbangsih yang telag
diberikannya pada bangsa Indonesia. Betapa tidak? KH Hasyim Asy'ari dan KH
Wahid Hasyim dengan Majlis Islam A'la Indonesia (MIAI)-nya, memberikan dukungan
kepada Gabungan Politik Indonesia (Gapi) dalam aksi menuntut "Indonesia
Berparlemen". Ketika itu pula, para tokoh NU turut aktif dalam Badan
Penyelidikan Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUKI) serta Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dalam konteks ini, tidak heran jika KH Wahid
Hasyim kemudian dipilih sebagai salah satu anggota "Panitia Sembilan"
yang merumuskan "Piagam Jakarta", hingga akhirnya menjadi Pancasila
dan Pembukaan UUD 1945.
Dalam
mempertahankan kemerdekaan, saat masih terjadi upaya perebutan kembali
Indonesia oleh kolonial, NU mengeluarkan Resolusi Jihad. Dalam keputusan tersebut,
NU memandang bahwa kemerdekaan RI harus dipertahankan. Pengaruh resolusi itu
sangat terasa sehingga meletuskan peristiwa heroik: 10 November 1945 dan
kemudian diperingati secar nasional menjadi Hari Pahlawan.
Lebih
dari itu, keputusan spektakuler dalam Munas Alim Ulama NU (1983) dan Muktamar
ke-27 NU di Situbondo. Ketika itu (1984), dengan "berani", NU
menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas, mendahului organisasi masyarakat
mana pun di Indonesia. Bahkan, KH Achmad Shiddiq sebagai Rais Aam Pengurus
Besar NU menyatakan bahwa negara Pancasila adalah bentuk final dari upaya umat
Islam mendirikan negara. Selanjutnya, siapa saja yang mengganggu eksistensi
negara Pancasila, harus berhadapan dengan NU. Belum lagi peristiwa-peristiwa
mutakhir dalam percaturan politik nasional lainnya. Sungguh, tidak kecil hal
yang disumbangkan organisasi ini.
Pandangan
Mbah Muchith, menjadi NU harus juga menjadi Indonesia. Keduanya (NU dan Negara)
tidak bisa dipisahkan. Karena, NU lahir dan menjadi organisasi kemasyarakatan
Islam terbesar, berada di Indonesia.
Menjadi
NU tidak sekedar mengaku, mengklaim bahkan hanya mengantongi Kartu Anggota
Nahdlatul Ulama (Kartanu). Seperti yang dipermainkan para politisi NU saat ini.
Semuanya mengaku sebagai sebuah organisasi atau sarana aspirasi politik
(parpol) warga NU dalam perpolitikan Indonesia. Padahal, sebelumnya tidak
pernah—bahkan tidak sama sekali—berbuat atau memberikan sumbangsih apa pun pada
NU.
Hal
semacam itu, hingga kini yang disesalkan oleh Mbah Muchith. Sama halnya dengan
orang yang mengaku Islam (‘Islam KTP’), perbuatannya tidak mencerminkan sikap,
karakteristik, dan perilaku yang Islami.
Mbah
Muchith: "Seorang warga NU yang baik adalah benar-benar tahu apa yang
dicita-cita oleh NU. Tapi, harus mengerti juga jatidiri terhadap sosial
keagamaan yang ada di Indonesia" (halaman 100).
Walau
akhir-akhir ini banyak buku terbit terkait NU atau masalah yang membelit NU
pada situasi dan kondisi tertentu. Tapi, terkadang belum menyentuh atau
memaparkan seperti apa NU? Kenapa NU? Dan bagaimana seharusnya NU?
Buku
ini menegaskan kepada pembaca agenda besar dan sesuatu yang ingin diraih NU.
Serta menegaskan bahwa cita-cita NU tidak berbeda dari cita-cita Indonesia.
Sehingga buku ini penting dimiliki kiai, santri, warga Nahdliyyin,
akademisi, politisi NU agar mengaca dan semakin sadar bahwa memang
masih banyak yang harus dibenahi dalam tubuh NU.[*]
*) Aktivis PMII IAIN Sunan Ampel Surabaya
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar