Judul Buku: Nuansa Fiqih Sosial
Penulis: KH. MA. Sahal Mahfudh,
Penerbit: LKiS Jogjakarta,
Cetakan: VI, Maret 2007,
Tebal: viii + 384 Halaman,
Peresensi: Titik Suryani
|
KH.
MA. Sahal Mahfudh (Rais Aam PBNU) adalah seorang pakar fiqih (hukum Islam).
Kepiawaiannya dalam bidang hukum Islam itu tidak diragukan lagi. Sejak belia,
ia seakan sudah terprogram untuk menguasai ilmu ushul fiqih, bahasa Arab, dan
ilmu kemasyarakatan.
Fakta
ini jelas tidak bisa dipisahkan dari faktor keluarga. Kiai Sahal memang
dilahirkan dari keluarga yang berlatar pesantren, pada 17 Desember 1937. karena
itu, sedari kecil ia dididik dan dibesarkan dalam semangat memelihara derajat
penguasaan ilmu-ilmu keagamaan tradisional. Apalagi di bawah asuhan ayahnya
sendiri, Kiai Mahfudh Salam, yang juga seorang kiai ampuh, dan adik sepupu
almarhum Rais Aam NU, Kiai Bisri Syansuri.
Setelah
itu, Kiai Sahal kemudian nyantri kepada Kiai Muhajir di Kediri dan Kiai Zubair
Sarang, Lasem. Pada dirinya terdapat tradisi ketundukan mutlak pada ketentuan
hukum dalam kitab-kitab fiqih dan keserasian total dengan akhlak ideal yang
dituntut dari ulama tradisional. Atau dalam istilah pesantren, ada semangat tafaqquh
(memperdalam pengetahuan hukum agama) dan semangat tawarru’ (bermoral
luhur).
Tidak
heran kalau Kiai Sahal—meminjam istilah Gus Dur—lalu ‘menjadi jago’ sejak usia
muda. Belum lagi genap berusia 40 tahun, dirinya telah menunjukkan kemampuan
ampuh itu dalam forum-forum fiqih. Terbukti pada berbagai sidang Bahtsu
Al-Masail tiga bulanan yang diadakan Syuriah NU Jawa Tengah, ai sudah aktif
di dalamnya.
Buku
ini sejatinya adalah rangkuman beberapa (saja) tulisan Kiai Sahal yang
berserakan di berbagai halaman surat kabar, jurnal ilmiah, dan makalah-makalah
seminar. Dalam banyak kesempatan, Kiai Sahal selalu mengajak masyarakat untuk
memahami fiqih secara kontekstual. Menurutnya, asumsi formalistik terhadap
fiqih masih menjadi masalah laten, sehingga tidak jarang fiqh—dalam hal ini
kitab kuning—dianggap sebagai kitab suci kedua setelah Al-Qur’an yang harus
diperlakukan sebagai norma dogmatis dan tidak bisa diganggu gugat. Oleh karena
itu, menggali fiqih yang bernuansa sosial adalah upaya yang sangat urgen. Apa
itu fiqih sosial?
Secara
singkat dapat dirumuskan, paradigma fiqih sosial didasarkan atas keyakinan
bahwa fiqih harus dibaca dalam konteks pemecahan dan pemenuhan tiga jenis
kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan primer (dharuriyah), kebutuhan
sekunder (hajjiyah), dan kebutuhan tersier (tahsiniyah). Fiqih
sosial tidak sekedar sebagai alat untuk melihat setiap persoalan dari kaca mata
hitam putih, sebagaimana cara pandang fiqih yang lazim kita temukan, tetapi
fiqih sosial lebih menempatkan fiqih sebagai paradigma pemaknaan secara sosial.
Seperti
hasil yang telah dirumuskan dari serangkaian halaqah NU bekerja sama dengan
Rabithah Ma’ahid Islamiah (RMI) dan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (P3M), fiqih sosial memiliki lima ciri pokok yang menonjol: Pertama,
interpretasi teks-teks fiqih secara kontekstual. Kedua, perubahan
pola bermadzhab, dari bermadzhab secara tekstual (qauli) ke bermadzhab
secara metodologis (manhaji). Ketiga, verifikasi mendasar mana ajaran
yang pokok (ushul) dan mana ajaran yang cabang (furu’).
Keempat, fiqih dihadirkan sebagai etika sosial, bukan hukum positif negara.
Kelima, pengenalan metodologis filosofis, terutama terkait budaya dan
sosial.
Dalam
pandangan Kiai Sahal, gagasan tersebut tidaklah terlalu berlebihan. Toh pemahaman
kontekstual bukan berarti meninggalkan dan menanggalkan fiqih secara mutlak. Justru
dengan pemahaman seperti itu, segala aspek perilaku kehidupoan akan dapat
terjiwai oleh fiqih secara konseptual dan tidak menyimpang dari rel fiqih itu
sendiri. Minimal, kitab kuning akan digemari tidak saja oleh para santri, tapi
juga oleh siapa saja yang berminat mengkaji referensi pemikiran Islam.
Tidak
bisa disangkal, gagasan ini muncul seiring meningkatnya anarki pemaknaan
sosial-politik di Indonesia. Pemikiran fiqih, mau tidak mau, lalu mengalami
pergeseran: dari fiqih sebagai paradigma kebenaran ortodoksi menjadi paradigma
pemaknaan sosial. Jika yang pertama menundukkan realitas kepada kebenaran
fiqih, maka yang kedua menggunakan fiqih sebagai counter discourse dalam
belantara pemaknaan yang tengah berlangsung. Jika yang pertama memperlihatkan
watak hitam putih dalam memandang realitas, maka yang kedua memperlihatkan
wataknya yang bernuansa, dan kadang-kadang rumit dalam menyikapi realitas.
Nah,
Kiai Sahal Menggali fiqih sosial itu dari pergulatan nyata antara kebenaran
agama dan realitas sosial yang masih timpang. Sebuah ujian nyata bagi relevansi
agama dalam kehidupan aktual demi terbentuknya karakter fiqih yang bernuansa
sosial.[*]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar