Judul: Islam tradisional, Realitas
Sosial & Realitas Politik
Penulis: Dr Ali Maschan Moesa Penerbit: Jenggala Pustaka Utama Cetakan: I, September 2008 Tebal: vii, 199 hlm. Peresensi: Ahmad Shiddiq Rokib |
Khittah
NU 1926 yang diputuskan pada Muktamar di Situbondo, Jawa Timur, adalah upaya
ulama untuk memosisikan NU pada jalan yang benar dalam relasi negara dan agama.
Meski pada pra-wacana, bersinggungan dengan situasi politik di tubuh NU yang
kurang menguntungkan dan selalu dinomerduakan dalam pengambilan keputusan
strategis. Sehingga wajar kalau politik yang dimainkan selalu berubah-ubah
wajah dari satu ideologi ke ideologi lain, puncaknya ditandai keputusan NU
kembali Khittah pada Muktamar Situbundo.
Posisi
yang seperti itu, sangatlah menguntungkan saat NU yang mulai kehilangan jati
diri sebagai organisasi sosial-keagamaan dan menjadi kekuatan oposisi
kerakyatan dalam upaya membangun gerakan moral dalam membendung kekuatan
pemerintahan diktator, sehingga saat itu hubungan NU dan pemerintah agak
renggang, kemudian kegiatan yang dilakukan NU selalu dicurigai dan diawasi
pemerintah.
Nah,
pada Muktamar 30 di Lirboyo, Kediri, Jawa Timur, ditegaskan bahwa warga
NU memilih partai secara bebas, kritis, rasional, dan berdasarkan
nilai-nilai Khittah 1926, etika politik. Kemudian tepat saat Muktamar ke-31
Bayolali, Jawa Tengah, merekomendasikan 10 program dasar lima tahun yaitu
institusional building, pemikiran keagamaan, pemberdayaan sumber daya manusia
dakwah, pengembangan ekonomi, pemberdayaan hukum, pemberdayaan masyarakat
sipil, peningkatan kualitas pendidikan, pengembangan jaringan kerja, pelayanan
sosial, dan mobilisasi dana.
Dari
dua Muktamar, berlangsung kelembagaan NU menjadi ikon polemik bagi penikmat
politik antara pelibatan NU dalam politik dan menjaga netralitas sebagai wujud
Khittah 1926.
Sehingga,
Muktamar menjadi ajang perebutan tiket kekuasan oleh elit-elit berkepentingan.
Dan, tidak heran, meski di Muktamar Boyolali memutuskan bahwa organisasi ini
perlu menegaskan kembali etika berpolitik warga NU yang diputuskan saat
Muktamar NU ke-28 di Krapyak, Yogyakarta, yaitu, pertama, NU melepaskan diri
ikatan semua politik yang ada dan sekaligus menjaga jarak yang sama dengan
semua kekuatan politik. Kedua, bagi warga NU, baik yang berada di dalam
struktur kepengurusan di semua tingkatan, maupun yang berada di luar struktur,
diperbolehkan memilih partai poltik sesuai aspirasinya masing-masing dengan
selalu menjaga keutuhan jamiyah dari segala bentuk perpecahan.
Tetap
saja, NU terseret politik untuk meraup suara banyak dan lebih terasa
intensitasnya bagi NU sejak dideklarasikannya Partai Kebangkitan Nasional Ulama
(PKNU) sekaligus menjadi pesaing berat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang
terlebih dahulu lahir yang dibidani ulama (halaman 124).
Dari
hegemoni politik tesebut, berimbas pada pola pikir kiai pesantren dalam
mengembangkan umat meski tidak semua pesantren terpengaruh keruh politik.
Seharusnya pesantren tetap pada komitmen awal bahwa sebagai lembaga pendidikan
dan lembaga sosial keagamaan yang pengasuhnya juga menjadi peminpin umat dan
menjadi rujukan legitimasi terhadap warganya, tentu menjadi mempunyai dasar
pijakan keagamaan dalam melakukan tindakan, terutama hal yang dianggap oleh
masyarakat.
Kalaupun
demikian, kiai pesantren dalam pemberdayaan umat tak seharusnya menjadikan
kedudukan tersebut disalahgunakan, apalagi menjadikannya sebagai legiteiasi
politik kekuasaan.
Karena
kedudukan yang mulia dari kiai menyebabkan masyarakat memandang mereka bukan
semata-mata pemuka agama, melainkan juga pemimpin masyarakat. Dari hal itu,
masyarakat membutuhkan bimbingannya (irsyad), ketauladan (uswatun
hasanah), pengarahan (taujihat) seoarang ulama. Walhasil, para kiai
memegang kendali legitimasi dan pandangan serta keputusannya mudah diterima dan
dikuti masyarkat (halaman 116).
Buku
yang ditulis Dr KH Ali Maschan Moesa ini tidak hanya berbincang tentang NU dan
pesantren, tapi juga bagaimana membangun tatanan masyarakat yang prulalis,
religius, kesehatan serta problem masyarakat sehari-hari.
Judul
buku “Islam Tradisional, Realitas Sosial dan Realitas Politik” hendak
mengetengahkan sekaligus pembacaan mantan ketua Pengurus Wilayah NU Jawa Timur
itu terhadap perubahan-perubahan politik dan sosial yang tengah terjadi
akhir-akhir ini. Tentunya perubahan tersebut tidak lepas dari cara pandang yang
kian mengarah pada keabsurdan dalan melihat realitas hidup dan
perjuangan. Pandangan cerdas yang tertuang dalam buku ini akan menjadi tidak
bermakna, jika tidak dibarengi implementasi yang baik oleh pihak-pihak
berkepentingan terhadap realitas sosial dan politik tersebut.
Sehingga,
amatlah tepat kalau para penikmat dinamika politik dan pesantren menjadikan
buku ini sebagai bacaan sumber informasi, apalagi penulisnya bisa dikata sudah
menjadi ikon dalam NU, politik dan pesantren.
Setiap
manusia, baik pribadi atau kelompok, jika menghadapi suatu keputusan dalam
konteks kesejarahan, maka sikap arif adalah diam sejenak, menarik napas, lalu
berkata dengan tenang, ”Kami termasuk orang yang tidak berandai-andai dengan
sejarah yang sudah berjalan dengan perubahannya, dan kita harus menghadapinya
dengan realistis. Tidak ada jalan kembali. Tidak ada pilihan lain, tetapi, kita
dapat belajar dari sejarah, dengan kata lain ’yang senantiasa berubah adalah
perubahan itu sendiri’.” [*]
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar