Judul Buku: Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen
“Langit
Makin Mendung” Ki Pandjikusmin
Penulis: Kipandjikusmin, H.B Jassin, Hamka, dll Editor: Mujib Hermani, Muhidin M. Dahlan Penerbit: Melibas, Jakarta Cetakan: I, 2004 Tebal: 484 halaman |
Coba anda bayangkan, suatu waktu Nabi Muhammad yang ditemani
malaikat Jibril nangkring di pucuk Monas dan juga sampai di lokalisasi di
bilangan Pasar Senen. Kira-kira apa jadinya? Buku Pleidoi Sastra: Kontroversi
Cerpen “Langit Makin Mendung” Ki Pandjikusmin bisa memberi sebuah kesaksian
sekaligus jawaban atas pertanyaan itu.
Kurang lebih jawabannya begini: “Sepucuk belenggu bernama sensor
akan mampir di meja redaksi majalah Sastra. Tapi tak cuma mampir, sensor itu
juga membawa dua biji kado yang baunya agak sengak: (1) majalah itu dibredel
kejaksaan dan (2) sang pemimpin redaksinya dihukum penjara selama satu tahun
dengan masa percobaan dua tahun. Dakwaannya mengerikan: menghina agama Islam
dan merusak akidah umat.”
Pertanyaannya, apa benar Muhammad dan Jibril pernah ke Jakarta dan
mampir di Monas dan Pasar Senen? Tentu saja tidak. Sebab, peristiwa mampirnya
Muhammad dan Jibril ke Jakarta hanya ada dalam sebuah cerpen. Cerpen “nekat”
itu berjudul Langit Makin Mendung. Penulisnya bernama Kipandjikusmin. Cerpen
ini diterbitkan di halaman pertama majalah Sastra edisi Agustus 1968, yang mana
Paus Sastra Indonesia, H.B. Jassin, menjadi Pemimpin Redaksinya. Akibat
pemuatan cerpen itu, majalah Sastra dibredel kejaksaan dan dan H.B. Jassin
sendiri divonis setahun penjara oleh pengadilan.
Siapa sebenarnya Kipandjikusmin? Petunjuk yang bisa menerangkan
siapa dia terlampau sedikit. Ia hanya diketahui berasal dari Yogyakarta. Sejak
kasus ini mencuat, ia tak muncul lagi. Entah jika ia menggunakan nama lain.
Akibatnya, hingga kini Kipandjikusmin masih menjadi misteri. Jassin sendiri di
pengadilan bersitegang leher untuk sekukuhnya menolak membeberkan identitas
Kipandjikusmin: keteguhan sikap yang cukup jadi alasan kita untuk memberinya
standing ovation.
Sebenarnya, seberapa hebat capaian literer Langit Makin Mendung?
Pembaca tentu bisa menilai sendiri. Tapi pendapat Wiratmo Soekito bisa
dinukilkan di sini. Mas Wir, demikian orang memanggilnya, menyebut cerpen itu
dengan kalimat “…karangannya itu jelek dan merupakan kitsch.” (hal. 139).
Cerpen ini memang hanya bisa mengumpulkan bahan-bahan mentah saja. Akibatnya,
ia tak lebih dari sekadar guntingan-guntingan berita surat kabar yang kemudian
disulam menjadi sebuah (pinjam frase-nya Bur Rusuanto) fucilleton editorial
yang berpretensi literer.
Dan memang bukan capaian literer yang membikinnya heboh.
Kehebohannya lebih mirip kehebohan novel The Satanic Verses-nya Salman Rushdie.
Banyak yang bilang, karya Rushdie Midnight Children jauh lebih mentereng untuk
soal capaian literer. Tapi The Satanic Verses heboh mula-mula memang bukan
karena kualitasnya, tapi karena tema dan alur ceritanya yang dinilai menghina
Islam, Muhammad dan al-Qur’an.
Langit Makin Mendung berkisah tentang Nabi Muhammad yang turun
kembali ke bumi. Muhammad diijinkan turun oleh Tuhan setelah memberi argumen
bahwa hal itu merupakan keperluan mendesak untuk mencari sebab kenapa
akhir-akhir ini manusia lebih banyak yang dijebloskan ke neraka. Upacara
pelepasan pun diadakan di sebuah lapangan terbang. Nabi Adam yang dianggap
sebagai pinisepuh swargaloka didapuk memberi pidato pelepasan.
Dengan menunggangi buraq dan didampingi Jibril, meluncurlah
Muhammad. Di angkasa biru, mereka berpapasan dengan pesawat sputnik Russia yang
sedang berpatroli. Tabrakan pun tak terhindar. Sputnik hancur lebur tak keruan.
Sedang Muhammad dan Jibril terpelanting ke segumpal awan yang empuk. Tak
dinyana, awan empuk itu berada di langit-langit Jakarta. Untuk menghindari
kemungkinan tak terduga, Muhammad dan Jibril pun menyamar sebagai elang. Dalam
penyamaran itulah, Muhammad berkeliling dan mengawasi tingkah polah manusia
Jakarta dengan bertengger di pucuk Monas (yang dalam cerpen itu disebut “puncak
menara emas bikinan pabrik Jepang”) dan juga di atas lokalisasi pelacuran di
daerah Senen.
Lewat dialog antara Muhammad dan Jibril maupun lewat
fragmen-fragmen yang berdiri sendiri, Kipandjikusmin memotret wajah bopeng
tanah air masa itu: negeri yang meski 90 persen Muslim, tetapi justru segala
macam perilaku lacur, nista, maksiat dan kejahatan tumbuh subur. Lewat cerpen
ini, Kipandjikusmin menyindir elit politik Indonesia dengan cara telengas.
Soekarno disebutnya sebagai “nabi palsu yang hampir mati”. Soebandrio yang saat
itu menjabat Menteri Luar Negeri disindirnya sebagai “Durno” sekaligus “Togog”.
Cerpen diakhiri dengan sebuah sindiran halus tapi pedas; sebuah
sindiran yang persis menancap di ulu hati kepribadian manusia negeri ini.
Begini bunyinya: “Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf serta baik hati.
Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan lapang dada. Hati
mereka bagai mentari, betapapun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin
menyentuh bumi.”
Publikasi Langit Makin Mendung betul-betul menjadi pemantik yang
melahirkan “prahara sastra yang panjang dan panas”. Dikatakan “panjang” karena
polemik itu berlangsung hampir selama tiga tahun, dari 1968 hingga 1970, dan
melahirkan puluhan artikel di media massa. Polemik itu juga melibatkan
nama-nama besar dari lintas disiplin: Taufik Ismail, A.A. Navis, Goenawan
Mohammad, Wiratmo Soekito, Bur Rusuanto, Bahrum Rangkuti hingga Hamka. Polemik
pun menyentuh banyak aspek. Dari perdebatan sastra, hukum, politik, agama
bahkan menyentuh sentimen nasionalisme (seorang penulis Malaysia yang memihak
Jassin membikin seorang penulis Indonesia merasa tersinggung dan menyebutnya
sebagai tamu tak tahu diri).
Pertanyaannya, apa benar Kipandjikusmin sungguh-sungguh menghina
Tuhan, Islam dan Nabi Muhammad? Bagi faksi yang anti, yang lantas dikukuhkan
pengadilan, Langit Makin Mendung dianggap benar-benar telah menghina Islam.
Faksi ini beranggapan, kebebasan mencipta tak berarti orang bebas menyiarkan
pikiran dan tulisan sekenanya, lebih-lebih jika menyentuh aspek yang sudah
nyata-nyata dilarang.
Mereka berkeyakinan, menggambarkan nabi dan malaikat sebagai
haram. Dan Kipandji dianggap telah melanggar dalil itu dengan lancang
melukiskan Muhammad dan Jibril. Sekadar tambahan, dalam cerpen Langit Makin
Mendung, Kipandji menyebut “Muhammad dan para nabi telah bosan tinggal di
surga”. Jibril yang mengiring Muhammad juga digambarkan “kerepotan mengikuti
Muhammad karena dinilai sudah terlampau renta”.
Jassin menganggap tuduhan itu terlampau berlebihan. Langit Makin
Mendung bagi Jassin tak lebih sebagai satire untuk mengkritik keburukan
masyarakat. Pendapat ini didukung oleh, diantaranya, Wiratmo Soekito, A.A.
Navis hingga Bur Rusuanto. Jassin menulis: “Pengarangnya hanya menggambarkan
‘ide tentang Tuhan dan Nabi’, bukannya menggambarkan Tuhan atau Nabi.”
Dalam pleidoi-nya di pengadilan, Jassin meminta agar kebenaran
sastrawi dibedakan dengan kebenaran agama atau ilmu pengetahuan. Kebenaran
sastrawi berporoskan imajinasi. Dan imajinasi, tulis Jassin, “lebih daripada
gagasan. Ia adalah keseluruhan kombinasi dari gagasan-gagasan,
perasaan-perasaan, intuisi manusia.” (hal. 111).
Tak cuma memuat puluhan artikel bermutu yang jadi bagian polemik
panjang ini, buku Pleidoi Sastra: Kontroversi Cerpen Langit Makin Mendung Ki
Pandjikusmin ini juga memuat cerpen Langit Makin Mendung yang menjadi pangkal
polemik plus empat cerpen Kipandji lain. Di bagian akhir buku, disertakan
pleidoi Jassin di pengadilan berikut notulensi tanya jawab Jassin dengan hakim
dan jaksa. Buku ini karenanya sayang untuk diabaikan. Ia adalah momento yang
patut dimiliki siapapun yang intens dengan masalah kesusateraan. Ia juga
penting, lebih lebih jika kita hendak merenungkan bagaimana wacana kebebasan
mencipta berhadapan dengan norma-norma agama dan sosial.
Bukan pada tempatnya jika tulisan ini mendukung atau menolak
pembredelan dan pemenjaraan Jassin. Tidak kalah penting kiranya untuk
mengkalkulasi, bisakah terjadi dialog yang jernih diantara yang mendukung dan
menampik? Jawabannya bisa “ya”, bisa pula “tidak”. Tapi sejarah bisa berkisah,
betapa kubu yang menampik pembredelan lebih banyak kalah untuk kemudian
dinistakan. Dalam ketakutan dan kebingungannya, kubu yang kalah akhirnya banyak
yang menyerah dan lantas membelenggu dirinya sendiri. Saat itulah, pembredelan
dan sensor ditahbiskan sebagai hal yang pasti benar. Bisa ditebak akhirnya,
kita akan sukar membedakan: sebuah pendapat itu mengganggu ketertiban ataukah
mengganggu tahta seseorang/kelompok yang berkuasa?
Kiranya, paragraf pertama tulisan Goenawan Mohammad di buku ini
(hal. 166) layak kita renungkan. Begini bunyinya: “Kita percaya pada kesusastraan:
dan di sini, kita hanya percaya pada kesusastraan yang menentramkan dan bukan
yang menggelisahkan.” Itulah. Jadi, jangan terlampau kejut seumpama naas yang
menimpa Jassin itu datang menerpa kita suatu saat kelak.[*]
*) ZEN RACHMAT SUGITO
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar